Faktor [kedua] adalah “murid”. Mengapa
murid penting sekali? Karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang
bisa mengerti kebenaran, bisa mengkaitkan diri dengan kebenaran dan
dibentuk dengan kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita
mendapatkan murid yang memiliki daya tangkap hebat dan penerimaan yang
baik, itu merupakan satu bahagia yang paling besar bagi seorang guru dan
satu kemuliaan bagi sistem pendidikan itu.
Mencius, seorang guru besar dalam
sejarah Cina, orang kedua langsung setelah Konfusius, mengatakan: “Orang
Bijak (gentleman) berpikiran, kalau saya menengadah ke langit saya
tidak merasa bersalah kepadanya, pada saat saya melihat pada manusia
saya tidak pernah merugikan dia, itulah sukacita pertama. (Bandingkan
apa yang dipikirkan Paulus, ketika ia berkata bahwa ia tidak pernah
merugikan Tuhan atau siapapun). Kedua, kalau ayah dan ibu masih ada,
seluruh saudara belum ada yang meninggal, itulah sukacita kedua. Ketiga,
ketika saya bisa mendapatkan orang-orang yang pandai di bawah kolong
langit ini dan saya boleh mendidik mereka dengan baik, itulah sukacita
yang ketiga.
Sebagai seorang guru, saya bisa
merasakan keindahan butir ketiga dari pikiran Mencius ini (yang pertama
dan kedua tidak dibahas, karena tidak ada hubungan dengan tema kita).
Jika kita mendapatkan orang-orang yang bodoh, malas, nakal, maka kita
akan sangat susah. Tetapi jika kita bisa mendapatkan anak-anak yang
pandai, yang rajin, yang hebat, tetapi yang rendah hati, kemudian kita
dengan waktu yang relatif pendek dapat memberikan hasil yang sangat
besar. Ini menjadi suatu hal yang memberikan sukacita yang luar biasa.
Ada suatu ketidakadilan di dalam pendidikan ketika orang pandai dididik
oleh guru yang bodoh, dan guru-guru yang pandai mendapatkan murid-murid
yang sangat bodoh. Ini dua hal yang sangat tidak seimbang. Jika seorang
murid yang sangat pandai, cerdas dan berpikiran tajam, tetapi
mendapatkan guru-guru yang bodoh, maka ia memerlukan kesabaran yang luar
biasa untuk ia dapat hidup baik-baik di dunia ini. Ketika murid-murid
itu berpikiran tajam, gurunya bodoh, ini merupakan siksaan jiwa dari
seorang “arsitek jiwa” yang tidak memiliki “ijin arsitek.” Murid yang
baik perlu mendapatkan guru yang bisa merangsang, membentuk dan
menjadikan dia murid yang sukses. Tetapi bagaimana mengirim murid itu
kepada guru yang memadai merupakan hal yang tidak mudah. Demikian juga
bagaimana guru yang baik bisa menemukan murid yang betul-betul bisa
dididik dengan baik, juga merupakan hal yang sangat penting. Di dalam
sistem pendidikan, guru yang baik seharusnya mendapatkan murid-murid
yang baik, dan murid-murid yang baik itu bisa memakai waktu yang sedikit
untuk mendapatkan penyaluran kebenaran yang banyak dari gurunya. Dalam
hal ini Konfusius pernah mendapatkan murid yang sangat baik di dalam
hidupnya, sayang sekali murid ini tidak berumur panjang, meninggal pada
usia yang sangat muda. Peristiwa ini membuat Konfusius sangat sedih.
Pada saat ia mengingat hal itu, ia mengatakan: “Murid saya yang satu ini
tidak pernah mengulangi kesalahannya yang kedua kalinya.” (Never repeat
the same fault). Kalau satu kali diingatkan kesalahannya, ia langsung
sadar dan tidak pernah mengulangi lagi. Gurunya menjadi sangat senang,
karena hanya satu kalimat pendek, cukup untuk menyadarkan dan langsung
ia bertobat, langsung ia belajar berbuat yang baik. Alangkah besar
dorongan bagi guru yang mendapatkan murid seperti itu.
Tetapi tidak semua murid seperti dia.
Jika Saudara tidak mendapatkan murid yang seperti itu, jangan marah
kepada Tuhan, atau memarahi anak orang. Kalau Saudara mau marah-marah
kepada Tuhan, ingatlah mungkin dulu Saudara menjadi murid yang lebih
buruk dari dia. Begitu banyak guru yang pada waktu ia sendiri menjadi
murid, hidupnya kurang beres. Tetapi kini ketika ia sudah menjadi guru,
ia langsung memakai ideal tertinggi untuk menuntut muridnya. Padahal itu
semua ide-ide yang ia sendiri dulu tidak dapat jalankan. Guru yang
tidak adil hanya memakai ide kesempurnaan untuk menuntut muridnya,
padahal ia sendiri belum pernah bisa mencapainya.
Sokrates mempunyai murid-murid yang
banyak, tetapi seorang muridnya yang agak muda, tidak disadarinya bahwa
kelak murid itu akan meneruskan pikiran ortodox Filsafat Yunani
Klasiknya, yaitu Plato. Pada saat Sokrates mati, Plato baru berusia 28
tahun, sehingga di dalam penyaluran pikirannya sebelum ia meninggal, ia
mementingkan yang lain. Dan empat aliran murid-murid Sokrates setelah ia
meninggal mendirikan empat aliran filsafat yang disebut sebagai “The
Four Minor Socratic Philosophy” (Empat Filsafat Minor Sokrates), tetapi
sebenarnya tidak ada satupun yang mendekati kecerdasan dan taraf pikir
Sokrates. Yang memadai betul-betul hanya satu, yaitu Plato (yang nama
aslinya adalah: Aristocles).
Pada saat Plato sudah menjadi besar, ia
memiliki ratusan murid dan mendirikan sekolah yang disebut “Academie”.
(Istilah ini sekarang dipakai di seluruh dunia, yang merupakan tiruan
sekolah Plato yang asli). Di antara ratusan murid, ada satu orang yang
paling berani berdebat dengan dia, yaitu: Aristoteles. Pada saat
berdebat secara luar biasa, Plato telah menjadi contoh guru yang baik,
yaitu ia tidak pernah takut ditanya dan didebat oleh muridnya sendiri.
Ia melayani semua pertanyaan dan ia mengagumi pertanyaan- pertanyaan
yang baik. Ia juga menghargai perbedaan pendapat murid- muridnya yang
berbeda dengan dia. Inilah pengujian guru.
Jika Saudara suka menerima murid-murid
yang baik, yang diam, yang tidak suka berdebat, pasti Saudara seorang
pemimpin orang- orang bodoh. Jika saudara senang sekali mendapat
murid-murid yang tidak pernah mendebat, melawan Saudara, dan hanya
menurut apa saja, hanya memberikan kelonggaran kepada Saudara sebagai
guru, sehingga Saudara dapat menyelesaikan pelajaran Saudara tanpa
terganggu, bisa merencanakan segala sesuatu tanpa rintangan apa-apa,
maka saudara tidak akan pernah mendapatkan orang yang akan merubah
jaman.
Saya pertama kali menjadi guru pada usia
15 tahun, sekarang sudah 52 tahun lebih, sehingga saya sudah menjadi
guru selama 37 tahun lebih. Saya sangat senang kalau mendapatkan murid
yang pandai sekali, berani melawan saya dengan menanyakan sesuatu yang
sulit- sulit. Tetapi harus dengan satu syarat, yaitu motivasinya ingin
mencari kebenaran. Kalau cuma mau mencari kemenangan, itu sama dengan
aliran Sofist (salah satu aliran Filsafat Yunani kuno). Orang Sofist
lebih suka debat untuk mencari kemenangan dari kebenaran yang
diperdebatkan itu sendiri. Di sini kita melihat dua macam guru, dua
macam murid. Guru atau murid yang lebih suka mencari muka daripada
kebenaran, adalah guru atau murid yang kurang baik. Mereka berdebat
hanya supaya tidak malu, yang diutamakan adalah kemenangan atau
kehebatan saya, mencari kemuliaan dan keuntungan pribadi. Tetapi jika
guru dan murid itu berdebat untuk mencari kebenaran lalu takluk kepada
kebenaran, sehingga jika ia salah ia berani mengaku salah, maka ia
adalah guru atau murid yang baik. Untuk memiliki murid yang baik, kita
harus menjadi guru yang baik, yang berani mengaku salah kalau memang
kita salah. Plato memberikan satu kesimpulan untuk menjelaskan sekolah
“Academie” miliknya dengan mengatakan: “Hanya dua hal yang membentuk
struktur “Academie”ku, yaitu (a) otaknya Aristoteles dan (b) seluruh
tubuh murid yang lain.” Maksud perkataannya ialah bahwa seluruh muridnya
yang lain memiliki tubuh tetapi tidak memiliki otak, sedangkan
Aristoteles adalah satu-satunya yang memiliki otak. Ia begitu mengagumi
kalau mendapatkan murid yang baik. Saudara jangan merasa terganggu, jika
ditengah muridmu ada yang lebih pandai dari murid- murid yang lain, dan
berani mengatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapatmu atau pendapat
umum. Saudara harus waspada, lalu dengan berhati-hati mengarahkan dan
menaklukkan diri Saudara dan diri murid Saudara ke bawah kebenaran, dan
sangat berhati-hati menangani dia. Meskipun seolah-olah ia mengganggu
ketentraman, keamanan Saudara, dan membuat kacau jiwa Saudara, tetapi
orang-orang ini nanti akan meneruskan tugas jaman yang berat. Saudara
harus menghargai dia.
Saya kadang-kadang memperhatikan
bagaimana keadaan guru-guru anak-anak saya. Satu kali anak saya membaca
bahasa Inggris, dan salah membaca, tetapi waktu saya tanya, ia
menegaskan bahwa itu adalah ajaran gurunya. Ketika saya ralat, ia tidak
mau karena merasa sudah diajar sedemikian oleh gurunya. (Pada buku yang
pertama, telah dibahas bagaimana anak yang sudah di atas 6 tahun mulai
lepas dari kendali orang tua dan mulai berpindah ke gurunya di sekolah.
“Arsitek Jiwa”, hal. 44). Ketika kemudian ia menanyakan kepada gurunya,
gurunya menjawab bahwa keduanya benar, bisa dibaca menurut kedua cara
itu. Inilah kondisi sekolah kita. Jika kita sebagai guru, kita menemui
murid yang berbeda pendapat dengan kita, kita harus langsung menyadari
bahwa kita sendiri hanyalah murid kebenaran, dan memberikan kebenaran
kepada murid kebenaran yang lebih muda. Dan jika kita mendapatkan
seorang anak yang kita didik, yang seolah-olah memberikan kesulitan
kepada kita, jangan bingung, karena mungkin tugas mereka untuk jaman
mereka adalah berat sekali, sehingga kita harus bisa menangani dengan
penuh perhatian.
Suatu kali saya berkotbah di penjara
remaja. Ada sekitar 800 anak berusia 13-18 tahun. Penjara ini sedemikian
indah, semua kamarnya ada layar untuk video pendidikan, ada komputer di
kelas, dan memiliki taman-taman yang indah sekali. Ketika saya mau
berkotbah, saya melihat ratusan kepala yang gundul-gundul begitu banyak.
Di sekeliling mereka penuh dengan Polisi Militer yang berjaga begitu
ketat dengan bayonet terhunus, karena anak-anak ini sangat nakal. Baru
sebulan sebelumnya, mereka memberontak dan menghancurkan satu piano
konser. Lalu saya minta semua Polisi ke pinggir semua ketika saya mulai
berkotbah. Muka mereka memang lain. Pepatah Tinghoa kuno mengatakan
bahwa daging orang yang baik seratnya vertikal, tetapi daging orang yang
jahat seratnya semua melintang. Kalimat pertama saya mengatakan: “Saya
tahu bahwa kalian semua anak-anak yang pandai, kalian mempunyai pikiran
yang berlainan. Kalian mungkin sangat benci karena ayah dan ibumu
bercerai, engkau dilahirkan dalam satu keluarga yang tidak berbahagia
seperti keluarga yang lain. Dan kesulitan-kesulitanmu tidak dimengerti
oleh orang lain, sehingga akhirnya engkau berontak. Saya sangat mengerti
dan memahami kesulitan di dalam jiwamu.” Di dalam dua menit, wajah
mereka berubah, dan mereka telah menjadi kawan saya, bersedia
mendengarkan kotbah saya. Setelah berkotbah, lebih dari 270 anak
bertobat, menangis dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat mereka.
Saya datang bukan menjadi guru yang galak, atau menjadi pendidik yang
mau menguasai, tetapi saya datang sebagai kawan.
Murid adalah faktor ketiga. Bagaimana
menjadikan murid orang- orang yang bisa bekerja sama dengan Saudara di
dalam sistem pendidikan untuk bersama-sama mengejar kebenaran, merupakan
hal yang sangat penting. Sebagai guru yang baik, adalah guru yang dapat
mencairkan diri dengan murid, dan mendapat murid yang baik adalah jika
mereka dapat secara maksimal menerima apa yang Saudara berikan. Dengan
demikian sistem pendidikan itu sukses.
Judul Buku: Arsitek Jikwa II
Penulis : Stephen Tong
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia (Jakarta), 1993
Halaman : 14-19
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/07/murid-murid-yang-bisa-dididik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar