Jumat, 30 Maret 2012

Doa Dan Pelayanan

Nats Alkitab : Yakobus 5 : 17-20
 
Yakobus adalah satu-satunya kitab di Alkitab yang menfokuskan diri dalam membahas soal  kelakuan dan perbuatan. Tuhan mengizinkan surat ini diletakkan di belakang surat Ibrani — satu-satunya kitab yang membahas tentang iman, mengindikasikan bahwa setelah seorang punya iman, dia harus punya perbuatan. Karena perbuatan baik adalah wujud dari iman yang sejati. Mengapa Yakobus mengakhiri suratnya dengan doa dan penginjilan?
 
Minggu lalu kita sudah membahas, doa Elia adalah doa yang paling tidak manusiawi: paling kejam, sama sekali tak masuk akal: minta supaya seluruh Israel tak turun hujan selama tiga setengah tahun. Permisi tanya, selama tiga setengah tahun itu, berapa banyak orang yang mati kelaparan, berapa banyak kerugian yang diderita oleh seluruh bangsa Israel? Bukan saja demikian, doanya diakhiri dengan kekejaman yang dahsyat: sudah tiga setengah tahun tidak turun hujan, dia masih menyuruh mereka menuangkan semua air yang masih tersisa. Mengapa saya tidak menyebutnya sebagai puncak dari kekejamannya? Karena saat dia menantang nabi-nabi Baal, bukan minta hujan tapi minta api, guna membuktikan Allah mana yang sejati. Saat waktu yang dijadwalkan hampir berakhir, nabi-nabi Baal berseru-seru, bahkan menusuk-nusuk tubuhnya dengan pisau.

Terlihat di sini, doa orang kafir atau para pengikut ajaran bidat selalu lebih antusias, lebih emosional ketimbang doa orang yang sungguh-sungguh beriman. Karena emosi mereka didorong oleh satu kemauan keras, menuntut dewa yang mereka sembah menuruti permintaan mereka. Tapi sekalipun doa mereka sudah begitu antusias, api tetap tidak turun. Kata Elia, coba berdoa dengan suara yang lebih nyaring, mungkin allahmu sedang beristirahat, sedang ke pinggir (bahasa aslinya bisa diterjemahkan: sedang ke WC). Merekapun berseru-seru dengan suara yang lebih nyaring: Baal, Baal…. tetap tak ada jawaban. Lalu kata Elia, cukup, allahmu terbukti palsu. Sekarang, buatlah satu mezbah. Untuk siapa? Jehovah. Mengapa? Karena orang Israel sudah lupa akan Allahnya, mereka tidak pergi ke Bait Allah di Yerusalem, yang terletak di negara Yehuda. Padahal menurut Taurat Musa, setiap tahun tiga kali mereka harus menyembah Allah di Yerusalem. Elia adalah satu-satunya nabi di Alkitab yang tidak ada hubungannya dengan Yerusalem, karena Tuhan mengutusnya melayani di negara Is­rael yang di Utara. Setelah mezbah didirikan, dia memerintahkan orang Israel menyembelih korban, menyusun korban di atas mezbah dan menyiramnya dengan air. Bukankah mereka akan minta api, mengapa harus mengguyur mezbah dengan air? tapi itulah yang Elia perintahkan, bukan hanya mengguyur satu kali, tapi empat kali. Sungguh suatu perintah yang sangat kaku dan sama sekali tak masuk akal, lalu katanya berdoalah kepada Allah. Apa isi doanya?



Kalau Jehovah adalah Allah, berbakti padaNya, jangan bercabang hati lagi. Maka semua orang meninggalkan mezbah Baal, mengelilingi Elia seorang. yang tidak punya isteri, anak, back­ing apapun, tapi berani menantang seluruh zaman tanpa takut pada siapapun. Mengapa hari itu Elia memboroskan semua air yang masih tersisa, tapi mereka tidak membunuhnya? Karena penyertaan Tuhan, pemeteraian Tuhan atas diri hambaNya begitu nyata, sampai raja Ahabpun menyingkir, tak berani mengganggu gugat dia. Iman Elia adalah iman yang seperti apa? Iman yang dia telusuri sampai pada Abraham. Allah yang Abraham percaya adalah the Master of history. Allah yang mengikat janji sekaligus memelihara janjiNya. Maka Elia bukan berdoa seturut ambisi pribadinya, melainkan seturut janji Allah yang kekal, God, let the people know that You are God.and know that I am Your servant. Dia minta Allah menurunkan api. Apakah tidak salah? Di saat seluruh bangsa membutuhkan air, Elia malah minta api bukan minta air? Sesungguhnya. air tak akan turun tanpa didahului dengan turunnya api, hujan rohani tak akan turun, sebelum kebangunan rohani yang sejati terjadi. Maka kata Tuhan, I’ll be with you. I will zeal your prayer, apipun diturunkan dari sorga, korban yang sudah disiram air begitu rupa terbakar habis, terbukti bahwa Jehovah adalah Allah yang sejati, kebangunan rohanipun terjadi, orang Israel sadar, selama itu, mereka tertipu oleh nabi-nabi palsu dan seluruh bangsapun kembali pada Tuhan yang sejati, iman yang sejati.

Setelah itu, apakah Elia merasa dirinya hebat, nabi yang sejati? Tidak, dia memerintahkan orang Israel membunuh 400 orang nabi Baal. Orang Israel pun mengejar nabi-nabi itu, satu per satu ditangkap dan dibunuhnya. Sebelum hujan turun dengan deras, Elia bernubuat pada Ahab, pasanglah tutup di atas keretamu. Dan benar, sebelum kereta itu membawa Ahab sampai ke kaki gunung Karmel, hujan deraspun turun. Elia memang sangat berani, namun se­sungguhnya, dia masih kurang berani, karena dia menyisakan 450 orang nabi yang dipelihara oleh Nyonya Ahab. Mengapa Elia berani membunuh 400 orang nabi yang dipelihara oleh Ahab? Karena dia tahu. penguasa negara pada saat itu bukan Ahab tapi nyonyanya. Mengapa bisa begitu? Karena Elia was an ordinary person, just like you and like me: dia lahir di kota kecil yang tidak dapat kita temukan lokasinya di peta, dibesarkan di keluarga yang tak dikenal, tapi setelah dia mendapat visi Tuhan untuk mengubah zaman itu, dia menjadi begitu berbeda. Tuhan memakai dia dengan cara yang lain dari yang lain. Saat dia menyendiri di tepi sungai Kerit, Tuhan mengirimkan burung gagak membawakan roti untuknya. Tuhan pernah mengirimnya menumpang di rumah seorang janda di Sarfat, bagaimana mungkin seorang pria yang tak beristeri disuruh tinggal di rumah seorang perempuan yang tak bersuami; janda, bukankah hal itu akan mengundang rumor besar? mengapa Tuhan menyuruh seorang janda bukan seorang kaya untuk menghidupinya…. Banyak hal aneh yang Tuhan kerjakan, yang tidak kita pahami.
Elia beriman pada Tuhan. tapi dia tetaplah manusia biasa yang berdarah daging, yang bisa sakit, lesu, lelah, merasa begitu lonely: hanya sisa aku seorang diri, dan mereka masih mau mengambil nyawaku. Juga bisa takut menyalahi Isebel, isteri Ahab yang kejam bukan kepalang. Memang, setelah berita di atas gunung Karmel sampai ke telinga Isebel, katanya: beritahukan pada Elia, aku bersumpah demi dewaku (mirip kata-kata Elia: aku bersumpah demi Jehovah) besok, pada jam seperti sekarang ini, kalau aku tidak mencabut nyawanya, biarlah dewaku menghukum aku dengan hukuman yang berat. Mengapa dia tidak memerintahkan orang untuk menangkap Elia saat itu juga, tapi memberinya waktu 24 jam? Dia sedang bermain psikologis dengan Elia. Karena dia lihat, suaminya begitu percaya pada Baal, yang diyakini sangat berkuasa, ternyata waktu nabi-nabi Baal dibunuh, tak satupun yang lolos. Artinya Allah yang disembah Elia adalah Allah yang sejati, sementara Baal yang disembah suaminya palsu. Apa jadinya kalau nabi-nabi yang dia pelihara juga dikalahkan oleh Elia, mukanya dan muka suaminya akan di-kemanakan?

Jadi, Elia, sebaliknya kau pergi, jangan ganggu kami lagi. Mendengar kata Isebel itu, Elia langsung kabur, dia lupa, Tuhan bisa memeliharanya. Bukankah dia sudah mengalahkan Baal, seharusnya dia juga sanggup mengalahkan Asyera, tapi dia malah minta mati: Tuhan, lebih baik cabut nyawaku saja. Kata Tuhan, tidak, kau minta mati, Aku memberimu roti. Setelah dia makan, dia lari 40 hari. Perhatikan: setelah Elia memimpin kebangunan besar bagi seluruh bangsanya, dia tak lagi dipakai oleh Tuhan secara besar-besaran, karena dia menaruh rasa takut pada Isebel. Surat Yakobus menegaskan pentingnya perbuatan, tapi mengapa diakhiri dengan membahas:
  1. Mendoakan orang sakit yang dikaitkan dengan doa Elia? Penerapan iman seseorang dalam perbuatannya tak bisa lepas dari hidup doanya, sejauh mana dia mengetahui kehendak Tuhan. Begitu juga saat kau mendoakan orang sakit. kau sedang mewujudkan imanmu lewat memperhatikan orang yang sakit. Saat mendoakan kesembuhannya, doakan juga pengampunan dosanya, supaya dosanya tidak menghalang dia menerima anugerah Tuhan. Doa Elia adalah doa yang berpegang pada janji Allah pada Abraham, maka meski doanya dipandang kejam, tidak manusiawi, tapi doanya ada di dalam rencana Tuhan, berhasil membawa seluruh umat kembali pada Tuhan.
  2. Mengabarkan Injil. Perhatikan: istilah “injil” tidak kita temui di kitab Ibrani dan Yakobus, tapi apakah berarti kedua kitab itu tidak membicarakan tentang injil? Ada, hanya saja, istilah yang dipakai Ibrani adalah keselamatan: kaiau kita mengabaikan keselamatan yang begitu besar, mana mungkin kita luput dari dosa? Sementara istilah yang dipakai Yakobus adalah firman, ps.1, kita dilahirkan oleh firman, di ps.4, memberitakan firman, membawa orang keluar dari kemelut dosa. Inilah klimaks dari perbuatan orang Kristen: mengabarkan Injil. Ay.19, mencakup dua lapisan: A) di antara kamu: artinya di dalam gereja, kalau ada orang yang menyimpang dari kebenaran, apa yang harus kita perbuat? mengembalikannya pada kebenaran. B) orang yang belum mengenal Yesus, kau harus Injili dia, kalau dia bertobat, dia beroleh hidup baru di dalam Kristus. Apa maksudnya menyelamatkan dia dan menutupi banyak dosa? Jangan mengira penginjilan hanya menyelamatkan satu orang saja, karena or­ang itu bisa saja membawa keluarganya berpaling pada Tuhan.
64 tahun silam, ada seorang perempuan tua yang suka me­ngabarkan Injil mendatangi satu keluarga; suami isteri dengan delapan orang anak, katanya “apa agamamu?” Ibu rumah tangga itu menjawab “biasa, menyembah nenek moyang” “maukah kalian percaya Tuhan Yesus?” “Tidak, saya tak mau pindah-pindah agama!” Beberapa kali orang tua itu datang, si ibu rumah tangga menerimanya dengan baik. Lama kelamaan, ibu rumah tangga itu mulai merasa bosan dan marah “encim, jangan datang lagi, kami sudah punya agama” “belajar mengenal Yesus itu baik” “sudahlah, kamu percaya agamamu, kami percaya agama kami. Encim tak perlu datang lagi” Tapi orang tua itu tetap datang, sampai akhirnya diusir, dan encim itupun tak datang lagi. Si ibu rumah tangga merasa tenang, tak ada yang mengganggunya lagi. Tak lama kemudian, salah seorang anaknya sakit 24 hari, panasnya tak pernah turun, badannya semakin kurus, ibu itu mulai gelisah, dia pergi ke klenteng. minta dewa-dewa menyembuhkan anaknya. Dia dianjurkan menyajikan 48 meja hidangan bagi para dewa, agar anaknya bisa sembuh. Tapi mana mungkin dia memenuhi tuntutan itu. dia hanya bisa menyaksikan anaknya semakin hari semakin kurus. Suatu hari, encim itu datang lagi, katanya “saya sudah lama tidak datang, tapi saya merasakan ada satu desakan, me­nyuruh kau percaya Tuhan Yesus……bolehkah saya mendoakanmu?” “OK, kebetulan anak saya sakit, sudah 25 hari, tolong doakan dia” Dan malam itu juga, anaknya sembuh. Ibu rumah tangga itupun mulai tertarik….ke­luarga itu adalah keluarga saya, ibu rumah tangga itu adalah mama saya. Melalui encim yang pernah diusir itu. mama saya tertarik pada kekristenan, dia mulai membawa anak-anak ke gereja. Awalnya sih hanya sekedar balas budi, tapi lewat penjelasan yang diberikan encim itu, mama saya tertarik dengan firman Tuhan, anak-anak menyanyikan lagu-lagu Kristen di sekolah minggu juga di rumah, sampai papa saya mulai tertarik, mau ke gereja, satu tahun kemudian, dia meninggal. Sekarang, dimana encim itu? Pasti sudah meninggal. Tapi setiap kali saya membaca bagian ini, saya ingat akan dia. Kelak, di sorga sana, saya pasti mencari dia, saya ingin menjabat tangannya sambil berkata, puji Tuhan. kau membawakan injil pada ibu saya, kami sekeluarga menjadi orang Kristen, bahkan lima dari tujuh anak mama saya menjadi pendeta, saya sendiri sudah berkhotbah kepada lebih dari 22 juta or­ang. Artinya. encim itu bukan hanya menjalankan kewajibannya, menjadi orang Kristen yang berprilaku baik saja, dia mencapai klimaks dari kelakuannya: memberitakan injil pada orang. Orang yang beriman harus berperbuatan. dan klimaks dari perbuatannya adalah melakukan kehendak Tuhan: kemanapun dia pergi, dia mengabarkan Injil. Langkah-langkahmu menginjili akan dicatat oleh malaikat-How beautiful are the feet of them, they bring the good tiding to the people. 

Saat kakimu membawamu ke satu tempat, mulutmu memberitakan injil pada orang, saat itu, imanmu, kasihmu pada Tuhan nampak lewat perbuatanmu yang terindah. Akhirnya. lewat injil yang kau beritakan, jiwa orang itu diselamatkan, dia melalui hidup yang suci, berkuranglah dosa yang ada di bumi. Jadi, jangan kau lihat anak-anak sekolah minggu adalah anak-anak biasa, karena mereka mengenal Tuhan, dunia akan berkurang banyak dosa, amin? Kalau saya tidak menjadi orang Kristen, saya berani melakukan dosa yang sangat berat sekali dan tidak diketahui or­ang, mungkin ada ribuan orang yang saya rugikan. Tapi karena saya menjadi orang Kristen, maka lidah, mata, telinga, tangan, kaki saya milik Tuhan, saya melakukan kebajikan. menolong orang dengan kasih yang sungguh, membawa orang kembali pada kebenaran, lewat firman yang saya kabarkan. Dengan begitu, dosanya, dosa­nya … . ditutup. Maka bertobatlah, berlakulah sesuai dengan iman dan kabarkanlah injil. Dengan ini, kita mengakhiri ekspositori surat Yakobus — kitab kelima yang kita bahas di mimbar GRII, sejak Sep­tember, 1989

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah —EL)

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : http://www.nusahati.com/2011/12/doa-dan-pelayanan/

Apel Di Kamp Konsentrasi - Nazi

Pada suatu hari yang gelap di musim gugur 1942, udara dingin, sangat dingin. Hari itu tak ada bedanya dengan hari-hari lain di kamp konsentrasi Nazi. Aku berdiri menggigil dalam pakaian compang-camping yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk ini benar-benar terjadi. Aku hanya seorang anak laki-laki. Seharusnya aku bermain main bersama kawan-kawanku; seharusnya aku pergi ke sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa depanku, ketika aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku sendiri. Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup, dan aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, mencoba bertahan hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret dari rumahku dan dibawa ke sini bersama puluhan ribu orang Yahudi lainnya. Apakah besok aku masih hidup? Apakah malam ini aku akan dibawa ke kamar gas?

Aku berjalan mondar-mandir di dekat pagar kawat berduri, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku lapar, tetapi sudah sejak lama aku kelaparan, lebih lama dari yang ingin kuingat-ingat. Aku selalu kelaparan. Makanan yang layak sepertinya hanya ada dalam mimpi.

Setiap hari semakin banyak di antara kami menghilang begitu saja, masa lalu yang bahagia tampak semakin samar. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan. Tiba-tiba, aku melihat seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat berduri. Anak itu berhenti dan memandangku dengan mata sedih, mata yang seakan berkata bahwa dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan jawab mengapa aku ada di sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu dan canggung karena anak perempuan asing itu melihatku dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku tak kuasa mengalihkan mataku dari matanya.

Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang cantik, merah kemilau. Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat-cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari-jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta.

Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan. Esok harinya, aku tak dapat menahan diri—pada waktu yang sama aku berdiri di tempat yang sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia datang lagi? Tentu saja. Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada seiris harapan tipis. Dia telah memberiku harapan, aku harus bergantung erat pada harapan itu. Sekali lagi, dia datang. Sekali lagi, dia membawakan sebutir apel untukku, melemparkannya lewat atas pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin.

Kali ini apel itu kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia melihatnya. Matanya berbinar. Apakah dia mengasihaniku? Mungkin. Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku merasa hatiku bergetar karena luapan perasaanku. Tujuh bulan lamanya kami bertemu seperti itu. Kadang-kadang kami bertukar kata. Kadang-kadang, hanya sebutir apel. Tetapi, bukan hanya perutku yang diberinya makanan.

Dia bagaikan malaikat dari surga. Dia memberi makanan untuk jiwaku. Dan entah bagaimana, aku tahu aku juga memberinya makanan. Suatu hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami akan dipindahkan ke kamp lain. Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang jelas, itu merupakan akhir pertemuanku dengan kawanku itu. Esok harinya ketika aku menyapanya, dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak kuasa kusampaikan, “Besok jangan bawakan aku apel,” kataku kepadanya. “Aku akan dipindahkan ke kamp lain. Kita takkan pernah bertemu lagi.” Sebelum kehilangan kendali atas diriku, aku berbalik dan berlari menjauhi pagar. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir membasahi wajahku.

Bulan demi bulan berlalu. Mimpi buruk itu terus berlanjut. Tetapi kenangan akan anak perempuan itu membantuku mengatasi saat-saat mengerikan, rasa sakit, dan rasa putus asa. Berkali-kali aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat wajahnya dan matanya yang lembut. Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu. Sampai pada suatu hari, mimpi buruk itu tiba-tiba berakhir. Perang sudah selesai. Kami yang masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua milikku yang berharga, termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyimpan kenangan akan anak perempuan itu, kenangan yang kusimpan dalam hati dan memberiku kemauan untuk meneruskan hidupku setelah aku pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru.

Tahun-tahun berlalu. Sampai tahun 1957. Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang kawan memaksaku melakukan kencan buta dengan seorang wanita kawannya. Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak-tidaknya kami punya persamaan. “Di mana kau selama masa perang?” Roma bertanya kepadaku, dengan cara halus seperti umumnya para imigran yang saling bertanya tentang tahun-tahun itu.

“Aku ada di sebuah kamp konsentrasi di Jerman,” jawabku. Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih. “Ada apa?” tanyaku. “Aku ingat masa laluku, Herman,” Roma menjelaskan dengan suara yang tiba-tiba menjadi sangat lembut. “Waktu masih kecil, aku tinggal dekat sebuah kamp konsentrasi. Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari. Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya.
Aku selalu melemparkan apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali.”

Roma mendesah panjang, lalu meneruskan, “Sulit menggambarkan bagaimana perasaan kami masing-masing bagaimanapun waktu itu kami masih muda sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar beberapa kata—tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta yang tulus. Aku yakin dia pasti dibunuh seperti yang lain-lain. Tetapi, aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang bersama-sama.”
Dengan jantung berdegup kencang hingga kupikir nyaris meledak, aku menatap Roma lekat-lekat dan bertanya, “Apakah pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu,

‘Besok jangan bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan ke kamp lain’?”

“Wah, ya,” sahut Roma, suaranya bergetar. “Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?” Aku meraih tangannya dan menjawab, “Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma.” Detik-detik berlalu lambat. Yang ada hanya keheningan.

Kami tak dapat mengalihkan mata kami. Lama kami saling memandang. Kemudian, setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari kenangan kami. Akhirnya, aku berkata, “Roma, aku pernah dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin dipisahkan lagi darimu. Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu, selamanya. Sayangku, maukah kau menikah denganku?”

Aku melihat binar-binar yang sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab, “Ya, aku mau menikah denganmu.” Lalu kami berpelukan, pelukan yang sudah kami dambakan selama berbulan-bulan, tetapi terhalang oleh, pagar kawat berduri yang memisahkan kami. Sekarang, tak ada lagi yang akan memisahkan kami. Hampir empat puluh tahun telah berlalu sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Nasib mempertemukan kami untuk pertama kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji harapan.

Sekarang, nasib pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan janji itu. Hari Valentine tahun 1996. Kuajak Roma ke acara Oprah Winfrey Show untuk menghormatinya di siaran televisi nasional. Di depan jutaan pemirsa, aku ingin mengatakan kepadanya apa yang kurasakan dalam hatiku setiap hari: “Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu.”

Herman dan Roma Rosenblat
Seperti diceritakan kepada Barbara De Angelis, Ph.D.
“Saat – saat paling gelap dalam hidup manusia seringkali  membawa benih – benih masa depan yang paling cerah.”  (Mr. Moonlight)

Sumber : http://www.nusahati.com/2012/01/apel-di-kamp-konsentrasi-nazi/

Mengetahui Yang Baik Dan Jahat

Firman : Yakobus 4 : 11-17

Sebenarnya, apa sih yang mau penulis katakan di sini? Karena kedua bagiannya seperti tidak berhubungan satu dengan yang lain: ay. 11-12 membahas soal menghakimi orang — urusan antar manusia, sementara ay. 13 dan seterusnya membahas soal kapan akan pindah dan berdagang di mana, mendapat untung, urusan antara aku dengan waktu dan keberadaanku, lalu dia simpulkan: barangsiapa tahu apa itu kebajikan tapi tidak melakukannya, dia berdosa. Saya terus merenungkan relasi antara keduanya, akhirnya saya menemukan satu point yang sangat penting: menilai segala sesuatu yang ada di luar lewat apa yang ada di dalamnya. Dengan standar apa kita menetapkan: ini benar itu salah, ini baik itu jahat? Orang yang takut pada Tuhan, tidak berani sembarangan menilai orang.
 
 Celakanya, kita lebih percaya pada pengalaman dan standar kita dari fakta yang obyektif. 2.500 tahun silam, di Tiongkok, di buku zhan guo ci yang memuat parabel-parabel kecil, yang mengandung kebenaran yang amat tajam, tertulis: seorang berkata pada isterinya, si A, tetangga kita itu telah mencuri cangkulku, isterinya juga sependapat dengannya. Beberapa hari kemudian, dia menemukan cangkulnya di belakang rumah dan katanya, dia bukan pencurinya, padahal saat mereka prejudice, di mata mereka, dialah pencurinya.

Tahun lalu, saya kehilangan $5,500 di hotel, di Kuala Lumpur, uang tiket ke Argentina dan Brasil. Padahal saya baru saja tinggalkan kamar, ketika kembali, uang itu sudah hilang. Mereka mengecek, hanya ada seorang cleaning service yang bertugas di jam itu. Tapi saya masih tidak yakin, uang itu dicuri atau terjatuh? Sampai mereka menemukan amplop bekas pembungkus uangnya di kloset, terbukti uang saya telah dicuri. Merekapun menyarankan saya melapor ke polisi, saya bergumul: apa jadinya kalau bukan dia yang mencuri tapi saya menuduhnya mencuri? Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melapor. Karena seumur hidup ini, saya benar-benar takut salah menilai orang. Bukan maksud saya membiarkan orang jahat merajarela, tapi saya pribadi tidak tega menghancurkan masa depan seseorang hanya karena salah menilai.

Kau membenci seseorang? Permisi tanya, apa yang pernah kau lakukan untuknya? Kau tak pernah mendoakan dia, hanya tahu membenci dia, that is not Christian attitude. Christian attitude adalah betapapun rusaknya seseorang, kita harus membawanya berpaling. Saat kau melakukan satu kesalahan, tentu kau berharap orang lain mau mengertimu, tidak menghakimimu bukan? Mengapa saat orang lain melakukan kesalahan yang sama, kau menghakimi dia dengan ukuran yang begitu ketat? Di dalam buku education yang ditulis oleh Palmer tertulis: ada seorang murid yang nakal sekali, membuat gurunya jengkel bukan kepalang, ingin mengadukan anak itu pada orang tuanya. Dia mendapati, anak itu tinggal di gang yang kecil sekali, waktu dia masuk ke rumah itu, ada banyak anak-anak di sana, muridnya adalah anak sulung di dalam keluarganya. Dia langsung mengatakan pada ibu anak itu “anakmu kurang ajar…” ibu itu balik bertanya “kamu ini siapa?” “guru anakmu yang bernama si anu” “silahkan duduk. Sejak ayahnya meninggal, dialah yang membantuku mencuci pakaian adik-adiknya, melakukan ini, itu…,dia begitu baik. Puji Tuhan, telah memberi anak itu pada saya”, si guru yang sedianya mencaci-maki muridnya langsung bungkam. Dia pulang, dengan linangan air mata dia berkata: Tuhan, ternyata dia adalah anak yang baik. Selama ini, aku tidak pernah menyadari kebaikannya. hanya karena aku merasa terganggu oleh kelincahannya.

Mengapa kita sering salah menilai si anu jahat hanya karena merasa terganggu olehnya, pernahkah kita mengaku dosa pada Tuhan atas kesalahan itu? Biasanya kita hanya mengaku: Tuhan, aku berdosa, karena aku bermabuk-mabukan, aku sombong…. Karena pikir kita, kalau kita berzinah, congkak, tidak hidup suci… kita berdosa, padahal kita tidak melakukan hal yang seharusnya kita lakukan juga terhitung dosa {ay. 17). Selanjutnya, penulis membahas tentang estimasi kita akan masa depan: mau pindah ke mana, mau bisnis apa, meraup untung sekian… Statement: “saya kira, saya pikir… sering kita dengar dan kita ucapkan, faktanya, penilaian kita atas sesama, diri sendiri, hari depan..sering kali salah. Hai pedagang besar. bukankah bisnis yang kau rencanakan setengah mati sering kali tak menguntungkan, yang tak kau rencanakan malah untung besar? Itu membuktikan, hari depan kita bukan di tangan kita melainkan di tangan Tuhan.

20 tahun silam, seorang Uskup di Malaysia berkata pada saya: selama 17 tahun saya menjabat sebagai Uskup, Pendeta Pendeta pamit dengan mengatakan: Tuhan memimpin saya pindah ke Amerika, ke Inggris, ke Australia..sayapun melepas mereka satu per satu pergi. Masalahnya pak Stephen, mengapa pimpinan Tuhan selalu ke Amerika, Australia, tidak ada yang ke India atau Afrika? ltulah konsep orang Kristen yang salah: kalau Tuhan memimpin pasti mengarah ke tempat yang lebih baik, lebih kaya, bukan ke pedalaman, ke desa yang rawan penyakit menular?

Tiga tahun silam. Hong Kong dilanda SARS yang mengerikan, tak ada orang mau ke sana, apalagi saat itu, saya terus batuk-batuk. Waktu di pesawat, semua mata menatap saya, orang yang di samping saya pun memilih untuk pindah tempat duduk, pramugari datang mengukur suhu badan saya.. Sampai di Hong Kong, semua pendengar mengenakan masker, hanya saya yang tidak mengenakannya, karena saya harus berkhotbah. Saya terus bertanya-tanya, masih harus ke Hong Kong atau tidak, suatu suara berkata, kau juga takut mati di Hong Kong?”Pendengarmu menerjang bahaya 7 hari se-minggu, sementara kau, hanya datang seminggu sekali. Maka saya tetap ke sana. Akhirnya, mereka menyadari, saat Pendeta Pendeta membatalkan kebaktian di Hong Kong, hanya Stephen Tong yang setiap minggu tetap datang, merekapun menghormati hamba Tuhan dari sedalam-dalam hati mereka.

Orang dunia selalu mencari kesempatan untuk meraih better living: kalau mencari nafkah di Kalimatan mulai sulit, dia akan pindah ke Jakarta, ke Singapura, ke Hong Kong. Pemikiran seperti itu normal bagi orang berdosa. Jangan kau pikir, hari ini saya mau lakukan ini dan itu, karena perkiraan kita selalu salah. Mengapa salah? Karena kita selalu mengganti esensi yang tak nampak dengan fenomena yang nampak. Adakah orang baik yang ber­paras angker atau orang jahat yang berparas manis? Adakah orang pintar yang bertampang bodoh atau orang bodoh yang bertampang pintar? Ada, Maka kata Yesus, jangan menilai orang dari lahiriahnya.

Salah satu kalimat Gerika yang saya sukai adalah: Socrates got a face of a clown but a soul of god (dewa). 250 tahun lalu, Rene Descartes (orang Prancis) mengatakan: mengapa setelah kau memasukkan sebatang lidi yang lurus ke dalam air dia berubah menjadi bengkok? Karena idea de clara. Manusia tak bisa mengandalkan inderanya, karena inderanya bisa ditipu oleh iblis. Itu sebabnya, jangan biarkan idea de clara; pikiran yang jernih dinodai oleh apa yang kita lihat dan kita dengar. Kemarin, saya menerima faks dari New York: pak Tong, jangan lakukan kateter di Malaysia, negara itu masih terbelakang. Memang, banyak orang berpikir: untuk pengobatan jantung, Amerikalah yang terbaik. Tapi menurut statistik yang saya baca, dari 100 orang yang melakukan by pass di Amerika, ada dua orang yang meninggal, sementara di Malaysia, hanya satu orang yang meninggal, dan setiap tahunnya ada 3000 orang yang melakukan by pass di sana. Dari “saya kira, saya pikir, saya dengar…terbentuklah satu keyakinan: di sana paling baik, tak pernah menyadari akan kemajuan yang ada sekarang. Jadi, satu, jangan biarkan konsep: saya kira, saya pikir…menutup peluang bagi kemungkinan-kemungkinan baru. atau fenomena menutup esensi. dua, kita selalu memakai pikiran yang sudah kita bakukan menggantikan fakta yang obyektif; my imagination, my thinking, my logical speculation is must be like this , padahal faktanya sudah berubah.

Saya sangat mengagumi orang Barat dalam hal berani menggunakan merk baru. Kapankah Christian dior, piere cardin, verragamo, Luis Viton mulai beredar? Belum lama, mengapa punya begitu banyak penggemar? Karena mereka berani mengeluarkan ide baru. Berbeda dengan orang Timur, hanya berani memalsukan arioji Rolex, Omega, karena mereka yakin, merk lama pasti laku, merk baru pasti mati. Padahal keberanian untuk mendobrak, memunculkan sesuatu yang baru adalah sejenis iman yang tak mau diikat oleh sejarah. Sadarkah kau, dirimu diikat oleh masa lampau begitu rupa, membuaimu tak pernah melangkah ke depan? Dalam hal iman, kita memang perlu berpegang pada ajaran yang paling kuno, untuk memelihara kemurnian iman kita, tapi soal metode-nya, harus sefleksibel mungkin. Sementara untuk hal lain, kita perlu punya keberanian untuk menjelajah kemungkinan baru. Apa yang kau pikir pasti betul itu kau jadikan patokan guna menolak yang lain = kolot.

Mengapa ada orang yang setelah studi teologi, di usia 25 tahun khotbahnya sudah begitu bagus, semen­tara ada orang yang sudah puluhan tahun jadi Kristen masih tak tahu apa-apa? Karena tidak berusaha renew, refresh, rebuilt. Kalau ada yang mengoreksi, malah merasa terusik, kalau ada yang ingin mengubah malah dianggap seba­gai ancaman dan mulai paranoid. Di dalam dua bagian ini terdapat satu dasar yang sama: jangan mengandalkan perkiraanmu yang bisa salah. Kadang saya memperhatikan semut, ribuan ekor semut berbaris teratur mengikuti semut yang di depan. Herannya, mengapa mereka suka berputar-putar, akhirnya saya menyadari, mereka tidak memiliki kompas. ltulah manusia “saya pikir, saya kira…” adalah momok yang merusak, membelenggu hidupnya. Ay. 14b, hidupmu bagai uap… Yes.l, hidup manusia bagaikan rumput, bagaikan bunga. Rumput akan kering, bunga akan layu. th. 1963, ketika masih di SAAT, saya menyaksikan bunga wijayakusuma mekar penuh pada jam 24.00, saya membawanya ke tempat tinggal saya, tapi esok paginya, dia sudah terkulai.

Apa arti hidup kita, begitu singkat. Paul Tillich, teolog besar, saat berdebat dengan Van Buren, Hamilton, Altizer… yang berpegang pada God is dead theology mendengar mereka mengatakan “do you know that our theology is inspired by you?”Is that so? Tomorrow we continue our debate“, tapi keesokan harinya, Paul Tillich mati. Itu sebabnya, jangan mengira setiap hari akan sama. Sebagian dari hidup kita hancur, karena kita wrongly presuppose.

Berapa puluh tahun lalu, di Hong Kong ada seorang pemuda memenangkan lotre sebesar 790 sekian ribu dollar, dia pikir, aku tak perlu kerja lagi, karena aku punya banyak duit. Diapun hidup berfoya-foya, berdansa, berzinah…. Berapa tahun kemudian, dia menemukan seorang wanita yang ingin dia jadikan pasangan hidupnya, dia mengkalkulasi biaya pernikahan yang dia butuhkan dan pergi ke bank untuk mengambil uang, tapi kata petugas bank, uangmu hanya sisa 37 dollar. Saya membaca satu makalah yang sangat menyentuh hati: are you not satisfied of your present? recall your old days, what did you do? Kalau kau tak pernah menanam, kau tidak akan menuai, so. blame yourself. Saya bersyukur, kalau ada anak muda yang pernah mengalami hidup susah, sakit penyakit, patah hati, karena dia tahu, life is not easy, I should do something for my future. Kalau kau terlalu menyayangi anakmu, mencukupi segala kebutuhannya, sebenarnya secara tidak sadar, kau telah merebut hak juangnya guna menghadapi tantangan masa depan.

Bagaimana hari depan kita? Seorang mantan cowboy, setelah menjadi orang Kristen menuliskan sebuah syair, I do not know about tomorrow, but I know the One who hold my hands is the One Who hold my tomorrow, amin? Selama 48 tahun melayani Tuhan, saya tak pernah berani melangkah dengan sembrono. Teman-teman saya di sekolah teologi satu per satu pindah ke luar negeri, menikmati kehidupan yang lebih nyaman, saya hanya tahu satu perkara: if that is not Your will, I will not move even one step. Hidup kita bagai uap yang hanya muncul sesaat, barangsiapa tahu apa itu bajik tapi tidak melakukannya. dia berdosa — definisi dosa yang begitu berbeda: bukan dosa melakukan sesuatu tapi dosa karena tidak melakukan. Bagaimana mungkin tidak melakukan juga diperhitungkan sebagai dosa? Karena kau tahu, tapi kau tidak melakukan. Contoh: kau tahu pimpinan Tuhan lebih penting dari kemauanmu, tapi kau tak mau taat pada pirnpinanNya, kau berdosa.

Agama lain mengajarkan, kalau kau melakukan sesuatu yang salah, kau disebut dosa. Tapi tidak demikian dengan kekristenan, sikap, arah dan semangat tahu tapi tidak melakukannya juga dikategorikan sebagai dosa. Seorang tua, anak tunggalnya sudah lama pergi, tak ada kabar beritanya, dia selalu menantikan anak itu pulang. Suatu malam, dia mendengar suara teriakan minta tolong, tapi pikirnya, aku terlalu letih, terlalu tua, apalagi sudah larut malam, di luar sana dingin bukan kepalang, di sekitar sini juga ada rumah-rumah lain biar saja mereka yang menolong. Diapun tidur. Pagi harinya, badai salju sudah stop, di jarak berapa puluh meter dari rumahnya dia menemukan sebuah mayat, setelah dia amati, ternyata adalah anaknya. Dia menangis tak henti-hentinya, sampai mati karena kepedihan yang begitu mendalam. You know about good, you know that you should do good but you do not do it, that is sin. Mari kita membebaskan diri dari salah menilai orang, salah menilai diri, situasi…kita bersandar pada Tuhan, taat pimpinanNya, melakukan hal yang baik, yang Tuhan gerakan, amin?


Oleh : Pdt. Dr Stephen Tong
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah — EL)
Sumber : http://www.nusahati.com/2011/12/mengetahui-yang-baik-dan-jahat/

Sebuah Dompet


Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya.

Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk. Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengan Michael lagi karena ibunya telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditanda tangani oleh Hannah.

Surat itu begitu indah. Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan, mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu.

Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya kepada anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit. Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, ” Ada orang yang ingin berbicara dengan anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu !”

“Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencari tahu dimana Hannah, berada.”

Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita tua itu, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal.

Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. “Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimanapun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah.

“Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut,

Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu.”

“Ya,” lanjutnya.. “Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, dan …,” Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, “Katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, “Aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael.”

Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.”

Aku keluarkan dompet itu, dompet kulit dengan benang merah di sisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu! Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukan dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.” “Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.”

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah pak tua yang menyenangkan. “

Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?”

Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.” Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.”

Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang, hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya.” “Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.”

Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan. “Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. “Apakah anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami.

“Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.” Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. “Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta pernikahan di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka.
Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 69 tahun.


Sumber : http://www.nusahati.com/2011/12/sebuah-dompet/

Rabu, 14 Maret 2012

Janganlah Kamu Berhutang

(Rom 13:8)  Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barang siapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.
Tuhan berkata kepada Abraham ketika ia berumur sembilan puluh sembilan tahun, “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej. 17:1). “Akulah Allah Yang Mahakuasa” di dalam bahasa Ibrani adalah El-Shaddai. El-Shaddai dimengerti sebagai kelimpahan, seperti seorang dewa daripada orang Kanaan yang dikisahkan sebagai seorang ibu yang memiliki banyak payudara. Tetapi El-Shaddai ialah Allah sendiri, bukan dewa itu. Dan Allah berkata, “Aku Mahakuasa dan Aku bisa memberikanmu segala sesuatu. Sebab itu, engkau harus menjadi orang yang sempurna di hadapan-Ku.” Waktu Bapa mengutus Anak-Nya, Yesus Kristus, ke dalam dunia, Yesus berkata, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Baik dalam PL maupun PB, Tuhan menuntut manusia untuk menjadi sempurna.Ada dua pertanyaan patut kita ajukan.

Yang pertama, mungkinkah manusia menjadi sempurna dan hidup sempurna? Konfusius mengatakan bahwa tidak ada kebajikan yang lebih besar daripada orang yang berbuat salah, lalu mengaku, lalu berubah. Tidak ada orang yang tidak berbuat salah, karena itu berarti tak mungkin ada orang yang sempurna. Jikalau tak mungkin, lalu mengapa Tuhan menuntut orang untuk menjadi sempurna? Mungkinkah manusia sempurna? Tidak! Tidak ada seorang pun dalam sejarah manusia yang dapat menjadi sempurna dalam moral, karakter, dan keadilan.

Pertanyaan kedua, apabila tidak ada kemungkinan untuk mencapai kesempurnaan, mengapa Tuhan menuntut suatu hal yang tidak logis? Jika tidak ada orang yang mungkin mencapai kesempurnaan, kenapa Tuhan menuntut manusia untuk menjadi sempurna? Ini tidak logis dan tidak masuk akal. Jawabannya, jika dalam PL, karena progressive revelation, memang belum sempurna. Tetapi dalam PB pun Yesus menuntut kita untuk sempurna. Akhirnya, kita melihat tokoh-tokoh dalam PB melakukan dosa dan merasa diri berdosa. Tidak ada orang yang sempurna, bukan? Tetapi ini tuntutan Tuhan.

Kalau begitu, sempurna memiliki arti yang lebih dalam dari pikiran kita yang terikat oleh dosa. Kesempurnaan bukan sesuatu yang utuh sempurna, yang kalau tidak utuh berarti tidak sempurna. Dalam Filipi pasal 3, Paulus mengajak orang sempurna yaitu orang Kristen untuk bermental merasa tidak sempurna. Ini namanya paradoks. Paradoks berarti kelihat konflik, tetapi sebenarnya tidak. Kelihatan tidak harmonis, tetapi sebenarnya harmonis.

Apa paradoksnya? Yaitu orang sempurna harus selalu bersedia mengaku bahwa dirinya tidak sempurna. Orang yang tidak sempurna dan tidak mengaku dirinya tidak sempurna, berpura-pura sempurna, akan terus tidak sempurna, dan akhirnya tidak mungkin sempurna. Orang yang tidak sempurna, namun mengaku bahwa dirinya tidak sempurna, selalu mengkoreksi diri untuk menuju kesempurnaan, akhirnya menjadi sempurna. Orang yang rendah hati tidak merasa dirinya rendah hati. Sayangnya, orang yang sombong tidak pernah sadar dia sombong. Maka dalam Filipi 3, Paulus berkata. “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna… Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian.” (Flp 3:12; 15).

Saya pernah berkotbah mengenai kesempurnaan sebanyak empat kali di Amerika, yaitu The perfection in the original creation; The perfect lost after the fall; The perfection in Jesus Christ as a promise; dan The perfection after eternity totally redeemed. Inilah empat tahap dari teologi Agustinus, yaitu pada permulaan ialah posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa), kemudian setelah manusia jatuh, non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa), setelah ditebus oleh Kristus, posse non peccare (bisa tidak berdosa), dan setelah disempurnakan oleh Kristus dalam kekekalan, non posse peccare (tidak bisa berdosa).

Mari kita mengerti Kitab Suci dengan tuntas dan memegang teologi yang ketat. Hanya dalam teologi Reformed kita dapat mempelajari kebenaran. Hargailah semua ini, yaitu pengertian-pengertian yang bermutu dan mendalam yang diwarisi dari para nabi dan rasul, dari Yesus dan Paulus, dari Agustinus dan Calvin, karena disinilah kita bisa mendapat pengertian yang paling tuntas, jernih, dan baik.

Paulus berkata, “Aku merasa diri tidak sempurna, aku hanya menuju terus kepada sasaran yang terakhir yaitu Kristus sebagai telos” (Flp. 3:14). Telos berarti the ultimate goal. Telos dalam filsafat Latin berarti the highest good. Who is the highest good? The highest good is only in the only begotten Son of God, Jesus Christ. Kita dituntut untuk menjadi sempurna, namun kita berada dalam keberdosaan. Karena itu kita melihat ada perbedaan kualitas di dalam teologi John Wesley dari teologi John Calvin.  Kesempurnaan bagi John Wesley merupakan asumsi apabila manusia suci 100% di dunia. Kesucian bagi Calvin ialah hal yang tidak mungkin, namun kita harus terus menuntut dengan kualitas kesempurnaan. The quality and mentality of perfection as the basis. To achieve the quality of perfection in the Scripture is not easy. Itu sebabnya, kita harus selalu mengaku apabila kita tidak sempurna, berdosa, dan perlu belajar terus.

Dengan demikian, kerendahan hati dan keadaan memuliakan Tuhan menjadi mungkin. Apabila tidak ada kerendahan hati yang memegang kualitas kesempurnaan dan mengaku diri tidak sempurna, seseorang tidak mungkin rendah hati, selalu sombong, menghina orang lain, lalu merebut kemuliaan Tuhan Allah. Apabila orang-orang Kristen tidak rendah hati,  gereja-gereja pasti akan selalu bertarung dan manusia pasti saling menghina. Perdamaian dan saling mengasihi tidak mungkin tercapai. Sebab itu, Paulus dalam Roma 13:8 mengatakan, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi.”

Saya dilahirkan dalam kondisi yang susah. Ibu saya pernah mengatakan, “Sekarang miskin, tidak apa-apa. Namun, jangan sampai hati menjadi miskin. Kantong boleh kosong, jantung tidak boleh kosong. Tidak ada uang, itu soal kecil. Tidak ada niat perjuangan, itu soal besar.” Saya ingat terus dari kecil, dalam kondisi sesusah apapun, tidak boleh meminjam uang. Lalu ketika saya membaca Roma 13:8, saya mengerti ini Firman Tuhan, yaitu jangan berhutang di dalam hal apapun kepada siapapun, tetapi hanya dalam cinta kasih, harus selalu merasa berhutang dan harus membayar.

Apabila kita merasa kurang memberi kasih, kita akan selalu menuntut diri agar tidak boleh sembarangan, tidak boleh sombong, harus rendah hati, dan membayar harga untuk menolong orang lain. Apabila engkau tidak pernah menuntut diri, hanya menuntut dari orang lain, Konfusius pun mengatakan bahwa engkau orang kecil. Di dalam filsafat Konfusius, manusia dibagi di dalam dua lapisan, gentleman dan little man. Gentleman is seeking after righteousness, little man is seeking for profit. Orang kecil, demi mencari untung, membunuh orang. Tetapi orang besar tidak peduli untung rugi pribadi, hanya mementingkan bagaimana melaksanakan keadilan dan kebenaran. Orang besar menuntut diri, orang kecil menuntut orang lain.

Di dalam gereja, kita juga melihat dua macam orang Kristen. Ada orang yang selalu merasa diri penting, sedangkan ada orang Kristen yang selalu merasa kurang mencintai Tuhan, berkorban, dan menyangkal diri, dan harus lebih melayani. Cinta yang tidak pernah merasa cukup adalah cinta yang selalu berkorban. Apabila seseorang merasa dia kurang melayani, maka dia akan melayani terlebih dahulu. Selalu ingin bersumbangsih, ini orang Kristen. Namun ada orang yang tidak mau melayani, tetapi masih ingin dihargai dan membuat orang lain melihat kepada dirinya, bukan kepada Tuhan, betapa buruknya hati orang tersebut. Di dalam melayani, marilah kita belajar bagaimana merendahkan diri dan meninggikan Kristus. Yohanes Pembaptis berkata bahwa Kristus harus semakin besar, tetapi ia harus semakin kecil (Yoh. 3:30).

Kenapa saya, meskipun sudah tua, melayani lebih berat daripada orang lain? Karena saya tahu bahwa saya telah diberi banyak berkat, bakat, dan karunia. Alkitab mengatakan yang diberi banyak, dituntut banyak (Luk. 12:48). Yang diberi sedikit, dituntut sedikit. Apabila saya tidak bekerja lebih berat, bagaimana saya menghadapi Tuhan nanti? Saya tidak merasa orang berhutang kepada saya, saya merasa saya berhutang kepada dunia dan orang lain. Di dalam cinta kasih, harus selalu merasa diri berhutang, baru kita bisa menuntut diri, menyangkal diri, dan minta diri untuk berkorban banyak bagi orang lain. Dunia akan mendapatkan berkat dari orang seperti ini. Itu sebab saya mengambil tiga langkah untuk menjelaskan kesempurnaan. Pertama, barangsiapa yang merasa diri sempurna, pasti tidak sempurna. Kedua, barangsiapa yang meanggap diri tidak sempurna, mungkin dia memang belum sempurna. Ketiga, barangsiapa yang sempurna, pasti tidak pernah menganggap diri sempurna. No one is perfect, only God is perfect.

Kalau demikian, apa artinya sempurna di dalam Kitab Suci menurut teologi Reformed? Apabila John Wesley menyimpulkan bahwa kita di dunia bisa mencapai kesempurnaan, maka menurut teologi Reformed, kita tidak mungkin mencapai kesempurnaan, namun kita harus menjadi orang sempurna. Apa artinya hal ini? Pertama, perfection in quality. Seekor ayam kecil sempurna karena merupakan ayam asli dan memiliki kesempurnaan ayam. Setiap orang jangan melihat orang lain lebih hebat dan kaya, namun harus bisa menuntut kesempurnaan yang telah diberikan oleh Tuhan sebagai the seed of the essential foundation of perfection. Setiap orang memiliki kesempurnaan dalam kualitas. Jangan menghina diri. Kita harus menggali diri kita sendiri menurut kualitas kesempurnaan sebagai potensi yang telah Tuhan berikan.

Kedua, kita harus memiliki motivasi kesempurnaan, the motivation of perfection. Maksudnya, kita harus memiliki suatu motivasi yang jelas, suatu hati yang murni dan tidak ada embel-embel lain ingin menjadi sempurna. This motivation becomes the greatest impulse in your efforts. Manusia yang memiliki potensi namun tidak memiliki motivasi susah sekali. The quality of perfection has been given and implanted in everybody. Namun, motivasi kesempurnaan harus dicari dan dipupuk oleh masing-masing orang.

Ketiga, the progressive perfection. Di dalam mencari kesempurnaan, harus maju. Maju sedikit-sedikit, meskipun perlahan, harus maju terus. Aesop Fables mengajarkan bahwa kura-kura bisa menang daripada kelinci karena kura-kura maju terus, sedangkan kelinci tidur. Ini merupakan pengajaran yang sangat besar. Jangan mengira diri hebat. Kebanyakan anak pintar menjadi anak malas, karena dia sombong dan tidak menjalankan tugas dengan rajin. Kebanyakan orang sukses adalah orang yang ulet dan tekun. The quality of perfection as the seed of perfection. The motivation of perfection as the impulse, the driving power. The perfection of achievement slowly, step by step, as perfection of progress.

Keempat, the perfection of always living upon God and His promises. Our God is God Almighty, the living God, the God of promises. What is promise? Istilah promise dalam bahasa Latin mempunyai dua arti. Pertama, sebelum, dan kedua, janji. Sebelum terjadi suatu misi, diberi janji terlebih dahulu. Promise can be divided into two parts, pre- and mission. Before God grant you a mission, He first tells what it is going to be. Dengan iman melihat suatu kemungkinan, maka terlihat sebelum misi. Itu yang namanya pre-misi, promise.

Saya bersyukur saya telah memikirkan banyak hal jauh-jauh hari. Saya tidak hidup dalam dunia ini dengan sia-sia dan hidup foya-foya. Meskipun saya telah tua dan akan menjadi tambah tua, tidak apa-apa. The growth inside is better than the decay outside. Waktu di luar semakin tua dan jelek, Paulus berkata, hati semakin diperbarui. Waktu tua saya akan menjadi orang yang mengeluarkan mutiara-mutiara, karena saya memupuk bijaksana. Progressive perfection is the goal as our telos. Uncompromised, we go forward, with our effort and struggle and with the promise of God and with the hope and hold on Him to guide us. Orang tua yang selalu berbicara hal yang sama akan tidak disukai. Orang muda yang berbicara hal yang sama berarti sudah tua. The secret of keeping you young is always speaking and thinking something fresh, inspiring others.

Puji Tuhan, Alkitab mengatakan bahwa kita bisa sempurna. Sasaran tidak boleh terlalu rendah, harus tinggi. Semakin tinggi, semakin merambat, terus naik. Sukarno mengatakan, “Jangan memiliki sasaran di bumi, harus memiliki sasaran di langit. Harus mempunyai ide yang paling tinggi di langit. Kalau bisa, di langit lapisan ketujuh! Apabila tidak bisa capai, hanya bisa dilapisan pertama, toh di langit.” Banyak anak muda hidup tidak ada sasaran, hidup untuk foya-foya. Hidup akan hancur. Milikilah sasaran dan berkatalah, “God, I want to have goal that high, I want to achieve that high.”

I am not joking. I have very high goals, I want to achieve and achieve. Setiap tahun adalah aset saya untuk maju. Setiap kalori dalam hidup saya adalah aset untuk mewujudkan apa yang Tuhan mau saya laksanakan di dalam hidup saya. Biarlah semua anak muda di GRII belajar dari orang tua yang sekarang berdiri di depan, karena dia belajar bagaimana mencapai sasaran yang tinggi. Paulus berkata, “Aku tidak berhenti-henti menuntut mencapai tujuan yang dipanggil Tuhan dari atas bagi diriku dan sasaranku ialah Yesus Kristus.” Saya harap malam ini kita mendengar Firman Tuhan dan belajar menjadi orang yang tidak puas diri, merasa diri kurang, tidak pernah merasa sempurna, maka mau maju. The quality in perfection as a potential, with a motivation to be perfect, and with the progress, step by step growth to be perfect, and with a high goal with Jesus Christ as the model of our perfection, kita akan menjadi orang Kristen yang selalu maju. Start from today, ask God to guide you.


 Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : www.nusahati.com

Sahabat Sesaat

Gadis itu berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah pantai dekat rumahku. Aku pergi ke pantai itu, yang jaraknya sekitar 5 km dari rumahku, saat aku merasa sedih. Saat itu dia sedang membangun istana pasir dan kemudian menengadah menatapku, matanya sebiru warna laut.
“Halo,” katanya. Aku menjawab dengan sebuah anggukan. Aku sedang tidak ingin diganggu, apalagi oleh anak kecil.

“Aku sedang membangun sesuatu, “katanya. “Aku tahu. Membangun apa?” tanyaku basa-basi dan tidak benar-benar peduli. “Oh, aku tidak tahu, aku Cuma senang saja dengan pasir.” Baguslah, pikirku sambil melepas sepatuku. Seekor burung camar nampak terbang melayang. “Itu adalah kebahagian,” kata anak itu. “Itu apa?” “Kebahagiaan. Ibuku bilang burung camar itu datang untuk memberi kita kebahagiaan.” Burung itu meluncur turun ke permukaan air laut.

“Selamat tinggal bahagia,” gumanku, “selamat datang derita,” sambil kemudian melangkah pergi. Aku merasa sangat sedih, hidupku berantakan.

 “Siapa namamu?” ia tidak menyerah. “Robert,” jawabku. “Namaku Robert Peterson.” “Namaku Wendy… usiaku 6 tahun.” “Hai Wendy.” Ia tertawa geli. “Kamu lucu,” katanya. Meski sedih, aku tersenyum dan terus berjalan. Tawa gelinya mengikutiku. “Mr.P, besok datang sini lagi ya,” teriaknya. “Besok kita akan mengalami hari yang menyenangkan lagi.”

Berminggu-minggu setelah itu, aku baru ke pantai itu lagi. “Aku butuh melihat burung kedidi,” pikirku saat itu. Begitulah aku ada di pantai, mencari ketenangan. Aku sudah melupakan anak itu ketika kemudian ia muncul.

“Halo Mr.P,“ katanya. “Apa kamu ingin main?” “Mau main apa?” tanyaku dengan sedikit merasa terganggu. “Aku tidak tahu, kamu saja yang menentukan.” “Bagaimana kalau main tebak kata?” tanyaku. Ia tertawa, “Apa itu? Aku tidak bisa.” “Yah, kalau begitu kita jalan-jalan saja,” tanyaku. “Di sana,” jawabnya sambil menunjuk ke sebuah deretan pondok. Aneh, pikirku, kenapa ia tinggal di situ pada musim dingin seperti ini.
“Wendy, kalau kamu tidak keberatan,” kataku langsung kepada Wendy, “aku ingin sendirian hari ini.” “Tidak seperti biasanya, ia nampak pucat. “Mengapa?” tanyanya. Aku berpaling kepadanya dan berteriak, “Karena ibuku baru saja meninggal!” “Ya Tuhan, kenapa aku berkata seperti itu kepada seorang anak kecil?” batinku. “Oh,” ia menjawab pelan, “kalau begitu ini bukan hari yang menyenangkan.” “Benar,” kataku, “kemarin-kemarin pun juga.” “Apa menyakitkan?” tanyanya. “Tentu saja iya,” kataku jengkel kepadanya dan kepada diriku sendiri sambil berjalan menjauh darinya.

Sebulan setelah itu, aku pergi ke pantai lagi. Ia tidak ada di sana. Aku merasa bersalah kepadanya dan benar saat itu aku merindukannya. Maka, aku pergi ke pondok tempat ia tinggal dan mengetuk pintunya. Seorang wanita muda membuka pintu.

“Halo,” kataku, “Aku Robert Peterson. Aku merindukan Wendy hari ini, apa ia ada?” “Oh ya, Pak Peterson, silakan masuk. Wendy banyak cerita tentangmu. Maaf jika ia mengganggu dan membuatmu jengkel,” katanya. “Oh tidak, ia anak yang baik,” kataku. “Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Ia menderita leukemia. Mungkin ia tidak mengatakannya kepada Anda.”

Kaget setengah mati, aku meraih sebuah kursi dan duduk. “Ia sangat mencintai pantai ini, jadi saat dia meminta untuk tinggal di sini, kami tidak bisa menolaknya. Ia lebih bahagia di sini dan hari-harinya menyenangkan. Tapi minggu lalu, keadaannya menurun drastis…” suaranya terputus-putus. “Ia meninggalkan sesuatu untuk Anda. Tunggu sebentar ya, aku akan mencarinya.”

Aku mengangguk. Sesaat kemudian, wanita muda itu memberiku sebuah amplop yang betuliskan Mr.P. Tampak dari modelnya, Wendy sendiri yang menulisnya. Di dalamnya adalah sebuah lukisan dengan warna crayon — sebuah lukisan pantai berwarna kuning lengkap dengan lautnya yang berwarna biru dan sebuah burung berwarna cokelat. Di bawah lukisan itu tertulis: Seekor Burung Camar untuk Memberimu Kebahagiaan. Mataku berlinang air mata. Aku memeluk ibu Wendy. ”Aku minta maaf, aku minta maaf, aku minta maaf,” kataku berulang kali diiringi aliran air mata di pipiku.

Lukisan yang berharga itu aku bingkai dan aku gantung di kamarku. Enam kata – yang masing-masing mewakili setiap tahun umurnya – mengajariku akan sebuah kasih yang tidak menuntut. WENDY, sahabat sesaatku, sudah menyadarkanku mengenai anugerah kasih yang ada di dunia ini.