Selama 45 tahun, hidup Ken Karpman
tampaknya nyaris sempurna. Lulus dengan gelar sarjana S-1 dan MBA
(Master of Business Administration) dari universitas bergengsi UCLA
(University of California), Karpman langsung mendapat kerjaan dengan
gaji yang menggiurkan sebagai pialang saham.
Dia pun bisa menikahi perempuan
idamannya, Stephanie, dan dikarunai dua anak. Mereka pun rutin berlibur
ke tempat-tempat mahal di penjuru dunia.
Setelah 20 tahun meniti karir sebagai
pialang, Karpman pun naik jabatan menjadi eksekutif perusahaan. Gajinya
pun naik menjadi US$750.000 (sekitar lebih dari Rp 8,8 miliar) per
tahun.
“Saat itu hidup begitu indah. Kami bisa
cetak banyak uang. Entah mengapa situasi itu kok tidak berlanjut?” kata
Karpman dalam wawancara khusus dengan stasiun televisi ABC.
Dari segala sisi, Karpman dan keluarga
saat itu hidup dalam “Impian Amerika” (American Dream). Mereka tinggal
di sebuah rumah besar di kota Tampa, Florida. Rumah mereka pun
dilengkapi lapangan golf.
“Saat itu saya sudah tidak tahu berapa harga barang-barang di toko. Pokoknya, tinggal bawa troli dan ambil saja,” kata Karpman.
Dia pun begitu percaya diri dengan
kemampuannya mencetak banyak uang. Maka, tahun 2005 dia meninggalkan
perusahaan tempat dia bekerja dan membuat usaha sendiri yang sejenis.
Untuk mendirikan perusahaan sendiri
sekaligus meningkatkan taraf hidup, dia Karpman dengan enteng
mengeluarkan dana US$500.000 dari tabungannya. Seperti kebiasaan
orang-orang Amerika, Karpman juga mengajukan kredit dalam jumlah besar
dengan jaminan rumah.
Namun, badai krisis keuangan menerpa Amerika Serikat (AS). Karpman tak mampu menarik investor sehingga perusahaannya bubar.
Sejak saat itu, dia menjadi penganggur dan sulit mendapat kerja. Padahal, di masa lalu, Karpman tak perlu pusing mencari kerja.
“Dulu, saat menjalani tes wawancara
kerja, saya bisa jadi bersikap kurang ajar karena justru sayalah yang
sering menanyai si pewawancara apakah perusahaannya cukup layak
mempekerjakan saya,” kata Karpman dalam wawancara yang ditayangkan di
laman stasiun televisi ABC.
“Sekarang, justru saya yang kini berharap-harap minta kerja sambil memegang topi di tangan,” lanjut Karpman.
Saat dia susah mendapat kerja,
tabungannya ludes untuk keperluan hidup sehari-hari dia dan keluarga.
Bahkan, keluarga Karpman kini harus menanggung utang ratusan ribu dolar
dan rumah mewah terancam disita pihak kreditur.
Mereka pun tak mampu menanggung biaya
pendidikan anak-anak di sekolah swasta yang mencapai US$30.000 (Rp 352,3
juta). Namun mereka bersyukur ada seorang dermawan yang membantu
membiayai uang sekolah anak-anak mereka hingga tahun depan.
Maka, Karpman sudah bertekad, kerja
apapun akan dia lakukan asalkan mendapat uang. Dia pun bersedia turun
derajat. Karpman tak lagi mencari posisi-posisi yang tinggi, maka dia
sempat melamar sebagai bartender (peramu minuman) namun ditolak.
Istrinya, Stephanie, kini juga akan menjual baju-bajunya yang
bertumpuk-tumpuk di lemari pakaian di toko-toko loak.
Akhirnya Karpman mendapat kerjaan baru.
Namun, bukan lagi sebagai eksekutif melainkan sebagai pengantar pizza
(roti isi khas Italia) di restoran Mike’s Pizza & Deli di kota
Clearwater.
Pemilik restoran, Mike Dodaro, bingung
saat melihat Karpman datang ke tempatnya untuk wawancara kerja dengan
mengendarai mobil mewah Mercedes Benz. Dodaro pun terkejut saat membawa
CV (riwayat pendidikan dan pekerjaan) Karpman.
Untuk menjadi pengantar pizza dari rumah
ke rumah tak perlu harus bergelar MBA dan berpengalaman sebagai manajer
pialang saham. Dengan kata lain, Karpman tergolong over-qualified
(bobot pendidikan dan pengalaman kerja terlalu tinggi untuk posisi kerja
yang dia lamar)
Namun, Karpman tetap mengambil lowongan
itu. Dia rela kini digaji US$7,29 atau sekitar lebih dari Rp 85.000 per
jam – belum termasuk tips. Karpman pun tak peduli dengan reaksi istrinya
yang kaget dengan profesi suaminya saat ini.
“Menurut saya, yang paling buruk adalah
saat datang ke teman sambil berkata, ‘Boleh pinjam uangmu?’ Menjadi
pengantar pizza pun sudah kemajuan,” lanjut Karpman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar