Ditahun 1865, John Augustus Roebling,
arsitek genius kreatif dengan imajinasi besar, terampil dan kaya
pengalaman, merancang jembatan gantung megah untuk menghubungkan
Brooklyn dan Manhattan. Karena di masa itu belum pernah ada jembatan
seperti ini, idenya untuk membangun jembatan spektakuler ini ditolak
para ahli. Seluruh dunia menentang idenya dan menyuruhnya melupakan
rencananya.
“Jembatan seperti ini tak bisa dibangun,” “Rancangannya tidak praktis.” “Belum pernah ada jembatan yang dibangun seperti ini.”
Roebling tak bisa melupakan ide dan visi
jembatan ini. Intuisinya mengatakan visinya benar. Satu-satunya orang
yang mendukung rancangannya adalah anaknya sendiri yang juga arsitek,
Washington Roebling.
John Roebling memikirkan rancangan ini
setiap saat. Ia lalu diskusi, membujuk, dan berusaha meyakinkan pemodal
dan pemerintah. Usahanya baru membuahkan hasil 4 tahun kemudian. Kongres
dan Presiden Ulysess Grant memberikan izin pembangunan jembatan ini
pada tahun 1869. John dan Washington lalu bekerja sama mengembangkan
konsep bagaimana jembatan ini bisa dibangun dan cara mengatasi hambatan.
Dengan semangat berapi-api dan inspirasi besar, keduanya lalu membuat
rencana rinci dan merekrut tim yang diperlukan. Mereka menyiapkan
semuanya secara baik, tapi nasib ternyata bicara lain.
Sebulan kemudian, ketika memeriksa
lokasi, kaki John Roebling ditabrak ferry yang bakal tak terpakai jika
jembatan selesai dibangun. Kaki John diamputasi. Dua minggu kemudian,
John Roebling terserang tetanus dan meninggal sebelum sempat meletakkan
batu pertama.
Semua orang mengira, proyek jembatan ini
akan mati bersama John Roebling. Secara normal, semua orang akan
menyerah. Washington yang sering mendengar ayahnya mengatakan, percaya
jembatan ini bisa dibangun, ingin mewujudkan visi ayahnya menjadi
kenyataan, dan meneruskan proyek ayahnya.
Nasib kembali bicara lain. Tiga tahun kemudian kembali terjadi tragedi. Jembatan ini dibangun dengan menggunakan caisson, ruang kedap air yang mendukung fondasi jembatan. Sesudah bekerja di dalan caisson dengan tekanan udara tinggi, Washington terlalu cepat naik ke permukaan dan terserang penyakit caisson.
Ia menderita kerusakan otak permanen, tak bisa bicara, setengah tuli,
seluruh badannya lumpuh. Satu-satunya yang bisa digerakkan hanya jari
telunjuk kanan. Ia tak bisa bekerja dan berkomunikasi dengan para
pekerja. Komentar negatif segera bermunculan. “Kami sudah mengingatkan
mereka.” “Ayah dan anak gila dengan impian gila” tak ada yang lebih
bodoh selain mengejar visi liar.”
Karena hanya Roebling sendiri yang tahu
bagaimana cara jembatan ini dibangun, semua orang merasa, proyek ini
harus dihentikan. Tapi, kendati pun cacat, Washington tidak berkecil
hati. Semangtnya tetap berapi-api untuk menyelesaikan pembangunan
jembatan itu. Fisiknya memang cacat, tapi pikirannya masih jernih dan
tajam seperti semula.
Ia lalu mencoba mengilhami dan
menularkan semangatnya kepada beberapa sahabat, tapi mereka terlalu
takut untuk meneruskan rencananya. Saat terbaring di rumah sakit,
seberkas cahaya matahari menerobos lewat jendela. Hembusan angin
sepoi-sepoi menerbangkan gorden tipis dan ia bisa melihat langit dan
puncak pohon di luar sana. Ia merasa mendapat pesan untuk tidak
menyerah.
Mendadak saja sebuah ide muncul di
kepala. Karena hanya bisa menggerakkan telunjuk kanan, ia akan
memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya. Secara perlahan, ia
mengembangkan sejenis kode Morse untuk bicara dengan istrinya Emily
Roebling.
Ia menyentuh lengan istrinya dengan jari
telunjuk, menyuruhnya memanggil para arsitek. Lalu menggunakan cara
yang sama untuk memberitahu apa yang harus dikerjakan. Tampaknya gila
dan bodoh, tapi proyek pembengunan jalan lagi. Setiap hari, selama 10
tahun, ia mengetukkan instruksi yang harus dikerjakan di lengan Emily.
Dengan mengikuti instruksi ini, Emily yang cerdas mempelajari
keterampilan matematika dan teknik agar bisa menyampaikan pengarahan
suaminya.
Jembatan akhirnya selesai dibangun pada
bulan Mei 1883. Saat peresmian jembatan Emily Roebling memimpin pawai
menyeberangi Jembatan Brooklyn. Washington yang duduk di kursi roda,
menyaksikannya dari jendela apartemennya. Ia lalu mengetukkan pesan
kepada mendiang ayahnya, “Akhirnya kita berhasil juga.”
Washington Roebling kini dikenang
sebagai pembangun Jembatan Brooklyn yang megah. Tapi, dia tak akan bisa
menyelesaikan proyek ini tanpa dukungan istrinya. Emily Warren Roebling
mendapat pujian besar saat peresmian jembatan. Ia berperan sebagai istri
sekaligus pelindung dan pendukung impian suami. Sebagai penghargaan
atas jasanya, lebih dari 50 tahun kemudian, nama Emily Warren Roebling
diukir pada piagam yang dipasang pada menara Brooklyn dan menara New
York dari Jembatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar