Kamis, 28 April 2011

WAKTU DAN HIKMAT




Inilah doa Musa pada saat dia sudah sangat lanjut usia, doa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan sehari-hari, doa yang saya sebut sebagai a pray of a life not a pray of a living. Banyak kali doa kita adalah doa yang mencari, meminta, menanti sesuatu yang kita butuhkan di dalam hidup sehari-hari; a pray for living.

Tapi doa Musa adalah doa yang menata kembali hidupnya:
bagaimana menjalankan hidup, mengintrospeksi diri dan menilai diri sendiri. Karena hidup yang kita lalui itu, suatu hari nanti akan berhenti. Itu sebabnya mari kita minta Tuhan memberi kekuatan untuk menangani hidup kita dengan serius, dengan sungguh-sungguh.

Hari ini kita akan membahas konsep waktu dan hidup kita di dunia. Siapa yang menentukan kita dilahirkan di dunia, bukan orang lain atau diri kita sendiri. Sebelum kita menyadari keberadaan kita, kita sudah dilahirkan di dunia. Kita menerima segala tradisi, kristalisasi pemikiran dan bijaksana manusia yang diturunkan dari suku, bangsa dan negara kita.

Mazmur 90, ditulis oleh Musa, tiga ribu lima ratus tahun yang lalu, seribu tahun lebih dini dari pada Eulicis and Illiat; tulisan Homer, dua ribu tahun lebih dini dari tulisan Dupu, Libai, Paijuyi, tiga sastrawan besar Dinasti Tang. Juga lebih dini dibandingkan Kitab Upanisatnya orang India. Dengan kata lain, Mazmur 90 adalah salah satu tulisan yang terdini, yang berbicara tentang bagaimana manusia mencari makna hidupnya di hadapan Tuhan. Pendahuluan Mazmur 90 membuktikan penulisnya mempunyai kesadaran dan kepekaan yang tinggi terhadap hubungan vertikalnya dengan Tuhan. Musa tidak berkata, dunia ini adalah rumahku tapi dia berkata. You are my dwelling place. Dan di ayat 12 dia berkata, ajarkan kami how to count my time, my days, sungguh merupakan satu doa yang sangat unik.

Karena biasanya:

Pertama, manusia hanya pandai menghitung uang.
Suatu hari saya bertanya, semua orang di dunia ini ingin mendapatkan untung, dari manakah datangnya untung? Dari Tuhan. Anehnya, waktu Allah berkata, perpuluhan adalah milikKu, manusia tidak pernah memperdulikannya, masih terus menerus mencuri uang Tuhan. Beranikah kau merampas uang milik orang yang lebih berkuasa dari kau dan mempunyai kemungkinan untuk membunuh kau? Tidak berani bukan? Kau hanya berani mencuri milik Tuhan yang di dalam anggapanmu penuh kasih. Ketahuilah semua keuntungan hanya berasal dari satu sumber: Tuhan Pencipta segala sesuatu. Jika orang Kristen tidak mengerti prinsip ini, kita sengaja membodohi diri sendiri, sengaja mengabaikan firman Tuhan, sengaja melupakan perintahNya dan sengaja melarikan diri dari kewajiban.

Kedua, kita pandai menghitung kesalahan orang lain. Semua hal yang kau anggap salah, kau catat di dalam hati dan kau ingat semuanya.

Ketiga, kita pandai menghitung jasa kita sendiri: orang ini pernah berhutang budi kepada saya, orang itu pernah berhutang uang kepada saya. Meskipun saat itu saya tidak mengatakan harus membayar, tapi sebenarnya saat itu, hidup saya susah, mengapa setelah dia kaya, dia melupakan saya? Perbuatan baik yang pernah kita lakukan bisa kita ingat, tapi kesalahan yang kita perbuat atas diri orang lain bukan saja tidak kita ingat bahkan tidak kita sadari. Inilah penyakit psikologis universal yang timbul setelah Adam jatuh di dalam dosa, kita selalu paranoid: merasa dirikulah dirugikan, padahal secara tidak sadar kita juga sering merugikan orang lain.
Kecuali kita percaya pada ajaran Kitab Suci manusia sudah jatuh di dalam dosa, maka kita selalu ingin diperlakukan secara manusiawi tapi kita sering tidak menyadari orang lain adalah manusia yang perlu diperlakukan secara manusiawi. Kita selalu menggunakan dua ukuran yang berbeda: saat berbicara tentang cinta kasih, kita berkata, akulah yang perlu dikasihi. Tapi saat berbicara tentang adil, kita berkata, orang lainlah yang perlu berlaku adil.

Permisi tanya, selama satu tahun ini, berapa kali kau mendoakan anakmu dan pernahkah kau mendoakan anak orang? Kau yang mempunyai mata juga melihat kebutuhan orang lain, Allah berfirman, kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri. Mungkin kau berkata mengasihi sesama adalah hal yang amat sulit dilakukan. Padahal mengasihi sesama membantumu menerobos kekurangan-kekurangan diri, membuatmu menjadi orang yang berjiwa lapang dan berohani tinggi.

Apakah kekurangan kita dalam menghitung?

Pertama. Kurang menghitung kebaikan yang orang lain lakukan bagi kita. Barangsiapa tidak melupakan budi baik orang lain, dia selalu hidup dengan penuh tanggungjawab, sukacita dan puas. Mari kita belajar di hadapan hadirat Tuhan untuk selalu mengingat kebaikan orang lain dan

Kedua, kurang menghitung kesalahan yang pernah kita lakukan. Orang yang tahu menghitung kesalahan diri sendiri dan bisa membereskannya di hadapan Tuhan melalui pengakuan dosa, pengoreksian diri dengan rendah hati, kerohaniannya pasti akan maju. Mengapa ada orang yang sudah sekian lama menjadi orang Kristen tapi hidupnya tidak mengalami perubahan? Karena dia tidak pernah menyadari kesalahan dirinya dan tidak merasa perlu dikoreksi.

St.Francis yang hidup di abad ke-13 pernah menaikkan doa yang terkenal di seluruh jagat: Tuhan, di mana ada permusuhan, di situ aku akan menanamkan perdamaian yang berasal dari Tuhan untuk memperdamaikan mereka. Mari kita mengenang kebaikan orang lain dan menyadari kesalahan diri sendiri sambil menghitungnya, waktu kita menyadari diri kita adalah orang yang lemah, yang perlu koreksi, kerohanian kita akan maju dengan pesat. Jika kita hanya tahu menghitung kesalahan orang lain, kita tidak mungkin maju. Apalagi kalau orang lain mengucapkan sesuatu yang kurang baik tentang diri kita, kita langsung membencinya, ini adalah etika yang sangat rendah. Karena orang yang berlaku baik terhadap saya belum tentu orang baik, orang yang berlaku tidak baik terhadap saya belum tentu orang jahat.

Kongfuzu berkata, berkawanlah dengan tiga jenis orang:
Orang yang lurus, jujur, benar. Orang yang mau mengerti, bisa mengerti, mampu mengerti dan mempunyai hati yang lapang untuk menerimamu. Orang yang mempunyai pengetahuan yang limpah.

Saya rasa, itu adalah wahyu umum tentang standar berkawan yang luar biasa, yang Tuhan berikan kepada Kongfuzu. Sahabat yang baik juga membuat kita menyadari kesalahan diri dan berubah, menjadi orang yang lebih beres. Jangan mencari kawan yang hanya tahu makan dan bermabuk-mabuk saja, karena waktu kau berfoya-foya, mereka berada di sekitarmu, tapi waktu kau jatuh miskin mereka akan lari meninggalkanmu. Jangan berkawan terlalu rekat. Karena relasi yang terlalu intim justru mudah retak, namun relasi yang tawar tapi jujur akan bertahan lama.

Saya berani pastikan secara mutlak: karena kita tidak menghitung anugerah Tuhan. Red Sea Mission yang khusus memberitakan Injil di daerah Islam, di tepi pantai Laut Merah sudah menginjili sepuluh tahun dengan susah payah, tidak seorangpun menerima Yesus. Sepuluh tahun kemudian, ada dua orang mau percaya dan dibaptiskan. Keesokan harinya, ditemukan kedua orang tersebut sudah dibunuh. Ada daerah yang begitu sulit mendengar Injil, ada daerah yang sudah puluhan tahun tidak menikmati anugerah seperti yang kita terima selama ini, tapi kita? menerimanya sebagai sesuatu yang biasa, kita memandang remeh anugerah Tuhan. Mari kita belajar menghargai anugerah Tuhan.

Terakhir, kembali kepada ayat ini: belajar menghitung waktu; teach me how to count my day in order to achieve the heart of wisdom. Kalau saja Musa mengucapkan doa ini pada masa mudanya akan lebih baik, sayang, dia mengucapkan pada waktu hidupnya di dunia sudah tidak lama lagi. Namun dia tahu, satu hari hidup di dunia berarti dia harus bertanggungjawab untuk hari itu, sebab itu membutuhkan kekuatan untuk melaksanakan tugas hari itu. Waktu saya masih kecil, ibu saya selalu membawa semua anaknya berdoa bersama. Lagu yang sering dia pilih untuk kami nyanyikan bersama sebelum doa adalah: bagi Tuhan ku melanjutkan satu hari lagi, untuk Tuhan ku hidup satu hari lagi, bekerjalah satu hari lagi dengan setia, hanya bekerja bagi Tuhan. Setelah ibu meninggal, barulah kami terpikir: itulah falsafah hidup ibu, satu hari demi satu hari berlalu di dalam anugerah Tuhan. Dilalui untuk siapa? Tuhan. Itulah yang dimaksud menghitung hari-hari hidup kita.

Bagaimana kita menghitung waktu?
1. Dengan cara menambah; plus. Lewat satu hari berarti tambah satu hari lagi. Itu adalah cara anak-anak menghitung hari: saya sudah bertambah besar, sudah tambah satu tahun lagi.
2. Dengan cara mengurangi; minus. Ini adalah cara yang lebih bijaksana. Seorang yang sudah matang rohaninya mulai menyadari hidup di dunia ini pendek, suatu hari nanti akan berhenti.
3. Dengan cara mengalikan; times. Maksudnya pada saat yang sama, kita mengerjakan pekerjaan ganda. Bisnisman tahu menginves uangnya yang terbatas di beberapa tempat, agar bisa memperoleh laba yang lebih banyak dan memutar uangnya dengan cepat.
Orang yang pandai bisnis tahu meski hanya mengambil untung satu rupiah tapi kalau setiap harinya bisa menjual seratus buah, berarti dia sudah mendapatkan untung seratus persen. Tetapi ada yang kurang pandai berbisnis selalu mau untung besar, barangnya dia tahan sampai tiga tahun baru terjual, meskipun kelihatannya langsung mendapat untung dua puluh rupiah tapi karena sudah lewat sekian tahun nilai uangnya sudah berubah banyak. Mengapa manusia tahu mengalikan uangnya tapi tidak tahu mengalikan waktunya? Bagaimana melipatgandakan waktu kita?
Waktu saya mengkhotbahkan hal ini di Boston, seorang Prof. Conwell Theological Seminary mengatakan, cara yang ketiga itu sudah saya jalankan. Bagaimana caranya? Saya adalah seorang hamba Tuhan, waktu saya senam pagi selama dua puluh menit, saya mendoakan dua puluh orang. Itu berarti dalam waktu yang sama saya sudah melakukan dua hal. Mungkinkah kita menggandakan waktu kita? Mungkin. Saya sudah membiasakan diri mengerjakan sesuatu sambil memikirkan hal yang lain.
Bagaimana menghitung waktu? Melipatgandakan. Kita sering menghambur-hamburkan waktu, hingga hidup kita terus digeser ke kuburan tapi kita belum mengerjakan apa-apa.
4. Dengan cara membagi. Jika kau mau memanfaatkan waktu dengan sungguh, berarti di dalam waktu yang terbatas itu kau membagikan dirimu. Seperti guru, tidak memonopoli pengetahuan untuk diri sendiri, melainkan membagikannya kepada orang lain, maka dalam waktu yang sama, pengetahuannya menjadi berlipat ganda. Rahasia yang kau ketahui, berkat yang sudah kau dapatkan bagikanlah kepada orang lain. Dengan membagikan waktu, talenta, harta rohani, pengertianmu kepada orang lain, seluruh dunia akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Musa tidak minta otak yang pintar melainkan the heart of wisdom. Jika kita mempunyai banyak pengetahuan tapi tidak berarah itu berbahaya sekali. Orang yang berjuang dengan susah payah sampai mencapai sukses tahu bagaimana menggunakan uangnya, tetapi kekayaan yang diturunkan kepada mereka yang tidak mempunyai dasar moral akan berbahaya sekali. Banyak pemuda pemudi rusak bukan karena tidak mempunyai uang melainkan terlalu banyak uang. Manusia yang terlalu miskin bisa rusak, manusia yang terlalu kaya juga bisa rusak. Kalau begitu, kau perlu dididik dengan membangun fondasi, arah, karena prinsip lebih penting dari pada pengetahuan. Setelah Musa berdoa untuk dapat menghitung waktu, apa lagi yang ingin dia peroleh? Hati yang bijaksana. Jika di dalam keluargamu terdapat satu orang yang benar-benar memiliki hati yang bijaksana, berbahagialah kamu. Keluarga yang dipimpin oleh hati yang bijaksana paling sedikit mengetahui tiga hal:
pertama, takut kepada Tuhan, Karena takut akan Tuhan adalah dasar kita tidak jatuh di dalam jerat iblis.
Kedua, mengenal kesucianNya, menjauhkan diri dari perbuatan yang jahat. Mengenal kesucian Allah adalah prinsip dan rahasia hidup bermoral yang sungguh. Menjauhkan diri dari segala perbuatan jahat adalah hidup yang berkenan di hadapan Tuhan. Ketiga, kurang menghitung anugerah Tuhan. Anugerah bukanlah sesuatu yang biasa, tapi karena kita sudah terbiasa di dalam anugerah maka kita memandang anugerah sebagai sesuatu yang remeh, kita tidak perlu bersyukur kepada Tuhan, itulah mengapa jika hidup kita penuh omelan tidak pernah sukacita?



Pdt. DR. Stephen Tong
Ringkasan kotbah Mimbar Reformed Injili
24 Desember 2000

(Ringkasan khotbah ini belum dikoreksi oleh Pengkhotbah, W.H.)

Tidak ada komentar: