Jumat, 15 April 2011
Waktu, Bijaksana, dan Etika
Pdt. Dr. Stephen Tong
Kita harus mengaitkan waktu dengan bijaksana. Sementara banyak orang hanya mengaitkan waktu dengan pengetahuan, Alkitab mengaitkan 3 hal: waktu, bijaksana, dan etika (time, wisdom and virtue). Paulus berkata,”Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.” (Kol. 4:5). Di sini waktu digabungkan dengan bijaksana dan etika. Demikian pula di dalam Ef. 5:16 waktu digabungkan dengan etika: “Tebuslah waktu yang ada, karena zaman ini adalah zaman yang jahat.” (KJV: ‘Redeeming the time, because the days are evil.’). Di dalam Alkitab kita melihat ada kaitan-kaitan tertentu yang tidak terlalu nyata, tetapi kalau kita selidiki (analisa), kita melihat kaitan itu penting sekali. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengenal kesucian Tuhan Allah dan takut akan Dia, seorang yang mengetahui bagaimana menegakkan hidup yang beretika dan hidup suci di hadapan Allah. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengetahui bagaimana menggunakan waktu dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Seorang yang menghargai waktu dan mencintai waktu adalah seorang yang mengisi waktu (hidup)nya dengan etika yang sesuai dengan etika ilahi. Dan seorang yang mengenal Tuhan adalah seorang yang mengetahui bahwa kesementaraannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Allah yang kekal. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan kesadaran kepada setiap kita untuk baik-baik memakai salah satu harta yang paling penting yang kita miliki, yakni waktu hidup kita.
Waktu, Kesementaraan, dan Kekekalan
Apakah kesementaraan berkaitan dengan kekekalan? Jikalau kesementaraan berkaitan dengan kekekalan, di manakah kaitannya? Mungkinkah manusia mengerti mengenai kekekalan sejak di dalam kesementaraan atau dunia sekarang ini? Dan apa perlunya kita memikirkan soal kekekalan? Alkitab merupakan buku yang penuh kelimpahan kebenaran dan rahasia memperoleh bijaksana. Di dalam Alkitab kita dapat menemukan hal-hal yang belum pernah dan tidak mungkin dipikirkan oleh filsuf-filsuf yang paling pandai sekalipun, prinsip-prinsip yang tidak pernah bisa dimengerti sekaligus oleh manusia seumur hidupnya yang singkat. Karena firman Tuhan berasal dari bijaksana yang kekal, maka tidak heran kalau di dalam kesementaraan kita tidak dapat mengertinya secara tuntas; kita hanya dapat mengertinya sebagian. Betapa celaka dan bodohnya orang yang mengejek, mengeritik, dan menghakimi firman Tuhan karena tidak mengertinya secara keseluruhan. Berapa panjangkah hidup kita? Alkitab berkata, “Tujuh puluh tahun, dan kalau kuat delapan puluh tahun, dan yang menjadi kebanggaan kita hanyalah keluhan, kesukaran, dan penderitaan.” (Mzm. 90:10). Adakah manusia yang tidak pernah mencucurkan air mata, mengeluh, dan mengalami patah hati di dalam sepanjang hidupnya? Tidak ada! Janganlah kita menjadi orang Kristen, hamba Tuhan maupun jemaat, yang hanya mementingkan ayat-ayat Alkitab yang berkata kalau ikut Tuhan pasti hidup lancar, enak, dan kaya. Itu adalah konsep yang sangat sempit. Alkitab mengajarkan kita jauh daripada itu: Kalau kita mengerti rahasia kebenaran sebagai pangkal atau dasar hidup kita masing-masing dan kita mempunyai sumber bijaksana yang kekal, maka kita akan dapat menghadapi segala kesulitan kalau Tuhan memberikan penindasan itu kepada kita. Pada hari hari Tuhan menindas kita, kita pun dapat bersuka cita. Pada waktu Tuhan membolehkan kita mengalami kesulitan, kecelakaan, dan segala malapetaka, apakah yang menjadi kekuatan kita menghadapinya? Apakah rahasianya kita boleh mengalahkan semua itu dan tetap menang di dalam hidup kita yang singkat di dunia ini? Yakni pengertian yang seimbang, stabil, dan utuh akan kebenaran Tuhan. Kita perlu mempunyai iman yang benar kepada Tuhan, sehingga sewaktu di dalam kesementaraan kita sudah menikmati kekekalan, dan kita mempunyai kelonggaran untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai pada saat menjelang kematiannya baru sadar bahwa mereka sudah membuang waktu terlalu banyak.
Beberapa orang dari Eropa pergi ke Afrika. Di tengah-tengah padang belantara yang panas mereka menjumpai suatu danau kecil. Di dekat danau itu banyak batu-batuan dan mereka menemukan sebilah papan bertuliskan: “Yang mengambil batu akan menyesal. Yang tidak mengambil batu juga akan menyesal.” Seorang di antara mereka tidak menggubris perkataan itu. Tetapi, seorang lainnya terus memikirkan apa arti tulisan itu. “Kalau saya membawa batu-batu itu saya akan tahu bagaimana menyesal karena membawanya. Kalau saya tidak membawa, juga akan menyesal, tetapi dengan penyesalan yang berbeda.” Akhirnya dia memutuskan untuk membawa sedikit batu-batu itu dan menyuruh yang lainnya tidak usah membawanya. Ada juga orang yang tidak menggubris kalimat itu dan bermain-main berlomba melemparkan batu-batu itu ke tengah danau, dan menganggap mereka tidak akan menyesal karena tidak memikirkan kalimat itu lebih jauh. Setelah kembali ke Eropa mereka menyuruh ahli batu-batuan untuk menyelidiki batu yang dibawa itu. Setelah diselidiki ternyata batu-batu itu adalah semacam Safir yang dari luar nampaknya jelek, tetapi di dalamnya merupakan permata yang sangat indah dan mahal. Yang tidak membawa batu itu menyesal karena tidak membawanya. Tetapi, yang membawa pun akhirnya juga menyesal, karena tidak membawa lebih banyak. Di dalam cerita itu batu-batu mengilustrasikan waktu.
Bisakah kita membawa waktu ke dalam kekekalan, ke dalam surga? Kesementaraan mungkinkah berkaitan dengan kekekalan? Kalau kita bisa mengaitkan kedua hal ini berarti kita orang yang berbijaksana. Bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan, dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan; ini merupakan suatu bijaksana yang luar biasa. Orang-orang biasa hanya menganggap kekal adalah kekal dan sementara adalah sementara. Banyak orang waktu diajak percaya kepada Yesus Kristus untuk menerima hidup kekal sering mengutip perkataan Konfusius: “Mengenai hidup sekarang saja kita tidak mengerti, mengapa berani bicara tentang sesudah mati?” Banyak orang hanya mau memikirkan tentang hidup sekarang, dan tidak mau pikir apa-apa tentang sesudah mati bagaimana; yang penting bagaimana menggarap hidup yang sekarang, mengenai yang akan datang tidak perlu dipedulikan. Ini salah satu sikap manusia yang paling umum di dalam dunia. Mereka tidak pernah memikirkan kemungkinan mengaitkan kekekalan dengan kesementaraan; bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan. Mengenai hal ini ada perbedaan yang terlalu besar antara binatang dan manusia. Binatang dicipta di dalam kesementaraan dan hanya mempunyai esensi kesementaraan itu saja. Tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan di dalam kesementaraan dengan dibubuhi esensi kekekalan, karena manusia telah dicipta menurut peta dan teladan Allah yang kekal. Kita adalah makhluk yang bersifat kekekalan; itulah sebabnya kita sering mendapat kesulitan untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai kadang-kadang mengeluh di dalam tubuh yang bersifat sementara. Kita merasa kesal pada waktu melihat wajah dan kulit tubuh kita menjadi kisut. Manusia berusaha untuk senantiasa awet muda, tetapi ini sesuatu yang mustahil. Faktanya kita semakin hari semakin bertambah tua. Rasa kesal karena mengetahui diri kita bertambah tua dan semakin digeser oleh waktu itu timbul dari suatu perasaan kita memiliki kekekalan. Kalau kita tidak memiliki kekekalan, kita tidak akan mempunyai ketidakpuasan dan kesadaran yang negatif terhadap eksistensi kita yang berada di dalam proses waktu yang menggeser kita menjadi tua. Waktu kita mengetahui barang yang kita sayangi rusak, waktu melihat orang-orang yang kita cintai sakit dan meninggal dunia, dan waktu menyadari kita harus menjadi tua, kita merasa susah sekali. Kita merasa tidak senang melihat segala perubahan itu, karena perubahan menggerogoti ketidakberubahan, kekekalan diancam oleh kesementaraan. Semua itu menimbulkan kerisauan yang tidak habis habisnya di dalam hati (hidup) kita.
[Sumber: buku "WAKTU DAN HIKMAT" oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, LRII, Jakarta, 1990.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar