Hukum
kelima hingga kesepuluh dari Sepuluh Hukum membahas tentang kewajiban,
etika, moral antarmanusia secara horizontal. Jangan mengucapkan saksi
dusta atas sesamamu. Terjemahan lain yang lebih tepat adalah jangan
berbohong, merugikan, melukai, dan mencelakakan orang lain. Terjemahan
yang berbeda ini memiliki pengertian yang sama, yaitu bahwa manusia
harus menghargai sesamanya yang juga dicipta menurut peta dan teladan
Allah. Kita tidak boleh memiliki niat jahat atasnya. Kalimat ini juga
muncul di dalam semua agama besar. Ini disebut golden rule
(hukum emas). Hillel, seorang rabi besar sebelum Kristus, mengajarkan,
“Hormatilah orang supaya engkau juga dihormati orang.” Konfusius
mengajarkan, “Apa yang engkau tidak inginkan, jangan lakukan itu kepada
orang lain.” Jika engkau tidak ingin diejek, jangan engkau mengejek
orang lain. Kalau engkau tidak ingin difitnah, jangan memfitnah orang
lain. Manusia harus menghargai sesamanya, selalu mengingat bahwa orang
lain juga memiliki perasaan seperti engkau. Memang banyak orang yang
tidak menyadari hal ini sampai mereka dilukai orang, baru mulai mengerti
perasaan orang lain. Jadi, hanya orang yang peka dan peduli akan
perasaan orang yang mampu menciptakan damai dan keharmonisan di dalam
masyarakat. Itu sebabnya, Allah memberikan hukum kesembilan. Hukum ini
secara khusus berbicara tentang etika berkata-kata. Yakobus mengatakan,
“Orang yang sempurna adalah orang yang sanggup mengekang lidahnya.”
Lidah bagaikan kemudi yang meskipun kecil namun sangat berpengaruh
karena menentukan arah kapal yang besar. Seperti setir mobil, selain
mengarahkan mobil juga menyangkut mati hidup penumpangnya. Begitu juga
orang yang sanggup mengontrol lidahnya akan aman seumur hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang sejak lahir
sudah bisa bersuara dan mendengar suara orang-orang di sekitarnya.
Mereka mulai menggabungkan suara dengan makna dan keluarlah kata-kata
dari mulutnya yang mencetuskan isi hatinya. Itulah yang dilukiskan dalam
peribahasa Tionghoa ‘Kata-kata adalah ekspresi jiwa’. Apa yang ada di
dalam hatinya akan terlontar dari mulutnya. Maka orang agung akan
mengucapkan kalimat yang agung dan orang yang pikirannya dalam akan
mengucapkan kalimat yang sangat bermakna. Orang egois akan mengungkapkan
egoismenya. Orang rendah akan mengucapkan kata-kata yang kasar. Jadi,
dari kata-kata kita dapat mengerti apa yang tersimpan di dalam hati
seseorang. Tepatlah perkataan Tuhan Yesus, “Apa yang memenuhi hatimu,
itulah yang keluar dari mulutmu.” Orang Perancis berkata, “Saat engkau
membuka mulut, engkau memperkenalkan dirimu sendiri.” Bagi orang
Tionghoa, “Saat bergaul, jangan banyak bicara. Semakin banyak bicara,
semakin banyak salah.” Tetapi bukan berarti orang yang tidak banyak
bicara hidupnya pasti beres, karena beres tidaknya seseorang ditentukan
oleh pikirannya. Jika pikirannya penuh dengan kejahatan, kenajisan,
egoisme, tidak mungkin tidak bocor dari mulutnya. Itulah sebabnya
Yakobus mengatakan, “Barangsiapa dapat menguasai lidahnya, dia adalah
orang yang sempurna.” Kita harus mampu mengontrol mulut, tahu rahasia
etika berbicara.
Hukum kesembilan: Jangan mengucapkan saksi dusta.
Saksi yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan fakta, akan merugikan,
melukai, dan mencelakai orang lain. Menurut peribahasa Tionghoa kuno
‘Satu kalimat mungkin membangunkan, tetapi juga menghancurkan seluruh
bangsa’. Semua kalimat ini adalah kebijaksanaan orang-orang kuno yang
sadar betapa bahayanya orang yang sembarangan berbicara karena dapat
merusak hari depan seorang pribadi maupun seluruh bangsa.
Manusia dicipta menurut peta dan teladan
Allah yang merupakan sumber dan diri kesempurnaan itu. Dialah yang
tertinggi, yang menciptakan manusia menurut peta dan teladan-Nya yang
sempurna, adil, suci, dan bajik. Itu sebabnya orang yang meneladani
Penciptanya, dia mencerminkan sifat moral-Nya yang tertinggi. Manusia
diberi hikmat untuk mengutarakan makna yang kekal lewat bahasa
sementara, karena di balik suara terdapat nafas, di balik nafas terdapat
makna, di balik makna terdapat Roh, di balik Roh terdapat Firman.
Rangkaian ini tidak bisa dipisahkan dari Allah dan Firman. Karena Firman
menciptakan manusia, bahkan Dia sendiri datang menjadi manusia, mengisi
manusia, memampukan manusia, dan mengutarakan makna yang sungguh
bernilai lewat bahasa. Bahasa bergabung dengan suara yang ditopang oleh
nafas. Itu sebabnya, tanpa menggunakan nafas, seseorang tidak dapat
mengeluarkan kata-kata. Nafas bagaikan air yang menopang kapal yang
membuatnya terapung. Begitu juga Allah Bapa ber-nafas. Nafas
Allah adalah Roh, dan firman Allah adalah manifestasi dari kehendak-Nya.
Berdasarkan kehendak-Nya, Allah berfirman, maka Firman beserta dengan
Allah, dan Firman adalah Allah. Firman keluar dari Allah lewat gerak Roh
Kudus. Roh Kudus memberikan inspirasi, menghembus kepada nabi-nabi
Perjanjian Lama dan kepada rasul-rasul Perjanjian Baru. Mereka pun dapat
berbicara tentang firman Tuhan yang kekal. Orang yang mengenal firman
akan menerima hidup kekal dan menggunakan kata-kata yang bermakna.
Itulah sebabnya, hamba-hamba Tuhan yang ingin dipakai Tuhan, harus
belajar dan minta Roh Kudus menghembuskan firman ke dalam hatinya
sehingga memampukan dia untuk sepanjang hidup tidak henti-hentinya
memberitakan firman. Jika tidak ada Roh Allah, tidak ada firman Allah
yang mengontrol dan mengisi pikiranmu, sehingga apa yang kau katakan
akan sia-sia.
Banyak orang dari pagi hingga malam,
dari awal tahun hingga akhir tahun, hanya mengeluarkan kata-kata sampah.
Hanya mencaci-maki orang, mengkritik orang, tidak puas ini dan itu.
Berbeda dengan orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus, kata-katanya selalu
menjadi pedoman, arahan yang mengandung benih hikmat, dan memberikan
inspirasi dan manfaat dari kebenaran. Suara mengandung bahasa, bahasa mengandung makna, makna mengandung firman, dan firman mengandung kehendak Allah.
Kita memang dilahirkan dan dibesarkan di
suatu lingkungan kebudayaan, agama, dan tradisi. Orang dilahirkan di
keluarga Budha, Islam, Hindu, Konfusianisme; hal itu akan memengaruhi
pola pikir, pemahaman, pemikiran umum, dan hukum umum sehingga cara
bicaranya tidak terlepas dari ikatan-ikatan itu. Lingkungan ikut
membentuk seluruh pola pikir dan karakter seseorang. Sampai suatu hari
terang Injil menembus limitasi itu, barulah seseorang bisa menerima yang
baru. Jadi memang sulit sekali, kata-kata yang sudah terbiasa kita
ucapkan dapat mengikat kita.
Mengapa seseorang suka berbicara kotor?
Itu terjadi karena mulutnya diikat oleh isi yang berbeda dengan firman.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terus mendengar firman? Apakah
orang yang terus-menerus mendengar firman akan membuat kita bosan dengan
firman? Tidak. Firman yang sejati tidak mungkin membuat orang bosan.
Banyak pendeta yang minder, takut khotbahnya tidak disukai orang, lalu
membubuhi khotbahnya dengan lelucon. Padahal kalau setiap hari kita
melucu, justru orang akan bosan karena lelucon bukan firman. Kita harus
membawa manusia yang rasionya tidak lagi setia kepada Tuhan untuk
kembali. Setelah kita diisi dengan firman kebenaran maka kita tidak lagi
mengenal ketakutan.
Saya bukan orang yang studi ekonomi,
hukum, politik, namun karena penuh dengan firman, dan mau
sungguh-sungguh mengamati dan mengerti, maka saya berani berbicara
tentang hukum kepada ahli hukum, berbicara tentang musik kepada ahli
musik, berbicara tentang ekonomi kepada ahli ekonomi, karena semua itu
ada di dalam firman Tuhan yang begitu limpah, begitu dalam, dan begitu
akurat. Itulah yang membuat saya berani berkata, “Ini adalah dunia
Bapa-Ku.” Apa pun yang harus saya sampaikan tersimpan di gudang
pengertian, kebijaksanaan, yang akan mengalir keluar tidak
habis-habisnya. Oleh karena itu, mulut kita harus dipersembahkan kepada
Tuhan. Jadi wadah yang menyampaikan kebenaran dan selalu menjadi berkat
bagi orang yang kita ajak bicara.
Setiap hukum dalam Sepuluh Hukum memang
tidak kita bahas secara harfiah. Maka ketika membicarakan hukum
kedelapan, kita tidak memulai dengan definisi mencuri sebagai mengambil
atau merampas milik orang lain. Kita melihat bahwa mencuri menyangkut
hak kepemilikian orang yang sah, yang Tuhan jamin. Tidak menggunakan
pemberian Tuhan dengan setia juga termasuk mencuri. Begitu juga ketika
kita membahas hukum kesembilan, kita tidak langsung berbicara mengenai
bohong, melainkan menelusuri akarnya terlebih dahulu. Bohong selalu
diawali dengan kesalahan menggunakan mulut. Kesalahan itu terjadi karena
kita tidak mempunyai kebenaran firman. Jadi, alangkah indahnya orang
yang tidak menempuh jalan yang salah, tidak mengambil keputusan yang
salah, karena pikirannya diurapi oleh kebenaran yang diwahyukan di Kitab
Suci. Jadi, jika kebenaran menguasai semua aspek hidupmu, engkau akan
melihat, mendengar, dan mengatakan hal yang benar. Bagaimana dengan
hal-hal yang tidak benar? Orang yang benar, hatinya akan mampu menyaring
kesalahan. Hidup yang mampu menyaring semua kesalahan – hanya
mengutarakan kebenaran – adalah hidup yang sangat bernilai. Firman Tuhan
akan meresap masuk ke dalam setiap aspek kehidupan orang percaya. Hal
itu memampukan kita untuk mengabdikan seluruh organ hidup kita menjadi
alat kebenaran Allah. Dengan demikian setiap kali engkau berkata-kata,
orang akan mendapat berkat, setiap kali engkau menganalisa, menyatakan,
orang akan segera mengerti apa itu kebenaran. Amsal berulang kali
berkata bahwa mulut orang bijak adalah pohon hidup. Apa maksudnya?
Firman dan perkataan yang keluar dari mulutnya adalah pohon hidup yang
memberikan buah yang hidup. Karena kalimat yang seorang dapatkan melalui
pergumulan yang sulit maka saat dia bagikan akan menerangi sejarah
selama ribuan tahun. Kiranya Tuhan memberkati kita menjadi orang Kristen
yang beriman, yang mau diisi dengan kebenaran, dan memakai mulut kita
untuk mengutarakan firman Kebenaran.
Tuhan mencipta manusia dengan begitu
luar biasa. Tuhan memberi kita dua mata, dua telinga, dua lubang hidung,
tetapi hanya satu mulut. Padahal tugas mulut begitu banyak. Seorang
filsuf Gerika kuno, Xenophanes, mengatakan, “Alam memberi kita dua
telinga dan dua mata, tetapi hanya satu mulut, agar kita lebih banyak
melihat dan mendengar ketimbang berkata-kata.” Sungguh kalimat yang
bijaksana. Orang yang bawel, banyak bicara akan dibenci orang. Orang
yang banyak mendengar, tidak banyak bicara, namun sekali berbicara –
apalagi jika kata-katanya begitu bermakna – orang akan memperhatikan.
Semakin sedikit engkau berbicara maka setiap kata-kata yang bermakna
akan berpengaruh besar. Guru dan ibu yang suka mengomel biasanya tidak
disukai oleh anak-anaknya. Setelah saya membaca tulisan Xenophanes, saya
menyadari bahwa banyak orang tidak disukai orang lain karena begitu
bawel sementara yang dikatakannya selalu sama, sampah. Sebaliknya, kita
melihat orang-orang yang jarang berbicara, tetapi ketika ia mengatakan
kalimat yang tepat, dia berhasil menangkap waktu, menangkap momen, tepat
mengisi kesempatan yang ada, dan menjadi berkat serta inspirasi bagi
orang lain. Amsal berkata, “Kata-kata yang tepat ketika dikatakan pada
waktu yang tepat, bagaikan apel emas yang diletakkan di sebuah pinggan
perak” (Ams. 25:11). Ketika saya membayangkan sebuah apel emas dalam
pinggan perak, betapa indahnya cahaya keemasan yang memancar lewat
pinggan perak. Tentu hal sedemikian memancarkan keindahan yang tidak
mungkin dibuang atau disia-siakan. Saya menggubah ulang kalimat
Xenophanes menjadi, “Allah menciptakan kita dengan dua mata dan dua
telinga, tetapi hanya dengan satu mulut, untuk melihat hal yang baik dan
jahat, mendengar apa yang benar dan salah, tetapi hanya mengatakan
kesaksian kebenaran.” Inilah kesimpulan: Hendaklah kita bersaksi bagi
kebenaran. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber :http://www.nusahati.com/2012/11/sepuluh-hukum-hukum-kesembilan-bagian-1/
Ringkasan Khotbah Terkait Sebelumnya :
Hukum pertama hingga keempat berbicara tentang hukum vertikal, menyatakan relasi antara Pencipta dan ciptaan.
Hukum 2 : Jangan Menyembah Berhala
Hukum 4 : Kuduskan Hari Sabat
Hukum kelima mulai membahas relasi antara manusia dengan manusia yang Ia cipta.
Hukum 5 : Hormati Orang Tuamu
Hukum 6 : Jangan Membunuh
Hukum 7 : Jangan Berzinah
Hukum 8 : Jangan Mencuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar