Dari
antara semua kenangan yang menyeramkan tentang Penjara Auschwitz, ada
satu kenangan yang indah, yaitu kenangan Gajowniczek mengenai
Maximillian Kolbe.
Pada bulan Februari 1941, Kolbe
dipenjarakan di Auschwitz. Kolbe adalah seorang pastor Fransiskan. Di
tengah kekejaman dalam kamp pembantaian itu ia tetap mempertahankan
kelemahlembutan Tuhan. Ia membagi-bagikan makanannya. Ia menyerahkan
tempat tidurnya bagi narapidana lain. Ia berdoa bagi orang-orang yang
menangkapnya. Kita bisa menyebutnya sebagai “Orang suci dari Auschwitz.”
Korban pengganti
Pada bulan Juli tahun yang sama seorang
narapidana lolos dari penjara. Di Auschwitz terdapat kebiasaan untuk
membunuh sepuluh narapidana apabila satu narapidana melarikan diri.
Semua narapidana dikumpulkan di halaman, dan komandan memilih secara
acak sepuluh narapidana dari barisan. Para korban dengan segera akan
dimasukkan ke dalam sebuah sel, tidak diberi makan dan minum sampai
mereka mati. Komandan mulai menyeleksi. Satu per satu narapidana
melangkah maju untuk memenuhi panggilan yang menyeramkan itu. Nama
kesepuluh yang dipanggilnya adalah Gajowniczek.
Ketika para perwira memeriksa
nomor-nomor orang terhukum tersebut, seorang dari mereka menangis. “Oh,
istri dan anak-anakku,” katanya di antara isak tangisnya. Para perwira
itu berpaling ketika mereka mendengar suara gerakan di antara
narapidana. Penjaga menyiapkan senapan mereka. Anjing pelacak tampak
tegang, menunggu komando untuk menyerang.
Seorang narapidana meninggalkan barisan dan melangkah maju…..
Narapidana itu adalah Kolbe. Tidak
tampak ketakutan di wajahnya. Tidak tampak keraguan dalam langkahnya.
Penjaga berteriak dan menyuruhnya berhenti atau ia akan ditembak.
“Saya ingin berbicara dengan komandan,” katanya dengan tenang.
Entah mengapa petugas tidak memukul atau
membunuhnya. Kolbe berhenti beberapa langkah dari komandan, melepas
topinya, dan memandang perwira Jerman itu tepat di matanya.
“Tuan komandan, saya ingin mengajukan sebuah permohonan.”
Sungguh mengherankan, tak seorang pun menembaknya.
“Saya ingin mati untuk menggantikan narapidana ini.”
Ia menunjuk pada Gajowniczek yang sedang
menangis terisak-isak. Permintaan yang berani itu diucapkannya tanpa
rasa gugup sedikitpun.
“Saya tidak mempunyai istri dan
anak-anak. Selain itu saya sudah tua dan tidak berguna. Keadaan orang
itu masih lebih baik dari keadaan saya.” Kolbe tahu benar mentalitas
Nazi.
Terima kasih
“Siapa kau?” Tanya perwira itu.
“Seorang pastor Katolik.”
Barisan narapidana itu tercengang. Sang
komandan diam seribu bahasa, tidak seperti biasanya. Tak lama kemudian,
ia berkata dengan suara nyaring,
“Permohonan dikabulkan.”
Para narapidana tidak pernah diberi kesempatan berbicara. Gajowniczek mengatakan,
“Saya hanya dapat berterima kasih
kepadanya lewat pandangan mata saya. Saya merasa sangat tercengang dan
hampir-hampir tidak dapat mempercayai apa yang sedang terjadi. Betapa
dalam makna peristiwa itu. Saya, orang yang terhukum, akan tetap hidup
sedangkan orang lain dengan sukarela menyerahkan nyawanya untuk saya –
orang yang tidak dikenalnya. Apakah ini mimpi?”
Orang suci dari Auschwitz itu hidup
lebih lama dari sembilan napi lainnya. Sesungguhnya ia tidak mati karena
kehausan atau kelaparan. Ia mati setelah racun disuntikkan ke dalam
pembuluh darahnya. Hari itu tanggal 14 Agustus 1941.
Gajowniczek lolos dari pembantaian. Ia
kembali ke kampung halamannya. Namun setiap tahun ia kembali ke
Auschwitz. Setiap tanggal 14 Agustus ia kembali kesana untuk mengucapkan
terima kasih kepada orang yang telah mati menggantikannya.
Di halaman belakang rumahnya terdapat
sebuah tanda peringatan yang diukir dengan tangannya sendiri, sebagai
penghargaan terhadap Maximillian Kolbe, orang yang mati baginya agar ia
tetap hidup.
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/11/orang-suci-dari-auschwitz/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar