Add caption |
Hukum kelima
adalah hukum pertama dari tanggung jawab manusia terhadap sesamanya.
Anak yang berusia baru dua tahun sudah bisa membuat ibunya pusing. Dia
ingin mengatur segala sesuatu, semua harus tunduk dan mengikuti
keinginannya. Demikian juga relasi manusia dengan Allah. Manusia sering
kali ingin melawan kedaulatan Allah dan memaksakan keinginannya. Ketika
Tuhan mengatakan bahwa manusia harus taat pada kehendak-Nya, manusia
menjadi kesal. Pada dasarnya manusia
memang sangat sulit untuk menaklukkan keinginan dirinya demi kepentingan
orang lain, apalagi kepentingan Tuhan. Hal ini hanya bisa
diselesaikan dengan suatu komitmen bahwa kuasa yang lebih tinggi
menaklukkan kuasa yang rendah. Lalu raja merasa mendapat mandat dari
sorga sehingga ia memiliki kuasa tertinggi, padahal mereka sendiri tidak
tahu Tuhan itu siapa dan bagaimana.
Teladan Relasi Kristus
Relasi kedua dalam ajaran Konfusius adalah relasi orang tua-anak. Konfusius melihat relasi keluarga adalah tertinggi setelah relasi kaisar-rakyat. Di dalam Sepuluh Hukum tidak ada relasi kaisar-rakyat, tetapi langsung hormati ayahmu dan ibumu. Di sini kita melihat ajaran Alkitab jauh lebih tinggi daripada ajaran Konfusius karena Alkitab hanya mengajarkan dua jenis relasi, yaitu: 1) orang tua dan anak; dan 2) manusia dan manusia. Relasi antara anak dengan orang tuanya lebih penting daripada relasi manusia dengan manusia. Jadi, salah jika dikatakan bahwa orang Kristen tidak diajar untuk menghormati orang tua. Perkataan sedemikian merupakan fitnah yang jahat karena motivasinya melawan dan menolak Allah, Pemberi Sepuluh Hukum. Sepuluh Hukum tidak membahas relasi-relasi lainnya seperti Konfusianisme karena Tuhan mengutamakan relasi keluarga. Baru setelah relasi keluarga, Sepuluh Hukum membahas relasi antar sesama. Kita akan melihat empat aspek relasi anak-orang tua di dalam kehidupan Kristus:
Relasi kedua dalam ajaran Konfusius adalah relasi orang tua-anak. Konfusius melihat relasi keluarga adalah tertinggi setelah relasi kaisar-rakyat. Di dalam Sepuluh Hukum tidak ada relasi kaisar-rakyat, tetapi langsung hormati ayahmu dan ibumu. Di sini kita melihat ajaran Alkitab jauh lebih tinggi daripada ajaran Konfusius karena Alkitab hanya mengajarkan dua jenis relasi, yaitu: 1) orang tua dan anak; dan 2) manusia dan manusia. Relasi antara anak dengan orang tuanya lebih penting daripada relasi manusia dengan manusia. Jadi, salah jika dikatakan bahwa orang Kristen tidak diajar untuk menghormati orang tua. Perkataan sedemikian merupakan fitnah yang jahat karena motivasinya melawan dan menolak Allah, Pemberi Sepuluh Hukum. Sepuluh Hukum tidak membahas relasi-relasi lainnya seperti Konfusianisme karena Tuhan mengutamakan relasi keluarga. Baru setelah relasi keluarga, Sepuluh Hukum membahas relasi antar sesama. Kita akan melihat empat aspek relasi anak-orang tua di dalam kehidupan Kristus:
Pertama, ketika Tuhan Yesus
berinkarnasi: sebagai Anak Allah Dia taat kepada Bapa-Nya; dan sebagai
anak manusia, sekalipun ayah-Nya hanya memelihara dan bukan sumber
hidup-Nya, Ia tetap taat kepada ayah dan ibu-Nya. Ketika ayah dan
ibu-Nya mencari Dia seharian dan menemukan-Nya di Bait Allah, Tuhan
Yesus mengatakan bahwa Ia harus berada di rumah Bapa-Nya, yang
menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa di sorga; tetapi kemudian Ia ikut
pulang bersama ayah dan ibu-Nya sebagai tanda bahwa Ia juga taat kepada
ayah dan ibu-Nya. Tuhan Yesus telah
menjadi teladan bagi kita untuk menghormati orang tua pada saat perintah
mereka tidak bertentangan dengan perintah Allah. Sekalipun Dia
memiliki sifat ilahi, namun saat Dia berinkarnasi, seperti pada orang
lain pada umumnya, Ia menghormati ayah dan ibu-Nya. Tuhan Yesus memang
dilahirkan oleh Maria, tetapi bukan melalui benih Yusuf. Namun bagaimana
pun juga, Tuhan Yesus harus hidup memenuhi seluruh tuntutan Hukum
Taurat. Oleh karena itu, Ia harus menghormati Maria dan Yusuf.
Kedua, relasi terlihat ketika
Tuhan Yesus melakukan mujizat pertama, yaitu mengubah air menjadi anggur
di Kana. Dia diminta untuk menolong pengantin yang sedang kehabisan
anggur. Tuhan Yesus menjawab, “Mau apakah engkau daripada-Ku, Ibu?”
Kalimat ini dapat diterjemahkan: “Apa urusan-Ku denganmu, Ibu?” Kalimat
ini terkesan kurang ajar sekali. Sebenarnya Tuhan Yesus bukan kurang
ajar kepada ibu-Nya, tetapi Ia ingin mengingatkan ibu-Nya bahwa
kekhususan dan keilahian-Nya bukan dijalankan berdasarkan keinginan
manusia. Manusia tidak berhak memerintah Allah atau membujuk Allah untuk
mengikuti keinginannya. Kalau Tuhan Yesus benar-benar adalah Allah yang
berkuasa, maka kedaulatan-Nya tidak bisa ditundukkan oleh manusia. Di
sini kita berbeda dengan pandangan Katholik yang melihat bahwa Tuhan
Yesus dan Maria sama-sama berkuasa menyelamatkan kita (co-redemptrix).
Maria memang adalah seorang wanita yang agung tetapi Maria tetap adalah
manusia berdosa sama seperti manusia lain pada umumnya. Ia bisa
melahirkan Tuhan Yesus yang tidak berdosa karena kelahiran Tuhan Yesus
tidak memakai benih laki-laki. Maria melahirkan Tuhan Yesus dalam
kondisi perawan, di mana tidak ada sperma laki-laki yang masuk ke dalam
tubuhnya. Seagung-agungnya Maria, ia tetap tidak bisa disejajarkan, apa
lagi dianggap sebagai co-redemptrix bersama dengan Tuhan Yesus.
Saat itu kita melihat bahwa relasi Tuhan Yesus dan Maria bukanlah
relasi ibu dan anak, melainkan Allah dan manusia.
Ketiga, relasi berikutnya
terlihat ketika Tuhan Yesus sedang berkhotbah. Maria datang mengunjungi
Dia, lalu salah seorang pendengar mengatakan, “Yesus, lihatlah ibu-Mu
datang.” Tuhan Yesus tidak marah, tetapi Ia segera meluruskan, “Siapakah
ibu-Ku? Siapakah saudara-Ku? Barangsiapa yang melakukan kehendak
Bapa-Ku, dialah ibu-Ku, dialah saudara-Ku.” Raffaello Sanzio adalah
salah seorang dari tiga pelukis terbesar di zaman Renaissance. Ia
melukis Tuhan Yesus sedang memahkotai Maria di sorga. Ini sama sekali
tidak alkitabiah. Maria tidak pernah menjadi ratu di sorga. Tubuh Maria
juga tidak dibangkitkan seperti Tuhan Yesus dan naik ke sorga. Melalui
perkataan di atas, Tuhan Yesus membedakan hal melakukan kehendak Allah
dan kewajiban sebagai manusia. Di sini kita melihat suatu pemikiran
paradoks. Tuhan Yesus mengatakan, “Dari semua yang dilahirkan wanita,
tidak ada yang lebih besar dari Yohanes Pembaptis.” Kemudian
ditambahkan, “Tetapi orang yang paling kecil di dalam Kerajaan Allah
lebih besar dari Yohanes Pembaptis.” Di sini kita melihat bahwa Yohanes
Pembaptis memang agung dan sangat besar, tetapi Yohanes Pembaptis hanya
melihat kelahiran Tuhan Yesus dan tidak melihat kematian serta
kebangkitan-Nya. Kita bisa menikmati keselamatan yang telah
digenapi-Nya, yang tidak dinikmati oleh Yohanes Pembaptis. Hal senada
juga terdapat dalam kasus Paulus yang mengatakan, “Aku tidak lebih kecil
dari rasul yang paling besar” tetapi kemudian ia juga berkata, “Di
antara para rasul, akulah yang paling kecil.” Ini semua adalah pemikiran
paradoks di dalam Alkitab. Tuhan Yesus mengatakan bahwa yang menjadi
ibu-Nya dan saudara-Nya adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa-Nya.
Di sini Tuhan Yesus ingin menekankan bahwa tidak ada nepotisme di dalam
Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus tidak memberikan hak istimewa kepada
keluarga-Nya yang di dunia. Inilah kesuksesan Allah di mana Dia tidak
memberikan hak istimewa kepada Anak Tunggal-Nya, ketika inkarnasi Dia
harus menderita dan taat bahkan taat sampai mati di kayu salib.
Keempat, ketika Tuhan Yesus
disalib, ia berkata kepada Maria, “Pandanglah anakmu (Yohanes).” Lalu Ia
berkata kepada Yohanes, “Lihatlah ibumu.” Di sini Tuhan Yesus
menyatukan orang-orang yang sama-sama melakukan kehendak Allah. Tuhan
Yesus meminta ibu-Nya untuk melihat anaknya yang telah taat menjalankan
kehendak Bapa-Nya dan meminta Yohanes untuk memelihara ibu-Nya. Inilah
kali terakhir Tuhan Yesus memberikan hormat kepada ibu-Nya. Sejak saat
itu, Yohanes menyambut Maria tinggal bersama dia dan memperlakukannya
seperti ibunya. Jadi, hormati ayahmu dan ibumu bukanlah ajaran teoritis,
melainkan ajaran yang Kristus wujudkan ketika Dia berinkarnasi. Dia
begitu menghormati orang yang lebih tua, memperlakukan mereka dengan
sopan, menjalankan perintah yang sudah Tuhan tetapkan. Namun, di dalam
semua itu, Ia tidak lupa untuk memperkenan Tuhan lebih daripada
memperkenan manusia. Seberapa jauh di dalam semua relasi kita lebih
mengutamakan perkenanan Tuhan ketimbang semua pertimbangan yang lain?
Sikap Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya menjadi teladan bagi kita. Inilah
sikap Gereja yang benar, yang tidak mengompromikan kebenaran dan
kehendak Allah.
Kendala Implikasi Hukum Kelima
Ketika kita sudah membahas dan mengerti hukum kelima, bagaimana mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kendala serius yang harus ditangani. Tidak setiap orang tua sadar bahwa mereka mewakili Allah. Ada orang yang karena ingin memuaskan kebutuhan birahinya akhirnya mengandung di luar rencana. Yang tidak berani menanggung aib akan membunuh bayi yang tidak berdosa itu. Yang berani bertanggung jawab akan melahirkan dan berusaha membesarkannya. Ketika orang tua kita bukan orang tua yang ideal, penuh dengan berbagai kelemahan, bolehkah kita melanggar hukum kelima? Tidak. Kita telah membicarakan bagaimana ajaran Konfusius membangun suatu relasi yang begitu agung dalam kebudayaan manusia: 1) ketika orang tua masih hidup, layani mereka dengan tata krama; 2) ketika mereka mati, kuburkan dengan tata krama; dan 3) sesudah mati, berbaktilah kepada mereka dengan tata krama. Hal ketiga ini yang menimbulkan penyembahan luluhur. Orang Tionghoa akan memasang meja abu, foto orang tua di dinding, dan seumur hidup tidak berani tidak menghormati orang tuanya. Belum tentu mereka sungguh-sungguh menghormati orang tua mereka dari lubuk hati mereka yang terdalam. Bisa jadi mereka hanya melakukan itu agar tidak dikritik atau dihina oleh orang lain karena dianggap tidak menghormati orang tua. Maka bagi saya tepatlah peribahasa Tionghoa yang mengatakan: Makin banyak tata krama, makin banyak kepalsuan. Hal ini kita temui di dalam dua budaya yang sangat penting di dunia, yaitu budaya Yahudi dan Tionghoa. Orang Yahudi semakin mempelajari Taurat semakin melawan Kristus. Anak yang paling kurang ajar menangis paling keras ketika orang tuanya mati agar disangka anak yang paling berbakti. Itu sebabnya Yang Zu melawan pikiran Konfusius ini, namun filsafat Konfusius telah menjadi ajaran umum dan diterima hampir di seluruh Tiongkok. Ajaran Konfusius menjadikan penyembahan leluhur menjadi arus utama di dalam sejarah dan tradisi Cina. Di Cina, orang tua setelah meninggal dianggap dewa dan sumber hidupnya. Jika demikian, bagaimana mungkin mereka bisa berbakti dan menyembah Allah yang sejati? Orang Cina menganggap leluhur sangat penting berperan dalam hidupnya, merupakan sumber dari mana dia berasal, dan harus senantiasa diingat sepanjang hidup. Padahal jika mereka mau terus menelusuri, pasti mereka akan sampai kepada Adam dan Hawa yang Allah cipta. Tetapi mereka tidak sanggup menelusuri sedemikian jauh.
Ketika kita sudah membahas dan mengerti hukum kelima, bagaimana mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kendala serius yang harus ditangani. Tidak setiap orang tua sadar bahwa mereka mewakili Allah. Ada orang yang karena ingin memuaskan kebutuhan birahinya akhirnya mengandung di luar rencana. Yang tidak berani menanggung aib akan membunuh bayi yang tidak berdosa itu. Yang berani bertanggung jawab akan melahirkan dan berusaha membesarkannya. Ketika orang tua kita bukan orang tua yang ideal, penuh dengan berbagai kelemahan, bolehkah kita melanggar hukum kelima? Tidak. Kita telah membicarakan bagaimana ajaran Konfusius membangun suatu relasi yang begitu agung dalam kebudayaan manusia: 1) ketika orang tua masih hidup, layani mereka dengan tata krama; 2) ketika mereka mati, kuburkan dengan tata krama; dan 3) sesudah mati, berbaktilah kepada mereka dengan tata krama. Hal ketiga ini yang menimbulkan penyembahan luluhur. Orang Tionghoa akan memasang meja abu, foto orang tua di dinding, dan seumur hidup tidak berani tidak menghormati orang tuanya. Belum tentu mereka sungguh-sungguh menghormati orang tua mereka dari lubuk hati mereka yang terdalam. Bisa jadi mereka hanya melakukan itu agar tidak dikritik atau dihina oleh orang lain karena dianggap tidak menghormati orang tua. Maka bagi saya tepatlah peribahasa Tionghoa yang mengatakan: Makin banyak tata krama, makin banyak kepalsuan. Hal ini kita temui di dalam dua budaya yang sangat penting di dunia, yaitu budaya Yahudi dan Tionghoa. Orang Yahudi semakin mempelajari Taurat semakin melawan Kristus. Anak yang paling kurang ajar menangis paling keras ketika orang tuanya mati agar disangka anak yang paling berbakti. Itu sebabnya Yang Zu melawan pikiran Konfusius ini, namun filsafat Konfusius telah menjadi ajaran umum dan diterima hampir di seluruh Tiongkok. Ajaran Konfusius menjadikan penyembahan leluhur menjadi arus utama di dalam sejarah dan tradisi Cina. Di Cina, orang tua setelah meninggal dianggap dewa dan sumber hidupnya. Jika demikian, bagaimana mungkin mereka bisa berbakti dan menyembah Allah yang sejati? Orang Cina menganggap leluhur sangat penting berperan dalam hidupnya, merupakan sumber dari mana dia berasal, dan harus senantiasa diingat sepanjang hidup. Padahal jika mereka mau terus menelusuri, pasti mereka akan sampai kepada Adam dan Hawa yang Allah cipta. Tetapi mereka tidak sanggup menelusuri sedemikian jauh.
Orang Cina menganggap orang Kristen
tidak menghormati orang tua. Hal ini diajarkan oleh sejarawan Tionghoa
yang benci terhadap Tuhan Yesus dan tidak ingin orang bersimpati
terhadap ajaran Kristen dan ajaran itu berhasil mengelabui seluruh orang
Tionghoa. Saya berharap sejarawan Indonesia adalah orang Kristen yang
betul-betul objektif, sungguh mengerti kebenaran, dan bermotivasi
menyatakan kebenaran. Dengan demikian, ia tidak menipu publik dengan
subjektivitas yang bias sehingga akhirnya salah mengerti kekristenan.
Kegagalan Konfusianisme
Kini kita akan meninjau dan memberikan ajaran Konfusianisme tentang berbakti kepada orang tua:
Kini kita akan meninjau dan memberikan ajaran Konfusianisme tentang berbakti kepada orang tua:
Pertama, ketika hidup kita
perlu menghormati mereka dengan hikmat dan bijaksana. Ini bukan berarti
menaati semua keinginan mereka, bahkan keinginan yang berlawanan dengan
kehendak Tuhan. Jadi, ketika orang tua masih hidup, tanggung jawab dan
cara anak menghormati orang tua adalah: a) mencukupi seluruh kebutuhan
dasar mereka; b) menaati ajaran dan perintah mereka yang tidak
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Di luar kedua prinsip ini, engkau
perlu meminta kekuatan Tuhan untuk tidak memenuhi tuntutan mereka yang
semena-mena, seperti meminta uang untuk berjudi, atau main perempuan,
atau melarang engkau menjadi orang Kristen.
Kedua, ketika mati, kuburkan
dengan sederhana dan khidmat. Jangan memanipulasi upacara perkabungan.
Bagi yang mampu silakan memberikan upacara yang lebih baik tetapi jangan
sampai menimbulkan efek samping yang buruk. Di Filipina ada kuburan
yang dibuat begitu besar dan mewah lalu dipasang AC, akhirnya dipakai
orang untuk berkumpul dan berjudi.
Ketiga, setelah orang tua mati,
kiranya: a) selalu mengingat budi mereka. Orang Kristen harus
senantiasa mengingat anugerah Tuhan dan juga mengingat budi orang. Kita
tidak boleh menginjak-injak budi orang yang telah turut menciptakan
sejarah. Jangan karena kita sudah sukses maka kita menghina ayah dan ibu
yang miskin. Kita tidak boleh melupakan jerih lelah orang lain, sebuah
ajaran Kitab Suci yang harus kita pegang dengan konsisten; b) selalu
meneladani kebaikan mereka. Meskipun orang tua kita memiliki kelemahan,
tetapi pasti ada prinsip-prinsip baik yang bisa kita teladani. Orang tua
kita memang tidak sempurna, tetapi kebaikan mereka harus kita contoh
dan keburukan mereka menjadi peringatan untuk tidak kita ulangi.
Perbaikan keturunan akan terjadi ketika kita mau belajar dan mengoreksi
diri dengan rendah hati; c) wujudkan keinginan mereka yang belum sempat
terwujud. Daud ingin membangun Bait Allah, tetapi Tuhan tidak
mengizinkan. Tetapi kemudian Tuhan memakai anaknya, Salomo, untuk
mewujudkan keinginan Daud. Inilah cara terbaik untuk menghormati orang
tua. Hidup manusia sangat singkat sehingga banyak orang menutup mata
dengan tidak rela karena banyak hal yang belum sempat ia tuntaskan. Saya
harap kita bisa berkata seperti Tuhan Yesus, “Bapa, Aku menggenapkan
pekerjaan-Mu.” Tuhan Yesus menggenapkan kehendak dan rencana Bapa-Nya di
seluruh hidup-Nya. Kita perlu berjuang mewujudkan cita-cita orang tua
kita, kecuali kalau angan-angan itu bertentangan dengan kehendak Allah.
Dahulu kakak sulung saya tidak mau
menjadi orang Kristen. Akhirnya dia mau dibaptis ketika pendeta
mengatakan bahwa itulah kerinduan ibu kami yaitu melihat semua anaknya
menjadi Kristen. Ia juga berkata bahwa setiap bulan ia mengirim uang ke
panti jompo karena itu adalah pesan ibu kami, karena kami dulu hidup
dengan ibu yang menjadi janda di usia 33 tahun, membesarkan delapan anak
dengan susah payah. Ketika tua, ibu bisa pergi ke luar negeri, ke
berbagai tempat mengunjungi anak-anaknya. Tuhan memberikannya sukacita
karena disayang oleh anak-anaknya. Ada banyak orang tua yang
ditelantarkan oleh anak-anaknya di panti jompo. Itu sebabnya, setelah
ibu meninggal, kakak menjalankan pesannya. Bersyukurlah kepada Tuhan
jika orang tuamu semakin tua semakin mirip Tuhan. Apa jadinya jika
semakin tua mereka semakin buruk tabiatnya dan semakin otoritatif? Dalam
hal ini, engkau harus bersiap hati karena orang tuamu bukan malaikat.
Oleh karena itu, kita tidak boleh berpura-pura taat sambil mendoakan
agar mereka cepat-cepat dipanggil Tuhan. Tuhan tidak berkenan akan
motivasi kita yang jahat.
Betapapun
sulitnya hidup bersama dengan orang tua, itu adalah hak istimewa yang
mendidik, meluruskan karakter kita agar menjadi semakin sempurna.
Kalau orang tuamu sangat menjengkelkan, belajarlah pada kalimat Philips
Brooks:“Beriku kekuatan menanggung hal yang tak sanggup kutanggung.”
Ketika orang tua sudah pikun dan selalu merepotkan, janganlah engkau
berpikir dia sengaja melakukannya untuk membuatmu jengkel. Dia bukan
sengaja melainkan karena dia sudah tua. Menjadi tua itu bukan karena
maunya, melainkan didesak oleh waktu. Kalau engkau bersikap kurang ajar
terhadapnya, anak-anakmu akan meniru dan kelak memperlakukanmu dengan
cara yang sama. Karena engkau menanam angin sepoi-sepoi, kelak engkau
akan menuai badai. Terkadang kita memang harus memikul salib yang berat
untuk memelihara orang tua yang sudah semakin pikun dan berbuat hal yang
menyulitkan. Berdoalah minta Tuhan memberikan kekuatan untuk bisa
melayani mereka. Sebaliknya, jangan hormat berlebihan sampai menyebabkan
orang tua yang sudah sakit itu mati tidak, hidup tidak. Dua orang yang
saya kenal dengan baik, beberapa bulan sebelum meninggal harus cuci
darah tiap dua hari sekali. Dua bulan saja sudah menghabiskan ratusan
juta, keluarganya ingin menjual rumah, tapi rumah sudah sejak lama
digadaikan, mereka sekeluarga pun hidup bagai di neraka. Peristiwa itu
mengingatkan saya akan wasiat terbuka dari seorang dokter di Sarawak
yang mengatakan, “Waktu aku sudah harus pergi, biarkan aku pergi dengan
tenang.”
Jadi, orang Kristen bukan berpura-pura
atau terpaksa menghormati orang tua, melainkan menaati perintah Tuhan
dengan sungguh hati. Satu hal yang tak kita bahas: diperpanjang umurmu
di atas bumi. Kiranya Tuhan memberkati kita menjadi anak yang tahu
menghormati orang tua kita. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/01/hukum-kelima-part-2/