Setelah menyelesaikan sekolah menengah
di Mendham, N.J., Maggie Doyne tidak yakin apa yang ingin dilakukannya.
Ia seorang pelajar yang berambisi dan bersemangat—editor dari buku
tahunan, atlet utusan sekolah, dan bendahara kelas—tetapi saat
menimbang-nimbang pilihan ke perguruan tinggi, ia merasa semakin jenuh,
dan memutuskan ia perlu cuti.
“Saya mengambil cuti setahun,” kata Maggie, kepada The Huffington Post,
dari rumah keluarganya di Mendham. “Saya mau melakukan investasi ini di
kehidupan saya, namun saya tidak punya tujuan yang jelas. Saya ingin
mendapat jawabannya.”
Di semester pertama cutinya, Maggie ikut program ekspedisi LeapNow, yang melakukan perjalanan dengan membawa backpack.
Program tersebut membawa para pelajar melakukan misi-misi layanan dan
proyek-proyek kebudayaan ke seluruh dunia untuk satu semester. Dan saat
tiba waktunya untuk memutuskan rencana musim seminya, Maggie bertanya
kepada seorang mentor bagaimana caranya agar dia dapat “memberi dampak”
terbaik. “Saya katakan, saya ingin berguna dan saya ingin bekerja untuk
anak-anak,” Maggie mengingat. “Jadi saya pergi ke India untuk bekerja
bagi suatu organisasi di sana.”
Di
India bagian Timur Laut, ia bertemu dengan para pengungsi muda Nepal
yang tak terhitung banyaknya, yang melarikan diri dari negerinya setelah
timbul pemberontakan pengikut Mao, dan perang saudara. Seorang remaja
putri yang ditemuinya, menyelamatkan diri dari Nepal enam atau tujuh
tahun sebelumnya, dan tidak pernah kembali lagi. Jadi dia dan Maggie
memutuskan melakukan perjalanan bersama—kembali ke Nepal, untuk mencari
keluarga anak perempuan itu.“Kami duduk di bus selama dua setengah
hari,” kata Maggie. “Di akhir perjalanan, kami diturunkan di sebuah
pemberhentian di jalan, dan supir bus seolah berkata, ‘Baiklah
nona-nona, kamu tak dapat pergi lebih jauh lagi.’”
Kedua remaja itu kemudian berjalan kaki
dua hari lagi melalui Himalaya, untuk menemukan desa asal gadis itu.
Mereka mendapat rincian mengenai keluarganya yang lenyap, dan di mana
banyak anggota keluarganya telah berakhir.“Dampak pada seluruh wilayah
itu benar-benar sangat menyakitkan,” kata Maggie mengingat pengalamannya
itu. “Tetapi saya langsung merasa lekat dengan wilayah itu, seolah saya
seharusnya berada di sana.”Maggie semakin terpikat oleh keindahan alam
Nepal, juga oleh rasa komunitas dan optimisme yang dimiliki penduduknya,
tetapi ia juga mendapat pengaruh yang mendalam dari anak yatim piatu
yang ditemuinya di desa-desa.
Ia sering melihat seorang anak perempuan
Nepal memecah batu-batu di pinggiran sungai yang kering. Anak perempuan
itu tak bersekolah, tak berkeluarga; ia tak punya apa-apa, namun ia
tetap tersenyum dan melambai setiap kali Maggie melintas. Nama anak
perempuan itu Hema.“Itu benar-benar penyadaran yang memalukan,” kata
Maggie. “Saya pikir, hanya diperlukan uang masuk sebesar 5 dolar, dan 5
dolar biaya seragam, untuk memasukkannya ke sekolah. Mengapa saya tak
dapat melakukannya?”Maka Maggie melakukannya. Dan ia memasukkan beberapa
anak-anak perempuan lain lagi untuk bersekolah juga.
Dan
ia menyadari bahwa ia bisa berbuat lebih banyak lagi dengan tinggal di
Nepal, dan bergelut dengan masalah pengungsi di hulunya; dari pada
menunggu anak-anak ini melarikan diri ke India, atau, lebih buruk lagi,
tertahan di perbatasan, dan menemukan diri mereka jadi korban
perdagangan manusia dan perbudakan domestik. Ia menyadari, ia ingin
memberi anak-anak ini rumah yang betul-betul permanen.
Itulah yang terjadi ketika Maggie
menelefon orangtuanya dari “kotak telepon yang reyot di tengah-tengah
antah berantah” dan meminta mereka mengirimkan tabungan masa
depannya—5.000 dolar yang dikumpulkannya dari bekerja sebagai pengasuh
anak saat sekolah menengah—ke Nepal. Setelah pembicaraan yang panjang
(“Saya tidak benar-benar ingat apa yang saya katakan, tepatnya,” Maggie
tertawa) orangtuanya setuju mengirim uang tersebut. Maggie membeli
sepotong lahan di Surkhet, Nepal dan membentuk tim dari komunitas lokal,
untuk membantunya menggali fondasi awal untuk rumah yatim piatu, yang
sekaligus menjadi rumah kediamannya juga.
Namun segera, Maggie sadar bahwa ia
perlu lebih banyak sumber jika ia benar-benar mau membangunnya. Jadi ia
terbang kembali ke New Jersey dan bekerja. Ia menjadi pengasuh anak,
pengasuh anjing, penunggu rumah, mengadakan penjualan barang bekas,
menjual kue, dan apa saja yang bisa dilakukannya untuk menggalang dana.
Koran
lokal akhirnya memuat kisah Maggie, dan segera cek-cek dari para
simpatisan mulai mengalir. Dalam waktu 5 bulan, Maggie berhasil
mengumpulkan US$60.000. Dengan dukungan tambahan dana ini, Maggie dan
timnya di Surkhet dimampukan untuk melanjutkan pembangunan dan
menyelesaikan rumah Maggie. Ia membentuk pengurus tim orang Nepal dan
mendirikan rumah yatim-piatunya, yang dinamakannya Kopila Valley Children’s Project—Proyek Kanak-kanak Lembah Kopila. Ia mendaftarkannya sebagai NGO (LSM). Ia baru berusia 22 tahun.
Anak-anak segera mulai masuk ke rumah
yatim-piatu itu dan visi Maggie pun terlaksana. “Saya dapat melihat
dengan jelas apa yang saya inginkan,” katanya. “Hingga kini saya telah
mengunjungi rumah-rumah yatim-piatu, saya dapat menciptakan sebuah model
yang bisa berjalan berdasarkan bagaimana saya dibesarkan. Saya ingin
anak-anak ini memelihara binatang, saling peduli.” Tetapi Maggie tak
berhenti dengan rumah yatim-piatu.
Tahun lalu ia juga mendirikan sebuah sekolah di Surkhet—The Kopila Valley Primary School/Sekolah
Dasar Lembah Kopila—yang kini memiliki 230 pelajar dan 14 guru penuh
waktu. Anak-anak makan siang penuh gizi setiap hari, kadang-kadang
itulah satu-satunya makan sehari-seharinya, mengingat bahwa mereka hidup
di daerah di mana 50% anak-anak usia 5 tahun kekurangan gizi, dan
kurang gizi menyebabkan 70% kematian di bawah usia lima tahun.
Karya Maggie semua dilakukan dibawah bendera nirlabanya, BlinkNow.
Misinya adalah “melengkapi anak muda menjadi pionir-pionir dalam
mengembangkan solusi mereka sendiri terhadap kemiskinan global.”“Saya
rasa ada suatu perubahan besar yang sedang terjadi di dunia, dan orang
tidak setuju dengan cara anak-anak hidup,” kata Maggie. “Saya pikir
orang benar-benar lapar akan pengharapan.”Kini, Maggie berusia 24 tahun
dan bertanggung jawab secara resmi atas 40 anak Nepal, semuanya datang
kepadanya tanpa keluarga, tanpa uang, dan tanpa pendidikan. Banyak yang
tadinya korban aniaya (abuse).
Ia menyediakan bagi mereka semua,
pemeliharaan kesehatan yang pokok dan pangan, dan ia hingga kini
mengajar mereka baca-tulis. “Gadis kecil pertama yang saya ambil itu
jenius,” kata Maggie. “Ia belajar bahasa Inggris hanya dalam beberapa
bulan dan ia membaca setiap buku yang saya berikan. Saya dapat melihat
dia akan masuk ke Harvard atau yang lain. ”Ketika orangtua Maggie
mengunjunginya di Nepal, anak-anak memanggil mereka “nenek dan kakek”.
Mereka terus membantunya sejauh mereka bisa, khususnya mengorganisir
rapat pengurus tim dan mengurusi laporan pajak.
Sementara Maggie di rumahnya di Amerika Serikat, adik perempuannya ke
Nepal, bekerja di rumah yatim-piatu itu.“Banyak orang berpikir saya
besar di tenda atau berasal dari keluarga gila di luar sana, atau saya
dibesarkan di pondok di Afrika,” katanya, “Namun saya hanya katakan
kepada mereka saya ini gadis biasa saja asal Jersey.”
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/01/maggie-sang-backpacker-sejati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar