Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke
kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka
jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan
Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam
perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria. Namun mereka pantang
menyerah dan rela mati untuk Pekerjaan Injil. Tiba di tengah hutan,
mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak
mengijinkan mereka memasuki desanya. “Tak boleh ada orang kulit putih
yang boleh masuk ke desa. Dewa-dewa kami akan marah,” demikian kata
penduduk desa itu.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka
akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah
beberapa bulan tinggal di tempat itu, mereka menderita kesepian dan
kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan
untuk berhubungan dengan penduduk desa. Setelah enam bulan berlalu,
keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi. Namun
keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat itu Svea
baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk. Di samping
itu David juga menginginkan agar anaknya lahir di Afrika dan ia sudah
bertekad untuk memberikan hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.
Selama
beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang semakin
memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan
waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil
penduduk asli dari desa tersebut. Dapat dikatakan anak kecil itu adalah
satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea
melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria
yang diderita Svea semakin memburuk sampai ia hanya bisa berbaring
saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat
tidak kurang suatu apa. Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu
kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik
kepada David, “Berikan nama Aina pada anak kita,” lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan
kematian istrinya. Ia membuat peti mati buat Svea, lalu menguburkannya.
Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya
sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat
dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan
emosi yang tidak terkontrol David berseru, “Tuhan, mengapa Kau ijinkan
hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami
dan melayani Engkau?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah
tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus,
apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini
dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum
cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan
aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!”
Kemudian David kembali ke kantor misi
Afrika. Saat itu David bertemu lagi dengan keluarga Erickson. David
berteriak dengan penuh kejengkelan: “Saya akan kembali ke Swedia! Saya
tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku
kepadamu.” Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson
untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri
di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan
kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah
mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa
ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak
mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood
memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua
orang untuk tidak menyebut nama Tuhan didepannya. Jika mereka melakukan
itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada
kebiasaan minum-minuman keras.
Tidak lama setelah David Flood
meninggalkan Afrika, pasangan suami- istri Erikson yang merawat Aina
meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka
layani. Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur & Anna Berg.
Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa yang bernama Masisi, Utara
Konggo. Di sana Aina dipanggil “Aggie”. Si kecil Aggie segera belajar
bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo. Pada saat-saat
sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia sering
membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara
perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya.
Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara
khayalannya. Dalam khayalannya ia melihat bahwa saudara perempuannya
selalu memandang dirinya.
Keluarga Berg akhirnya kembali ke
Amerika dan menetap di Minneapolis. Setelah dewasa, Aggie berusaha
mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang
kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College.
Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi
dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak
lima, empat putra dan satu putri (tepat seperti khayalan Aggie).
Suatu
ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket pada Aggie dan suaminya untuk
pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari
ayahnya. Saat tiba di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat
Royal Albert Hall. Ditengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan
penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit
hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar
di Zaire. Hati Aggie terperanjat. Setelah selesai acara ia mendekati
pengkotbah itu dan bertanya, “Pernahkah anda mengetahui pasangan
penginjil yang bernama David dan Svea Flood?” Pengkotbah kulit hitam ini
menjawab, “Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan
waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya
tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.” Aggie segera berseru:
“Sayalah bayi perempuan itu! Saya adalah Aggie – Aina!”
Mendengar seruan itu si Pengkotbah
segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan
sukacita. Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani
ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya
dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32
Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan
120 tempat tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan
ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang.
Setibanya di hotel ketiga saudaranya telah menunggu mereka di sana dan
akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima
orang. Ia bertanya kepada mereka: “Dimana David kakakku ?” Mereka
menunjuk seorang laki-laki yang duduk sendirian di lobi. David Jr.
adalah pria yang nampak kering lesu dan berambut putih. Seperti ayahnya,
iapun dipenuhi oleh kekecewaan, kepahitan dan hidup yang berantakan
karena alkohol. Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr.
menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah
bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya:
“Bagaimana dengan saudaraku perempuan?” Tak lama kemudian saudara
perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata:
“Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta
dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya,
seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-
mana.” Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia
berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya.
Lalu mereka memasuki sebuah bangunan
tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita dan
mempersilahkan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol
minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang
kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil. Ia berumur 73 tahun
dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya.
Aggie jatuh di sisinya dan menangis, “Ayah, aku adalah si kecil yang
kau tinggalkan di Afrika.” Sesaat orang tua itu menoleh dan
memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, “Aku tak
pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya
lagi.” Aggie menjawab, “Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara
aku”.
Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap,
“Tuhan tidak memeliharamu!” Ia mengamuk. “Ia telah menghancurkan seluruh
keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak
ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka!” Aggie kemudian
menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan
bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak
kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. “Sekarang semua
orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat
di semua surat kabar.” Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia
sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat. Tak lama setelah
pertemuan itu David Flood meninggal, tetapi Allah telah memulihkan
semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.
Pesan ini ditujukan kepada semua orang yang merasa bahwa ia berhak untuk marah kepada Tuhan!
Sumber :http://www.nusahati.com/2011/12/kisah-david-dan-svea-flood/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar