Dosa, Iman, dan Diperkenan Tuhan
Tanpa iman tidak ada orang yang diperkenan oleh Tuhan Allah. Manusia yang minta diberkati oleh Tuhan karena dia merasa cukup baik, hanyalah menyatakan kerusakan, ketidakmengertian, dan kebodohan manusia saja. Nabi Yesaya mengatakan, “Segala kebenaran yang ada pada kami hanya bagaikan pakaian yang compang-camping saja.” Tidak ada seorangpun yang dapat memperkenan Tuhan Allah di dalam sorga. Allah tidak terharu karena engkau berbuat baik. Jikalau engkau betul-betul berbuat baik dengan motivasi seratus persen murni, itu pun hanya merupakan refleksi dari sifat yang disebut sebagai peta dan teladan Allah, bukan kapasitas murni dari diri kita sendiri. Terlebih ketika kita sudah tercemar dosa, yang kita perlukan hanyalah pengampunan dan belas kasihan Tuhan. Kita butuh penghapusan dosa yang memerlukan pengorbanan Yesus Kristus. Oleh karena itu, barangsiapa yang masih merasa dirinya benar dan cukup syarat untuk diterima oleh Tuhan, ia sedang menyatakan semacam sifat arogansi yang sulit diampuni. Dosa terbesar bukan dosa yang besar; dosa terbesar adalah dosa tidak mengaku diri berdosa. Dosa terbesar bukan dosa itu sendiri; dosa terbesar adalah sikap yang menganggap diri tidak perlu pengampunan.
Mengapa “anak yang terhilang” itu diterima kembali? Kenapa “anak yang tidak terhilang” ditegur oleh ayahnya? Karena dia merasa dirinya lebih baik. Orang Reformed yang sudah mendapatkan kebenaran lebih ketat daripada orang lain, lalu merasa diri jauh lebih baik daripada orang lain, mungkin sulit diampuni oleh Tuhan. Jika kita dapat menjadi lebih baik daripada orang lain, itu semata-mata adalah anugerah Tuhan; dan anugerah Tuhan diberikan bukan untuk membuat seseorang menjadi sombong, melainkan untuk membuat orang tersebut menjadi lebih rendah hati, lebih berserah kepada Tuhan, dan lebih rela dipakai oleh Tuhan. Segala kegiatan kita, pengorbanan kita, dan penyangkalan diri kita, bukanlah untuk mendirikan jasa atau untuk menegakkan suatu kontribusi yang mengakibatkan arogansi kita, tetapi untuk menyatakan Tuhan sedang bekerja memakai kita, sebagaimana Kristus telah menjadi teladan dalam melayani.
Kristus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia. Dia menjadi manusia, merendahkan diri, dan bersifat seperti budak, melayani dengan giat tanpa menghiraukan nyawa-Nya sendiri, tanpa menghitung untung rugi diri sendiri, tidak menghiraukan kesehatan atau kelelahan-Nya sendiri. Dia bahkan rela melayani sampai mencuci kaki Yudas. Apakah ini belum cukup menjadi teladan pelayanan kita? Sekarang banyak gereja tidak bisa maju karena pendeta-pendetanya menganggap diri lebih tinggi dari orang lain. Hari Senin tidak mau menelepon dan tidak mau terima telepon, karena merasa hari Senin adalah hari sabat bagi dirinya yang sudah melayani dari Selasa hingga Minggu. Mereka mengambil konsep yang disebut “Sabbatical Leave” (cuti sabat), yaitu setelah enam tahun bekerja, maka pada tahun ketujuh boleh cuti selama satu tahun. Alkitab tidak pernah menulis bahwa orang Lewi boleh cuti satu tahun setelah bekerja enam tahun sambil terus menerima gaji. Andai cuti sabat itu ada, mengapa itu hanya untuk pendeta? Mengapa orang Kristen pada umumnya tidak berhak juga mendapat cuti satu tahun setelah bekerja enam tahun sambil terus menerima gaji? Banyak pendeta tidak mengerti hal ini dan menyangka dirinya mempunyai hak yang lebih tinggi daripada orang lain sehingga melumpuhkan gereja. Selain dari apa yang harus dan sudah kita kerjakan, jangan kita menganggap diri kita berjasa; selain mengikuti Tuhan, jangan kita menganggap diri kita lebih dari orang lain; selain doktrin kita sudah menjadi Reformed, jangan kita menganggap diri kita lebih benar dari orang lain.
Iman adalah Respons Anugerah
Saya rindu membawa seluruh gereja Reformed ke dalam berbagai prinsip lain yang kembali sesuai dengan semangat Alkitab. Saya bukan hanya sedang melatih orang yang berada di dalam sekolah theologi, melainkan juga melatih seluruh orang yang mengikuti kebaktian dan mendengar firman Tuhan di gereja untuk menjadi laskar Kristus yang sungguh-sungguh berbobot, yang sungguh-sungguh bersemangat sesuai dengan Alkitab. Iman yang kita nyatakan di hadapan Tuhan adalah respons setelah anugerah Tuhan terlaksana di dalam hidup kita masing-masing. Anugerah Tuhan Allah selalu mendahului respons manusia (the grace of God is always prior to human response). Anugerah Tuhan selalu menjadi fondasi kita bereaksi kepada Tuhan.
Iman dan Sains
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu bereaksi kepada Tuhan. Semua binatang hanya bereaksi kepada alam; hanya manusia yang dapat bereaksi kepada Allah. Manusia dicipta berada di bawah Allah, namun di atas alam. Itulah sebabnya manusia menyelidiki alam berdasarkan rasio yang diberikan Allah, berdasarkan kuriositas (rasa ingin tahu) yang ditanam di dalam hatinya oleh Tuhan Allah, sehingga ilmu pengetahuan menjadi mungkin. Namun, kita harus selalu sadar bahwa sains (ilmu pengetahuan) adalah lapisan yang paling bawah, karena manusia – yang lebih tinggi dari alam – menyelidiki alam yang dicipta lebih rendah dari manusia. Oleh karena itu, tidak ada alasan bahwa menyelidiki sains boleh mengakibatkan kesombongan lalu menjadikan kita berperan seperti Allah. Itu dosa besar.
Apa bedanya ilmuwan Kristen dan non-Kristen? Ilmuwan non-Kristen menyelidiki alam yang dicipta oleh Allah dengan menggunakan rasio yang diberikan Allah sebagai anugerah dasar, dan setelah dia menemukan suatu penemuan kebenaran Allah di dalam alam, ia menganggap itu sebagai jasanya. Ia meloncatkan posisinya dari posisi manusia ke posisi Allah lalu mencuri kemuliaan Allah. Ia mempergunakan penemuannya itu untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, lalu memanipulasi semua pengetahuan itu sehingga manusia tidak lagi memuliakan Tuhan, tetapi memuliakan dirinya. Sedangkan ilmuwan Kristen adalah orang yang menggunakan rasio yang diciptakan Tuhan sebagai alat untuk menemukan kebenaran yang disimpan oleh Tuhan di dalam alam, lalu dia sadar bahwa dunia ini telah dicipta dengan begitu ajaib, dan dia mulai memuliakan Allah, Penciptanya. Ia sadar dan tahu bahwa ia begitu kecil dan Allah begitu besar. Ia hanyalah alat di tangan Allah untuk menemukan kebenaran yang telah Tuhan tanamkan di dalam alam, dengan sarana rasio yang telah Tuhan tanamkan di dalam diri untuk memuliakan Tuhan. Inilah bedanya reaksi ilmuwan non-Kristen dengan ilmuwan Reformed kepada Tuhan.
Kita boleh bersyukur bahwa kita dilahirkan sebagai manusia sehingga kita bisa bereaksi kepada Allah. Pernahkah engkau berpikir: “Puji Tuhan, saya bukan anjing, bukan kucing, bukan kerbau, saya bukan kuda, dan seterusnya.” Bukankah engkau dicipta sebagai manusia bukan atas pilihanmu? Itu adalah anugerah. Mengapa kita diberi rasio untuk sekolah? Mengapa kita dapat mengerti alam? Sola Gratia. Setelah itu, saya harus mengerti bahwa saya diberi status sebagai wakil Tuhan yang diberi peta dan teladan Allah di dalam diri saya. Sebagai manusia yang demikian, saya diberi rasio sebagai alat untuk mampu melakukan penyelidikan, menemukan, dan mengetahui segala rahasia Allah yang dicipta dan ditanam di dalam alam. Sehingga akhirnya manusia itu boleh tercengang dan bersyukur menemukan keindahan dunia yang begitu menakjubkan.
Dengan iman kita melihat dunia ciptaan ini begitu ajaib. Dengan iman kita mengerti bahwa seluruh kemampuan rasio yang Tuhan berikan boleh menjadikan kita seorang ilmuwan yang melihat semua itu dan memuliakan Allah. Kita memang tidak perlu membuktikan Allah ada, tetapi melalui mengerti rahasia alam dengan rasio yang Tuhan tanam dan iman yang Tuhan anugerahkan, kita bisa melihat keajaiban dan menemukan kemuliaan Allah di dalam ciptaan. Puji Tuhan!
Kita tidak perlu membuktikan Allah ada. Allah terlalu besar dibandingkan dengan semua bukti yang mungkin dipakai oleh manusia. Oleh karena itu, wahyu Tuhan Allah adalah satu-satunya sarana yang memungkinkan kita mengakui bahwa Allah ada. Melalui alam semesta yang dicipta, kita mengetahui kodrat Allah, kita mengetahui sifat kebesaran Allah, kita mengetahui kebijaksanaan Allah, kita menemukan kemuliaan Allah yang tersimpan di dalam alam semesta yang begitu indah, begitu mulia, dan begitu ajaib. Allah yang memberikan pengetahuan itu kepada manusia. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengerti. Allah memberikan segala pengetahuan kebenaran di luar diri manusia agar manusia sebagai subjek boleh mengenal alam sebagai objek. Baik subjek maupun objek sama-sama adalah anugerah Allah, karena bukan berasal dari manusia.
Suatu kali di tahun 1973, saya mengunjungi Historical and Natural Museum di Washington, DC. Di satu sudut saya melihat ada satu gambar yang begitu indah dan rumit. Ternyata itu adalah foto elektronik yang membesarkan kaki lalat lima ratus ribu kali. Ternyata, struktur pembentuk sel-sel kaki lalat sedemikian halus, seperti orang membordir. Lukisan manusia yang bernilai ratusan juta ketika difoto dengan mikroskop elektronik hasilnya adalah gambar yang rusak. Tetapi kaki lalat yang diciptakan oleh Tuhan, terikat menjadi satu kesatuan yang begitu rumit dan indah. Seketika itu juga saya mengatakan, “Betapa dahsyatnya Engkau, Tuhan.” Iman adalah reaksi terhadap Tuhan. Iman itu menjadi suatu reaksi; reaksi setelah menemukan segala keajaiban Tuhan di dalam ciptaan, reaksi setelah mengetahui betapa besarnya anugerah yang memberi saya hak untuk mengerti sifat ilahi melalui wahyu khusus, reaksi karena saya mengalami keselamatan dari Tuhan.
Kiranya kita bisa semakin memuliakan Allah dengan iman yang Tuhan berikan, menggunakan rasio kita dengan benar, melihat alam ciptaan dengan benar, dan menemukan berbagai rahasia keajaiban dan keagungan Tuhan di dalam ciptaan, kemudian menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pada akhirnya kembali dipakai untuk kemuliaan-Nya. Sungguh betapa indahnya iman yang Tuhan anugerahkan kepada umat pilihan-Nya. Sola Gratia, Soli Deo Gloria. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong (Januari 2009)
Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/sifat-iman-bagian-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar