Ancol, Sunter Podomoro, Priok….
Tunggu….!!! Tunggu….!!!
Ada sewa! Ayo…ayo naik…. Tarik!
Begitulah, kondektur wanita itu berteriak lantang menawarkan busnya. Tak kenal lelah, panas, hujan, terik, semuanya dilaluinya tanpa merasa terbebani.
Profesi wanita itu hanya sebagai
kondektur. Tidak ada yang istimewa dengan dirinya, pakaiannya, gayanya
ataupun suaranya yang melengking di tengah deru kendaraan. Yang membuat
Anna tertarik untuk memperhatikannya adalah semata-mata karena ia
seorang wanita yang bekerja sebagai kondektur. Sebuah profesi yang masih
sedikit langka dan sulit dilakukan oleh kaum hawa.
Entah mengapa Anna begitu tertarik memperhatikan gerak-geriknya. Lincah, gesit, spontan dan sangat percaya diri
Bus berjalan perlahan meninggalkan
terminal. Di tengah jalan, tidak seberapa jauh dari pusat perbelanjaan
besar, bus berhenti. Kami para penumpang biasa menyebutnya dengan
istilah “ngetem” yakni berhenti cukup lama untuk mencari penumpang.
Tidak beberapa lama setelah penumpang memenuhi bangku-bangku kosong, bus
mulai berjalan perlahan, perlahan, perlahan hingga akhirnya bergerak
menjauh. Dengan mantap, sang supir pun menginjak pedal gas dalam-dalam.
Tak terasa bus sudah berjalan jauh, tanpa komando dari kondektur.
Hingga suatu ketika penumpang yang duduk
di kursi belakang berteriak “Pir, kondekturnya ketinggalan, tuh!
Kasihan!! Lumayan jauh. ”
Kami, penumpang yang ada di dalam bus,
semua tertawa geli mendengar ucapan itu. Supir buru-buru menghentikan
bus, menepi dan menunggu kondektur wanita yang ketinggalan. Cukup lama
bus menunggu, kira-kira hampir sepuluh menit-an.
Tiba-tiba dari arah belakang bus, sebuah
bajaj meluncur kencang dan berhenti persis di depan bus. Dari dalam
Bajaj keluarlah sang wanita yang menjadi kondektur tadi, dengan wajah
panik dan ketakutan. Ia segera menghampiri supir bus dan menangis
sejadi-jadinya. Sambil mennguncang-guncangkan tubuh sang supir.
“Kamu jahat, jahat sekali! Tinggalin begitu aja!
Tau nggak, saya takut, saya panik waktu tahu bus sudah nggak ada. Padahal saya kan lagi bantu nyeberangin penumpang. Apa kamu nggak lihat, gimana sih kamu jadi supir nggak peduli amat?” Kalimat-kalimat itu terus meluncur dari bibir tipis si wanita.
Tau nggak, saya takut, saya panik waktu tahu bus sudah nggak ada. Padahal saya kan lagi bantu nyeberangin penumpang. Apa kamu nggak lihat, gimana sih kamu jadi supir nggak peduli amat?” Kalimat-kalimat itu terus meluncur dari bibir tipis si wanita.
Sudahlah, ma….! Maafkan saya, saya nggak
lihat kalau kamu ada di seberang. Ya udah nggak usah nangis, malu
dilihat orang. ” ujar sang supir.
Dari dialog mereka, Anna dan penumpang
lain baru mengetahui bahwa ternyata supir dan kondektur itu adalah
pasangan suami isteri. Seorang penumpang yang duduk paling depan dekat
supir segera menjadi penengah pertengkaran tersebut.
“Sudah-sudah tidak usah diperpanjang,
maafkan saja Bapak, dia mungkin khilaf tidak melihat. ” lerai bapak itu
pada si kondektur wanita. “Ibu juga nggak usah dendam, sama-sama cari
uang sama-sama kerja untuk anak, pasti ada susah senangnya. ”
“Pak supir juga harus peduli sama isteri
jangan cuek, harus lihat keadaan sekitar, jangan main tancap gas aja!”
ujar si bapak tadi menasehati supir.
Akhirnya pertengkaran pun berakhir, mereka saling bersalaman dan berpelukan.
Kami semua para penumpang segera bertepuk tangan dan terharu melihat sikap mereka.
Dalam hati Anna merasa bahwa mereka
benar-benar pasangan yang cukup kompak, bahu membahu dalam mencari
nafkah untuk keluarga dan mudah memaafkan satu sama lain, mau mengerti
keadaan masing-masing dan tidak pantang menyerah.
Satu lagi pelajaran hidup yang bisa
dipetik oleh Anna sebagai calon ibu muda adalah bahwa siapa pun dirinya,
kelak jika ia telah menikah nanti ia harus bisa bersikap tenggang rasa,
tolong menolong dan saling memahami dalam setiap situasi apa pun.
Jangan pernah sombong, egois dan merasa lebih tinggi dari pasangannya.
Segala upaya untuk menafkahi keluarga harus dilakukan dengan kerja
keras, pantang menyerah, disiplin dan ikhlas. Itu kunci utamanya., bisik
Anna dalam hati.
Ia sangat salut kepada pasangan supir
dan kondektur tadi, karena meskipun kehidupan mereka, kemungkinan sering
diwarnai dengan pertengkaran-pertengakaran kecil, namun hal itu tidak
mengurangi rasa kompak mereka sebagai pasangan suami isteri. Justru
pertengkaran kecil itulah yang menjadi bumbu-bumbu manis dalam
menciptakan bangunan rumah tangga.
Dengan itu, masing-masing pasangan akan
lebih memahami karakter, kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga di masa mendatang mereka bisa lebih memperbaiki diri. Membuat
diri lebih siap menghadapi masalah-masalah kehidupan yang serius,
mendidik anak-anak yang berbakti pada orang tua dan menciptakan
masyarakat yang sejahtera.
Ibarat pepatah, rumah tangga yang datar-datar saja dan tidak diwarnai
dengan sedikit pertengkaran-pertengkaran kecil layaknya sayur tanpa
garam.
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/05/seorang-kondektur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar