Kasih |
Saya membagi kasih ke dalam 3 tahap atau tingkatan :
- Kasih kepada Allah
- Kasih Kepada Manusia
- Kasih kepada Benda
Kasih kepada benda adalah kasih yang
paling rendah. Kasih kepada manusia jauh lebih tinggi. Kasih kepada
Tuhan Allah adalah kasih yang paling tinggi. Di dalam pengajarannya,
Jonathan Edwards mengatakan, kasih harus menjadi lebih besar kepada
objek yang lebih besar, menjadi lebih kecil kepada objek yang lebih
kecil. Pemikiran ini pernah dikritik oleh seorang theolog di Tiongkok,
tetapi saya kira pemikiran asli Jonathan Edewards adalah pemikiran yang
anggun yang tidak perlu dikritik. Karena Allah adalah yang terbesar dan
tertinggi, maka kita seharusnya memberikan kasih yang tertinggi
kepada-Nya. Tetapi kepada objek-objek yang remeh, kita menaruh kasih
yang kecil. Kritik yang muncul dalam buku Peter sekitar enam puluh tahun
yang lalu adalah : “Kalau pikiran itu benar, berarti Allah salah karena
Allah memberikan kasih yang besar kepada objek (manusia) yang tidak
patut dikasihi.” Bukankah dengan demikian teori Jonathan Edwards
dibalikkan.” “Mengapa Allah mengasihi kita yang begitu hina dan remeh
dengan kasih yang begitu besar?” Apa yang dikatakan Jonathan Edwards
adalah tugas manusia. Kalau Allah mengasihi yang remeh, sehingga perlu
kasih Allah. Itu adalah kasih ilahi yang memberi contoh kepada kita
untuk mencintai yang tidak patut dicintai. Namun demikian, kita tetap
harus mencintai Allah lebih dari yang lain. Itulah tuntutan Yesus
Kristus. Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah kamu mengasihi Aku lebih
dari semuanya ini?” Jadi menurut saya Jonathan Edwards tidak salah.
Kita harus mengutamakan Tuhan. Mengasihi Tuhan lebih dari semua yang
lain. Tuntutan Yesus Kristus juga mengatakan barang siapa yang mengasihi
Aku tidak lebih daripada mengasihi suaminya, istrinya, ayahnya,
anak-nya, dia tidak layak mengikut Aku. Mengasihi Allah yang agung
dengan kasih yang lebih besar adalah hal yang normal. Itu tidak salah.
2. Kasih kepada Manusia
Taraf kedua barulah bagaimana mencintai manusia. Karena manusia dicipta menurut Peta dan Teladan Allah,
manusia mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada binatang dan lebih
tinggi dari pada semua hal yang lain. Ada orang yang mencintai anjingnya
sedemikian luar biasa, sampai-sampai jika anjingnya tidak masuk surga
dia juga tidak mau masuk sorga. Ada orang bertanya kepada Billy Graham:
“Saya mencintai anjingku, besok kalau saya pergi ke sana, apakah dia
boleh pergi ke situ?” Saya tidak tahu atas dasar apa Billy Graham
menjawab, “Disorga anjingmu juga boleh masuk.” Mungkin dia ketakutan
orang itu tdak mau menjadi Kristen, Kalau saya yang menjawab, saya akan
jawab, “Anda semua yang memiliki anjing dengar baik-baik, kalau nanti
sekalipun anjingmu tidak boleh masuk, kamu tinggalkan dia di luar pintu
sorga, lalu kamu saja yang masuk, karena kamu akan menemukan semua
manusia yang ditebus jauh lebih baik dari pada anjing.” Bintang tidak
boleh dipersamakan dengan manusia. Mereka diciptakan untuk manusia,
bukan diciptakan setara dengan manusia. Kita harus mengutamakan manusia
lebih daripada bintang. Kita harus mengutamakan manusia lebih daripada
benda yang lain karena manusia lebih tinggi daripada hal-hal ini.
Seorang anak bicara kepada saya,” Saya
memecahkan gelas, lalu ayah marah kepada saya. Itu berarti ayah saya
lebih mencintai gelas daripada mencintai saya.” Saya membalasnya.”Bukan
demikian. Itu karena kamu bisa dididik, sedangkan gelas tidak bisa
dididik. Ayahmu mencintai kamu, mendidik kamu supaya kamu tahu kamu
tidak boleh sembarangan merusak barang. Jika ayahmu mendidik kamu, bukan
berarti ayahmu tidak mencintai kamu,” Kadang kita berfikir jika kita
merusak sesuatu barang, lalu ada orang yang marah, berarti dia mencintai
barang itu lebih daripada kita. Kita harus sadar bahwa pola pikirnya
tidak selalu demikian. Cinta kepada Tuhan Allah adalah cinta kepada Sang
Pencipta. Cinta kepada manusia adalah cinta kepada peta teladan Sang
Pencipta. Cinta kepada barang adalah cinta kepada ciptaan yang tidak
berpeta dan teladan Sang Pencipta. Tiga tingkatan cinta ini harus kita
bedakan. Barang siapa mencintai uang lebih dari Tuhan, cintanya kepada
Allah menjadi abnormal.
Barangsiapa mengasihi Tuhan dan cintanya
itu tidak dibubuhi rasa takut, maka cinta itu bisa memperalat Tuhan.
Ini adalah penggunaan dan penerapan kasih yang berbahaya. Memang di
dalam ayat tadi dikatakan bahwa “di dalam kasih tidak ada ketakutan.”
Mengapa kini kita harus mengaitkan kasih dengan rasa takut? Sering kali
kita mengontraskan antara kasih dan takut. Di sini kita perlu belajar
suatu bentuk sinkronisasi yang sangat berbeda dari yang sering
dipikirkan dunia.
Pertama, kita perlu mengerti bahwa rasa
takut yang disebutkan di sini bukanlah ketakutan seperti melihat
penjahat atau melihat orang yang akan merugikan kita, tetapi perasaan
takut dalam pengertian hormat yang sangat terhadap Pribadi yang
sedemikian agung. Kita takut kepada Tuhan karena suatu perasaan hormat
yang teramat dalam (reverence), suatu kekaguman yang sangat besar
terhadap Pribadi yang begitu agung, sampai-sampai kita tidak berani
berbuat apa-apa dihadapan-Nya. Maka ketakutan di sini bukan ketakutan
yang membuat kita tidak mempunyai relasi dengan_nya, tetapi justru
karena kita takut kehilangan relasi dengan-Nya, tetapi justru karena
kita takut kehilangan relasi dengan Nya. Kita takut dan hormat kepada
Tuhan yang adalah Pemimpin kita, yang adalah Pencipta kita, dan yang
adalah Tuhan kita. Di dalam Alkitab terjemahan Tionghoa, dibedakan
antara “jing pa” (takut dengan gentar) dan “jing gui” (takut dengan
hormat. Jadi, apakah kita perlu gemetar ketakutan kepada Tuhan? Tidak.
Yang gemetar ketakutan kepada Tuhan adalah iblis. Kita perlu sadar bahwa
iblis sangat takut kepada Allah. Tidak ada setan atau iblis yang
atheis. Alkitab mengungkapkan halitu dengan jelas. Iblis percaya bahwa
Allah ada, dan bahwa Allah itu esa, tetapi dia sangat gemetar ketakutan.
Artinya, dia percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah itu adalah Allah
yang menghakimi dan menghukum dia. Itu menyebabkan dia ketakutan. Tidak
ada relasi antara Allah dan Iblis. Maka iblis percaya tanpa relasi, dan
dengan sendirinya, percaya tanpa keselamatan.
Kita tidak perlu takut, karena Allah
yang kita percaya adalah Allah yang menyelamatkan kita. Dia telah
memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk mati, mencurahkan darah untuk
membasuh segala dosa, dan memberikan pembaruan, pendamaian, dan hidup
yang kekal kepada kita. Dengan demikian, kita tidak perlu gemetar
ketakutan. Gemetar ketakutan menandakan tidak adanya relasi. Tetapi kita
telah berelasi dengan Allah, maka kini kita memiliki ketakutan yang
hormat. Kita menghormati Allah sebagai Tuhan, sebagai Pencipta yang
kekal. Kalau kita tidak memiliki rasa hormat yang disertai dengan cinta
kepada Allah, maka kita akan cenderung mempermainkan dan memperalat
Allah yang menjadi objek kasih kita.
Orang yang mengasihi Allah, tetapi tidak
takut kepada Allah, adalah orang yang mengasihi Allah dengan motivasi
ingin memperalat Allah. Kita bisa melihat satu contoh. Ada orang yang
kelihatannya begitu rajin ke gereja, kelihatan bersungguh-sungguh
melayani, tetapi seluruh kekuatannya di masyarakat sama sekali tidak
mencerminkan iman Kristennya, atau bahkan di dalam hidup sehari-harinya
dia melawan prinsip-prinsip Kekristenan. Orang seperti ini adalah orang
yang memperalat Allah. Dia hanya melakukan ritual Kristen, tetapi dia
tidak menghormati Allah. Itu menunjukkan bahwa dia tidak sungguh-sungguh
mengasihi Allah. Kalau dia mengasihi Allah, dia tidak akan melawan
Allah sedemikian. Kalau seorang kelihatan begitu aktif melayani, tetapi
dalam hidup kesehariannya rusak dan menebarkan nama busuk di masyarakat,
maka dia telah menghancurkan Kekristenan. Dia bukan sedang melayani
Tuhan dan menyaksikan iman Kristen yang benar. Jika kita rajin ke
gereja, rajin mendengarkan khotbah, bahkan belajar theologi dan
pendalaman iman, tetapi seluruh cara kerja, cara pergaulan, dan cara
hidup kita lebih rusak daripada orang non-Kristen, lebih baik kita
keluar dan jangan mengaku sebagai orang Kristen, karena itu akan merusak
nama Tuhan dan membuat orang menghina Kekristenan.
Saya juga sangat kuatir dengan anak-anak
muda yang mengatakan bahwa dia begitu terbeban melayani suatu bidang
tertentu. Kita sering kali mencampurkan apa yang kita suka dengan apa
yang kita sebut sebagai beban. Beban
adalah suatu pekerjaan yang sangat berat, yang tidak ingin kita
kerjakan, tetapi karena Tuhan yang memerintahkannya maka kita mau
sungguh-sungguh mengerjakannya. Dengan demikian, beban itu
merupakan beban pelayanan bagi kita, tetapi kita mengerjakannya dengan
sukacita. Tetapi sering kali yang kita sebut sebagai beban adalah apa
yang sebenarnya kita suka kerjakan dan paling tidak ada beban. Tetapi
kalau suatu itu betul-betul menjadi beban berat dan tidak suka kita
kerjakan, kita akan katakan bahwa kita tidak terbeban mengerjakan hal
itu. Hal ini membuat orang menjadi bingung dan rancu dengan arti kata
beban dan keinginan. Janganlah kita memanipulasi kata beban untuk
hal-hal yang ingin kita kerjakan.
Demikian pula kita harus membedakan
antara kata suka dan kata cinta atau kasih. Kalau kita menyukai sesuatu,
jangan kita berasumsi yang kita sukai juga suka kepada kita. Ketika
seorang mengatakan, “Saya sangat suka kepiting,” maka kepiting harus
cepat-cepat lari dari dia. Kepiting sangat tidak suka dengan perkataan
dan sikap itu, karena itu akan membuat dia mati dan naik ke penggorengan
milik orang yang suka kepadanya. Kalau kita mengasihi, kita harus
melakukan yang baik bagi yang kita kasihi atau menjadikannya objek
manipulasi kita. Itu bukan kebenaran Firman Tuhan. Ada orang mengatakan
bahwa dia begitu terbeban menyanyi. Kalau dia betul terbeban untuk
menyanyi, maka seharusnya dia belajar bagaimana bisa menyanyi yang baik.
Dia mau melatih suaranya dengan berlatih keras pada guru-guru yang
baik. Itu orang yang betul-betul terbeban menyanyi. Tetapi kebanyakan
orang tidak mau seperti itu, mereka hanya cepat-cepat pakai jas lalu
tampil di depan jemaat untuk menyanyi. Ini bukan terbeban menyanyi, dia
hanya mau memperalat menyanyi untuk menjadi alat menonjolkan diri di
depan umum. Kalau kita tidak mau sungguh-sungguh mencintai sesama kita,
tidak mau memberitakan Injil kepada mereka, maka kita hanya
mempermainkan kata cinta. Kalau kita mencintai Tuhan, tentu kita mau
mendengar apa yang dia katakan dan mau memegang kebenaran-Nya. Kalau
tidak, itu berarti kita hanya memperalat Tuhan untuk kepentingan kita.
Kalau kamu mencintai seseorang tetapi
tidak menghargai dia sebagai manusia, maka kamu sedang memperalat dia
dan berusaha memiliki dan menguasai dia. Ini sikap manipulasi. Ada
orang-orang yang mencintai seseorang sampai-sampai yang dicintai terasa
begitu terbelenggu, yang dicintai tercekik sampai tidak bisa bernafas,
bahkan yang dicintai sampai mati terjepit. Itu disebut sebagai cinta
posesif. Cinta seperti ini adalah cinta yang manipulatif, bahkan bisa
berlanjut sampai menjadi cinta yang membunuh. Dalam hal ini, kamu
mencintai sambil membunuh. Jika kamu berkata kamu mencintai Tuhan, lalu
kamu begitu rajin berdoa, menyanyi, mengikuti kebaktian, melayani,
tetapi melawan prinsip-prinsip kebenaran Allah, maka sebenarnya kamu
sedang memanipulasi Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata:”Barang
siapa mengasihi Aku, hendaklah dia memegang perintah-Ku dan
melakukannya. Mencintai Tuhan Allah berarti kita harus menjalankan
perintah Allah. Jika kita mengasihi Allah, kita harus mengasihi sesama
kita. Apa gunanya kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tapi
sambil “mengerjai” saudara kita? Mungkinkah kita mengasihi Allah, sambil
memeras sesama kita? Apa artinya kita berkata bahwa kita mengasihi
Allah? Jika berbuat jahat kepada saudara kita, itu omong kosong besar.
Mulut kita mengatakan mengasihi Allah, tetapi hati kita memperalat
Allah. Mulut kita mengatakan kita mengasihi sesama, tetapi hati kita
memperalat, mengeruk, merampas, dan merugikan sesama kita. Ini bukan
kasih yang sejati kepada sesama kita.
3. Cinta Kepada Benda
Kalau kita mencintai sebuah benda,
tetapi tidak menghargai nilai benda itu, dan hanya ingin mendapatkan
keuntungan melalui benda itu, itu namanya cinta yang egois. Saya senang
benda-benda seni, jadi tidak mungkin barang seni saya lewatkan. Saya
akan berusaha untuk betul-betul melihat dan memperhatikannya. Saya bisa
berdiri di depan sebuah lukisan selama setengah jam sambil terus
memperhatikan kira-kira logos (pencerahan) apa yang akan dinyatakan
pelukis kepada zaman ini dan kepada sejarah. Setiap seniman itu seorang
filsuf. Ketika seorang seniman melukis sesuatu di dalam gambar, dia
benar-benar mau mengutarakan interprestasinya terhadap sesuatu dan mau
memberikan makna kepada sesuatu itu. Itulah logikos di atas kanvas, yang
merupakan pengutaraan filsafatnya. Jika dia benar-benar seseorang yang
orisinal, yang sungguh-sungguh mengutarakan sesuatu di dalam kanvas
menurut apa yang dirasakan terbaik, maka orang tersebut harus kita
hormati. Orang-orang itu mungkin bukan orang yang nomor satu secara
teknik, tetapi secara motivasi selalu nomor satu. Dengan pengertian
demikian, ketika kita melihat lukisannya, kita akan mengagumi lukisan
itu dan mendapatkan pencerahan dari dalamnya. Seseorang anak kecil
beranggapan lukisan itu bagus jika warnanya bagus dan bermacam-macam,
tetapi orang yang mengerti seni melihat makna lebih penting daripada
teknik. Tetapi ada orang-orang yang menyukai seni bukan karena mengerti
seni atau mengagumi seni, tetapi karena dia berfikir bahwa karya-karya
seni itu bisa diperjualbelikan dan menghasilkan keuntungan. Ini sikap
yang berbeda dari sikap seorang pengagum seni. Orang ini tidak bisa
sungguh-sungguh menghargai karya seni itu, karena dia sebenarnya tidak
mengerti makna dari karya seni tersebut. Dia hanya tahu bahwa karya seni
itu bisa menghasilkan keuntungan besar bagi dirinya. Artinya, dia hanya
melihat aspek ekonomis dan tidak mengerti aspek estetis dari karya seni
tersebut. Di sini karya seni itu tidak lagi dihargai, tetapi
dimanipulasi. Demikian juga, mari kita belajar menghormati Tuhan dan
bukan memanipulasi Dia. Inilah cinta yang kudus, cinta yang bersih dan
murni. Cinta yang kotor dan merusak, menajiskan, dan menghancurkan
hidup, tetapi cinta yang kudus memberi hidup, melengkapi dan
mempertumbuhkan hidup.
Diambil dan disalin kembali dari buku Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE: Pengudusan Emosi (Hal 374 s.d 384)
Sumber : http://www.nusahati.com/2014/01/kasih-yang-sempurna-bagian-ii/
Sumber : http://www.nusahati.com/2014/01/kasih-yang-sempurna-bagian-ii/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar