Kita
telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah
adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap
berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dalam hal inilah kasih
Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian
percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di
dalam dunia ini. Di dalam kasih tidak ada
ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan
mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam
kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.
Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci
saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi
saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak
dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi
Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya. (1 Yohanes 4 : 16 – 21)
Jika kita mengasihi kejahatan, mengasihi
dosa, mengasihi dunia dan kedagingan, maka kasih seperti ini adalah
kasih yang dibenci oleh Tuhan. Kasih ini adalah kasih yang melawan
Tuhan. Orang yang mengasihi dunia disebut sebagai orang yang melawan
Bapa. Jika kasih kita kepada dunia ini bertambah, maka kasih kita kepada
Bapa pasti semakin berkurang. Dari sini kita melihat bahwa kasih bisa
memiliki arah yang sangat berlawanan.
Keharusan Kasih
Bagaimanapun juga, setiap orang harus
mengasihi dan dikasihi. Kasih merupakan salah satu aspek hidup manusia
yang paling penting, khususnya didalam mempengaruhi diri kita sendiri
dan juga dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa kasih, tidak ada hidup
yang dapat bertumbuh dengan sehat. Psikologi modern memberi tahu kita
bahwa manusia akan menjadi abnormal karena cinta yang diterimanya tidak
beres. Jika seorang tidak menerima cinta dengan benar, dia tidak akan
bisa bertumbuh dengan baik, dan nanti dia juga akan mencintai orang lain
secara tidak beres juga. Akibatnya, seluruh relasi dan reaksi cinta itu
menjadi abnormal. Seorang anak yang dibesarkan dengan terus dibenci dan
dipukuli akan bertumbuh menjadi pemuda yang penuh kebencian dan suka
memukuli orang lain. Dia merasa bahwa membenci dan memukul adalah suatu
bentuk relasi yang normal, karena itulah pengalaman relasi yang dia
alami sejak kecil.
Pengalaman itu menjadi pengalaman yang
paling riil dan paling sungguh-sungguh di dalam hidupnya. Orang yang
mengalami “dikerjai” dalam acara ospek, ketika menjadi mahasiswa senior,
akan cenderung “mengerjai” lagi adik kelasnya di dalam acara Ospek
tahun berikutnya. Sikap-sikap hidup yang tidak beres yang ada di dalam
diri kita biasanya disebabkan oleh adanya pengalaman bagaimana dulu kita
diperlakukan dengan tidak baik oleh orang lain. Jika sekarang kamu
menjadi orang aneh itu mungkin karena dulu ada orang aneh yang
memperlakukan kamu dengan aneh. Karena
itu, kini kita perlu sangat berhati-hati dan memperhatikan baik-baik
bagaimana kita memperlakukan orang lain, sehingga dunia ini akan semakin
bertambah kasih, perdamaian dan saling pengertian karena kita telah
memperlakukan orang lain dengan cara demikian. Terkadang kita
sangat ingin orang lain berbuat baik pada kita, tetapi kita sangat pelit
berbuat baik pada orang lain. Kita ingin dihormati oleh orang lain,
tetapi kita sulit sekali menghormati orang lain. Kita sering kali ingin
diperhatikan dan dipelihara oleh orang lain, tetapi sebaliknya, kita
sedemikian sulit memperhatikan dan memelihara orang lain. Karena
itulah, Tuhan Yesus mengajarkan,”Hukum Emas” (the golden rule)
ini kepada kita, “sebagaimana kamu ingin diperlakukan, perlakukan orang
lain sedemikian. Doktrin seperti inilah yang menjadikan Kekristenan
mempunyai moralitas yang lebih tinggi daripada teori moral dari agama
atau filsafat manapun. Pengajaran moral “Hukum Emas” ini mengandung
inisiatif dan sikap aktif tentang bagaimana kita harus memperlakukan
orang lain terlebih dahulu, sebelum kita berharap orang lain akan
memperlakukan itu kepada kita.
Kekristenan mengajarkan kepada kita
etika inisiatif dan aktif, bukan etika pasif dan negatif. Ajaran Kristen
bukan mengajarkan, “Kalau orang lain sudah berbuat baik terhadap saya,
maka saya terpaksa harus juga baik kepada orang lain.” Kita harus
memiliki imajinasi bagaimana kita mau diperlakukan dengan baik oleh
orang lain, atau bagaimana kita mau dihormati oleh orang lain , tetapi
kita harus menghormati orang lain terlebih dahulu, menghargai orang lain
terlebih dahulu, memelihara orang lain terlebih dahulu. Jadi, dengan
imajinasi itu kita menjadi inisiator di dalam melakukan kebaikan. Sering
kali kita menjadi orang yang pasif dan menanti inisiatif orang lain.
Kalau kita sudah menerima kebaikan sepuluh kali, baru kita memikirkan
kebaikan satu kali kepada orang lain. Bukan saja demikian, ada yang jauh
lebih parah. Ada yang sudah sepuluh kali diperlakukan baik, ketika
tidak diperlakukan baik yang kesebelas kalinya, dia mencap orang itu
jahat. Kasihan sekali.
Apakah hak kita sehingga kita harus
diperlakukan baik oleh orang lain? Kalaupun ada orang yang berbuat baik
kepada kita, apakah kita memang patut menerimanya? Sering kali kita
beranggapan kalau orang berbuat baik kepada kita, itu adalah hal yang
selayaknya, dan kita memang patut untuk menerima perlakuan sedemikian.
Siapakah kita? Sebenarnya kita tidak berbeda dengan semua orang lainnya,
yang sama-sama dilahirkan telanjang. Tidak ada bayi yang lahir memakai
celana, apalagi dasi. Kita semuanya dilahirkan telanjang, tidak memiliki
apa-apa. Hanya mungkin karena keluargamu lebih kaya daripada orang
lain, maka kamu merasa seharusnya diperlakukan lebih terhormat dari pada
orang lain. Mengapa kamu selalu mencari tempat yang paling terhormat,
yang paling baik, atau yang paling dihargai orang lain? Terkadang saya
berfikir bahwa hidup kita sering kali sudah terlalu nyaman. Masih banyak
orang yang hidup jauh lebih tidak nyaman daripada kita. Dunia ini
membutuhkan cinta kasih, membutuhkan pengertian; dan kebutuhan itu
perlu disadari dan dipikirkan oleh orang-orang yang mempunyai pikiran
inisiatif, yang mau menuntut diri dan berimajinasi “bagaimana seandainya
saya berada diposisinya?”
Tahukah kamu bahwa orang kaya setiap
hari bisa menghabiskan air kira-kira 600 liter untuk mandi, mencuci
mobil, menyiram tanaman dirumahnya, dan berbagai aktivitas lainnya.
Sebaliknya, orang miskin terkadang satu hari hanya mendapatkan jatah
tidak sampai 2 liter saja. Kita perlu menyadari bahwa air bersih dibumi
ini semakin hari semakin berkurang, sehingga waktu beberapa puluh tahun
kedepan bisa terjadi krisis air yang cukup serius. Ketika di hotel,
saat mandi, saya bisa menghabiskan beratus liter air untuk mandi di bathub.
Saya merasa itu terlalu mewah, sehingga saya selalu berusaha sehemat
mungkin memakai air. Memang kekayaan seluruh bumi ini dipercayakan
kepada manusia, tetapi itu bukan berarti kita boleh memboroskan atau
memakainya secara sembarangan. Bukan berarti karena kita memiliki uang,
kita boleh memakainya secara boros. Jangan berfikir kita boleh
menghambur-hambur kekayaan dan sumber alam secara sesuka hati karena
kita memiliki kemungkinan itu.
Kini bahan bakar kita semakin menipis,
lalu suatu saat akan habis. Saat ini penduduk Amerika Serikat, yang
hanya 4 persen dari seluruh populasi dunia, menghabiskan 60% persen
konsumsi bahan bakar sedunia. Ini merupakan ketidak adilan yang luar
biasa bagi dunia kita. Jika kita memikirkan dengan mendalam dan matang,
kita akan menyadari bahwa sebagai manusia kita masih mempunyai banyak
sekali kelemahan. Kita penuh dengan dengan kelemahan yang belum kita
pelajari, dan ada banyak potensi yang belum kita pertumbuhkan dalam
kehidupan kita. Dalam banyak gerakan anti peperangan, muncul slogan “No blood for oil”
(jangan tumpahkan darah untuk mendapatkan minyak). Ini menggambarkaan
bahwa negara yang takut kekurangan bahan bakar (minyak) berupaya
menguasai minyak supaya rasa amannya terjaga. Setiap negara, demi
mencari keuntungan bagi negaranya, mengemukakan dalih-dalih yang
kelihatannya begitu penuh kasih dan memperhatikan kepentingan umat
manusia. Disini kita melihat betapa manusia sudah berdosa, sudah
tersesat, dan menyeleweng dari kebenaran dan kasih Allah yang sejati.
Alkitab Dan Kasih
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa
orang yang hidup di dalam kasih, dia hidup di dalam Allah; orang yang
tidak hidup di dalam kasih, dia tidak hidup di dalam Allah. Jika kita
mengatakan bahwa kita hidup di dalam Kristus atau kita hidup di dalam
Allah, maka secara status kita memang sudah diselamatkan. Tetapi dalam
kehidupan sehari-hari, belum tentu kita sudah betul-betul hidup di dalam
Kristus atau hidup di dalam Allah. Di ayat yang kita baca ini, terdapat
dua kalimat yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang
pertama memberikan kita pengertian bahwa kasih yang ada dalam diri kita belumlah sempurna. Sudut pandang kedua membukakan kepada kita bahwa kita yang belum sempurna juga bertumbuh di dalam kasih.
“Kasih itu menjadi sempurna di dalam kita” berarti kita memiliki kasih
dan kepemilikan itu terus bertumbuh, sehingga kita mempunyai semakin
banyak kasih. Kita melihat kasih itu menjadi sempurna di dalam diri
kita, dan akhirnya kita disempurnakan di dalam kasih.
Sedikit orang yang memikirkan apakah
kasihnya bertambah, apakah imannya bertambah, apakah pengharapannya
bertambah. Kebanyakan orang memikirkan apakah uangnya bertambah, apakah
haknya bertambah, apakah kekayaannya bertambah. Pada saat kita mampu
mengalihkan seluruh hidup kita dari yang kelihatan menjadi yang tidak
kelihatan, yang sementara menjadi yang kekal, yang fana menjadi yang
baka, disitulah kerohanian kita bertumbuh. Kita sering memikirkan
pertambahan uang kita, tetapi tidak memikirkan pertumbuhan iman kita.
Kita memikirkan usaha kita maju atau tidak, dan tidak memikirkan
kerohanian kita maju atau tidak. Banyak orang mendengar khotbah sekedar untuk memuaskan kepentingan rasionya atau untuk mencari bahan khotbah bagi dirinya.
Seumur hidup saya berkhotbah, saya tidak pernah mencuri khotbah orang
lain, memakai khotbah orang lain untuk saya khotbahkan, lalu saya akui
sebagai khotbah saya. Setiap khotbah merupakan hasil pergumulan iman,
pergumulan pikiran, pengalaman, dan perenungan yang sedalam mungkin akan
Firman Tuhan. Orang yang hanya mengambil khotbah orang lain akan
kehilangan kuasa rohani. Kita perlu menggumulkan Firman Tuhan, lalu
mengaplikasikannya dalam kehidupan kita, dan mengkhotbahkannya. Dengan
demikian, Firman Tuhan betul-betul menguasi hidup dan pikiran kita,
sehingga khotbah kita menjadi khotbah yang berkuasa , karena yang
berkuasa bukan diri kita, tetapi Firman Tuhan itu sendiri.
Allah Adalah Kasih
“Orang yang hidup di dalam kasih hidup
di dalam Allah. Orang yang tidak hidup di dalam kasih tidak hidup di
dalam Allah.” Prinsip ini di dasarkan pada kenyataan bahwa Allah adalah
kasih adanya. Pernyataan ini tidak bisa ditemukan dalam kitab apapun,
termasuk di dalam kitab-kitab suci lain yang ada dimuka bumi ini. Tidak
ada pengajaran filsafat yang menyatakan bahwa Allah adalah kasih. Banyak
agama mengajarkan bahwa Allah mengasihi, atau bahwa kasih merupakan
salah satu sifat Allah yang penting. Namun tidak ada satupun ajaran yang
mengajarkan bahwa Allah itulah kasih. Allah adalah kasih hanya ada
dalam pengajaran iman Kristen. Allah mengasihi, manusia juga mengasihi.
Allah mempunyai sifat kasih, dan manusia juga mempunyai sifat kasih. Di
sini kita tidak melihat perbedaan. Tetapi iman Kristen mengatakan bahwa
manusia mengasihi, tetapi Allah adalah kasih. Manusia mempunyai sifat
kasih, tetapi Allah itu adalah kasih. Allah adalah kasih, maka manusia
yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah juga memiliki sifat
kasih. Manusia serupa dengan Allah, tetapi manusia bukanlah Allah.
Manusia memiliki kasih karena mendapatkan kasih itu dari Allah yang
adalah diri-Nya kasih. Allah membagikan kasih-Nya, sehingga manusia
mungkin memiliki kasih. Maka, orang yang hidup di dalam kasih hidup di
dalam Allah. Semakin kita hidup di dalam Tuhan Allah, semakin kasih-Nya
melimpah di dalam diri kita, sehingga kita semakin hidup di dalam kasih.
Mungkinkah manusia bertumbuh tanpa
kasih? Tidak mungkin. Yang mewakili Allah memberikan kasih sehingga kita
dapat bertumbuh baik adalah ibu kita. Setiap ibu adalah orang yang
agung bagi anak-anaknya. Ibu-ibu yang baik pasti akan cenderung
memikirkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun orang tua yang hanya
mementingkan anak-anaknya sendiri, sampai-sampai memikirkan bahwa anak
orang lain bukan manusia, adalah orang tua yang kurang mengerti cinta
kasih Allah. Ada ibu-ibu yang begitu membicarakan tentang anaknya
menjadi sedemikian bersemangat, tetapi begitu membicarakan anak orang
lain langsung cemberut dan tidak peduli. Namun dalam posisi
sedemikianpun, tetap ibu ini menjadi wakil Allah bagi anaknya, dengan
membagikan cinta kasih yang agung kepada mereka. Ketika kasih itu
akhirnya bisa semakin berkembang dan semakin melimpah, dia mulai bisa
menganggap anak-anak lain juga seperti anaknya dan memberikan cinta
kasih yang semakin melimpah kepada mereka juga. Dengan demikian,
keagungannya semakin bertambah karena dia bisa berbagi kasih kepada
semakin banyak orang.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa
dia tidak mencintai sembarang orang. Dia hanya bisa mengasihi
orang-orang tertentu saja, karena memang kasihnya hanya terbatas untuk
orang-orang itu saja. Itu pendapat yang tidak benar. Jika kita melihat
sebuah lampu yang menyala, maka terang itu bisa dibagikan untuk setiap
orang yang ada di dalam ruang itu. Tidak peduli satu orang atau sepuluh
orang yang ada di dalam ruang itu, cahaya itu tetap akan menyinari
mereka semua. Pengertian ini mulai menerangi saya sekitar 40 tahun yang
lalu. Kalau seorang ibu memiliki seorang anak, maka anak itu akan
mendapatkan cinta kasih dari ibu itu. Kalau ibu itu mempunyai 10 orang
anak, apakah kesepuluh anak itu juga akan menikmati cinta kasih dari ibu
tersebut? ya. Mereka semua akan mendapatkan cinta kasih dari ibu
tersebut. Cinta ini merupakan hal melampaui dalil waktu. Ada orang yang
memiliki banyak anak, tapi tetap memiliki kesuksesan hidup yang sama
dengan orang yang tidak memiliki anak. Ada orang yang tidak memiliki
anak, tetapi tetap menjadi lebih sukses karena bisa bekerja tanpa
diganggu oleh anak. Johan Sebastian Bach memiliki delapan belas orang
anak, sedangkan George Friedrich Handel tidak menikah dan tidak memiliki
anak. Seharusnya Bach menjadi begitu sibuk sehingga tidak bisa sukses,
sedangkan Handel tidak begitu sibuk sehingga bisa lebih sukses. Ternyata
tidak demikian. Karya Bac tidak kalah baik dan tidak kalah banyak
daripada Handel. Cinta kasih memiliki kemampuan untuk menjangkau unknown quantity (kuantitas yang tak terhitung), sehingga tidak habis namun melimpah dan terus bisa dibagikan kepada orang lain.
Ibu dari John Wesly, pendiri gereja
Methodis, memiliki delapan belas anak. Dia menjaga setiap anak satu per
satu, memelihara satu per satu, memberi nasihat satu per satu. Jika ada
satu anak yang tidak hadir, ketika anak itu datang, dia mengulangi lagi
semua nasihat nya sampai jelas. Ada orang bertanya kepadanya, “Apakah
kamu tidak lelah?” Dia menjawab, “Jika ada satu anak yang saya lupa ajar
atau lupa beri tahu, berarti saya adalah ibu yang tidak bertanggung
jawab. Saya menganggap saya sudah gagal menjadi ibu.” Semua itu
dikerjakan olehnya karena cintanya yang begitu melimpah kepada
anak-anaknya.
Kita dicipta oleh Tuhan di dalam suatu bentuk relasi yang mutual.
Kita perlu dikasihi dan kita perlu mengasihi. Keduanya harus seimbang,
barulah kehidupan relasi kita menjadi sehat. Kalau kita mengasihi tetapi
tidak dikasihi, akan timbul ketimpangan, Kalau kita dikasihi tetapi
tidak mengasihi, itu pun akan menjadi timpang. Ketika
seorang anak terus menerus mendapatkan cinta kasih dari orang tuanya,
kita tidak boleh berfikir bahwa dia sudah puas karena mendapatkan
kepenuhan limpahan kasih. Dia baru puas dan baru sehat ketika dia juga
bisa belajar mengasihi orang lain. Ketika anak itu menjadi
dewasa, dia semakin merasakan kebutuhan ini. Dia merasakan kebutuhan
untuk bisa mengasihi, bukan sekedar dikasihi. Sering kali dalam
peralihan dari dikasihi menjadi mengasihi terjadi kesenjangan yang
menyebabkan kita kesepian. Seorang suami yang selama ini merasa
sedemikian dicintai oleh istrinya, suatu saat merasakan kehilangan,
karena kini mereka memiliki anak, dan istrinya mulai mengalihkan
kasihnya ke objek kasihnya yang baru, yaitu ke anaknya. Saat itu suami
itu merasa kesepian. Dia mulai berfikir bahwa istrinya telah
melupakannya. Dia merasakan kebutuhannya untuk dikasihi. Manusia baru
mempunyai kesempurnaan kalau terjadi keseimbangan di mana dia bisa
dikasihi dan mengasihi. Kita perlu dikasihi, tetapi kita juga perlu
mengasihi. Ketika kedua mencapai keseimbangan, kita akan merasa sangat
berbahagia.
Apakah kasih itu bersifat aktif atau
pasif? Jawabnya adalah pasif. Terkadang kita berkata.”Mengapa kamu tidak
lebih mengasihi saya lagi?” Kalimat seperti ini tidak boleh
dimutlakkan. Terkadang kita sulit mengasihi kecuali kasih itu terlebih
dahulu tiba dan melimpah atas diri kita. Kasih tidak bisa berpura-pura.
Kasih yang dilakukan dengan pura-pura bukanlah kasih yang sejati. Kasih
yang dipaksakan adalah kasih yang tidak alamiah, sehingga ada
unsur-unsur yang tidak kita mengerti. Di dalam cerita Yunani Kuno,
dikatakan bahwa manusia itu dicipta hanya separuh saja, sehingga ketika
dia dewasa, dia akan mencari separuhnya yang hilang. Itulah yang
kemudian dikenal sebagai pernikahan. Mereka juga percaya adanya dewa
Cupid, yang selalu membawa panah asmara. Ketika panah itu dilepaskan dan
mengenai dua insan manusia, maka keduanya akan saling mencintai dan
tidak bisa terlepas lagi. Maka dengan ini, kita melihat bahwa cinta itu
pasif, sekalipun sepertinya terlihat aktif. Demikian juga kita dicipta
oleh Allah yang adalah kasih, jadi kasih kita berasal dari Allah. Maka
kita perlu belajar dan menikmati kasih dan Firman Allah, dari wahyu
Allah dan dari kuasa Allah.
Diambil dan disalin kembali dari buku Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE: Pengudusan Emosi (Hal 361 s.d 174)
Sumber : http://www.nusahati.com/2013/12/kasih-yang-sempurna-bagian-i/