Ketakutan Yang Benar (Bagian II)
Pdt. Dr. Stephen Tong |
Ada beberapa hal penting di dalam
mengerti tentang ketakutan. Ketakutan adalah perlawanan terhadap cinta
kasih. Ketakutan adalah perlawanan terhadap iman percaya. Ketakutan
adalah perlawanan terhadap pengharapan. Orang yang beriman, semakin
besar imannya, secara otomatis akan semakin kecil ketakutannya. Orang
yang berpengharapan, semakin sungguh-sungguh berpegang pada pengharapan
tersebut, semakin tidak perlu merasa takut. Orang yang memiliki cinta
kasih yang murni akan terhindar dari perasaan takut, karena cinta kasih
mengalahkan ketakutan. Di Scotlandia pernah satu kali seorang anak kecil
di bawa oleh seekor elang yang sangat besar. Elang besar itu menukik
turun, bukan menyambar ayam atau binatang lain, tetapi seorang bayi yang
sedang dibaringkan dipinggir sawah, karena ibunya sedang bekerja di
sawah tersebut. Bayi itu diambilnya, lalu dibawa ke atas gunung. Maka
seluruh penduduk itu panik sekali. Elang itu punya cakar yang kuat dan
membawa anak itu kesarangnya, lalu meletakannya di sana. Elang itu belum
memakan bayi itu, mungkin karena merasa bahwa “yang satu” ini lain.
Orang berusaha untuk mendaki ke puncak gunung, tetapi tebing itu sangat
terjal dan sulit sekali untuk bisa mencapai sarang itu. Ada prajurit
yang berusaha naik, karena dia merasa cukup perkasa, tetapi akhirnya
gagal. Dia turun dan menganggap anak itu pasti sudah mati dimakan elang.
Beberapa pria lain juga berusaha menolong, tetapi tidak mampu. Tetapi
sungguh aneh, ada seorang wanita yang sama sekali tidak menyerah dan
terus berjuang untuk naik ke sarang elang tersebut. Badannya
berdarah-darah terkena bebatuan di gunung itu. Akhirnya wanita itu
berhasil membawa turun bayi tersebut. Seluruh tubuh wanita itu
luka-luka. Tubuh anak itu juga luka-luka terkena cakar elang itu.
Setelah diobati beberapa waktu, barulah mereka sembuh. Siapakah wanita
itu? Tidak lain adalah ibu anak tersebut. Mengapa seorang ibu bisa lebih
kuat daripada seorang prajurit? Ya, seorang ibu lebih kuat, lebih kuat
dalam hal cinta kasih dibanding dengan prajurit itu. Ibu itu sangat
mencintai anak yang dilahirkannya. Maka semua kesulitan dan bahaya
apapun akan dilewatinya. Benarlah apa yang dikatakan Alkitab, cinta
kasih meniadakan ketakutan. Sering kali kita terlalu banyak ketakutan
karena kita kurang cinta kasih. Kita tidak sungguh-sungguh mencintai
sesuatu yang seharusnya kita cintai, sehingga kita takut kepada apa
yang seharusnya tidak kita takuti.
Iman juga berlawanan dengan ketakutan.
Pengharapan juga berlawanan dengan ketakutan. Kasih juga berlawanan
dengan ketakutan. Saya sempat menggumulkan apa saya boleh membawakan
tema ini. Saya merasa patut untuk membawakan tema ini, karena selama
hidup saya, saya telah berusaha melatih diri untuk tidak takut. Saya
tidak mudah takut oleh berbagai hal, ataupun takut karena diancam.
Semuanya itu telah dilatih selama berpuluh-puluh tahun, sehingga saya
bahkan tidak takut miskin dan tidak takut kerja terlalu berat. Itulah
yang membuat saya boleh dan berani berkata kepada kalian: “Jangan
takut.”
Saya berharap semua hamba Tuhan yang
berada di dalam Gerakan yang saya pimpin ini juga mengadopsi semangat
ini, dan tidak sekedar belajar teori yang tinggi-tinggi di dalam sekolah
theologi. Yang lulus dari sekolah theologi banyak, tetapi yang
betul-betul mengerti semangat seperti ini, sangatlah sedikit.
Ada seorang hamba Tuhan GRII yang kami
kirim ke luar negeri. Dia menelepon saya, memberitahukan bahwa ada hamba
Tuhan lain yang juga melayani di kota itu, dan orang itu mendapat
fasilitas yang jauh lebih baik, didukung oleh gereja pendukungnya dengan
limpah. Karenanya, dia bisa menyediakan penjemputan bagi orang yang mau
datang ke kebaktiannya. Lalu saya tanya, bagaimana dengan sikap dia
setelah tahu hal itu. Dia menjawab bahwa dia tetap akan berjuang terus.
Dia tidak terpengaruh dan tidak iri hati dengan orang yang mendapat
banyak fasilitas itu. Saya katakan kepada dia bahwa lebih baik dia
bekerja dari nol sampai nanti betul-betul jadi. Tidak perlu takut cara
orang lain bekerja. Dan nanti ketika sudah jadi, kamu akan menjadi
kuat. Suatu hari kelak kamu tidak lagi membutuhkan dukungan dari pusat.
Dengan begitu barulah kamu menjadi hamba Tuhan yang kuat. Perjuangan
seperti itulah yang saya harapkan ada pada hamba-hamba Tuhan di dalam
gerakan ini. Bagi mereka yang tidak mau berjuang, silahkan tidak perlu
berada dalam gerakan ini.
Iman berlawanan dengan ketakutan,
pengharapan berlawanan dengan ketakutan, kasih berlawanan dengan
ketakutan. Alkitab ingin agar kita berani, kita percaya, tidak takut.
Alkitab mengatakan bahwa orang yang memiliki pengharapan bagaikan
jangkar yang tertancap di tempat maha suci, dimana ada janji, di situ
ada pernyataan Tuhan dan di situ ada kesetiaan Tuhan yang tidak berubah.
Alkitab mengatakan bahwa jika kamu
mengasihi, kamu tidak akan takut. Pada awal saya mempelajari ayat ini,
saya sulit mengerti. Sampai suatu hari saya pergi membawa 400 buah
traktat, lalu sengaja dari Surabaya beli tiket kereta api ke
Probolinggo, naik kereta api untuk bisa mengabarkan injil. Dari
Surabaya ke Probolinggo jaraknya sekitar 100 Km. Jadi, jika saya
memberitakan Injil dan membagi traktat kepada penumpang yang naik kereta
api, mereka tidak bisa lari. Kalau saya mengabarkan injil di pasar, dia
bisa pergi. Kalau memberitakan Injil di pesawat terbang dia mau lari
kemana? Saya mengatakan:”Tuhan Yesus mengasihi engkau, terimalah Dia
sebagai Tuhan dan Juru Selamatmu.” Saya tidak peduli dia beragama apa
atau penganut filsafat yang mana. Ketika itu saya masih berusia 18
tahun. Saya pakai uang sendiri untuk membeli traktat, lalu membeli tiket
kereta sendiri, karena saya ingin mengabarkan injil, mengasihi
orang-orang yang masih belum percaya. Mereka sangat membutuhkan Tuhan
Yesus.
Lalu saya mulai berdoa dalam hati sambil
memejamkan mata, tidak bersuara, minta Tuhan beri kekuatan, karena mau
mulai memberitakan Injil. Ketika saya selesai berdoa, mau bangun untuk
mulai membagikan traktat, seorang berbadan besar datang dan duduk di
depan saya. Dia seorang polisi berbintang tiga. Alisnya hitam sekali,
matanya besar, dan jenggotnya lebat. Terlihat sangat galak. Wah, saya
gentar. Saya berdoa,”Tuhan, saya baru saja mau memberitakan injil,
mengapa yang pertama diberikan adalah seorang polisi? Saya baru
mendengar bahwa kemarin teman saya dibawa ke kantor polisi karena
memberitakan Injil. Mengapa Tuhan berikan polisi hari ini kepada saya?”
Saya ingin kalau boleh yang pertama kali diberikan adalah seorang gadis
kecil, atau seorang remaja, sehingga saya tidak takut memberitakan
injil kepadanya. Tetapi dalam hati kecil saya ada suara, “Apakah karena
jenggotnya lebat, dia tidak berhak mendengar Injil ?” atau “Apakah
karena dia galak, kamu tidak mengasihi dia.” Wah, itu pertama kalinya
saya memberitakan Injil kepada polisi. Dan saat itu untuk pertama
kalinya ayat ini muncul di dalam pikiran saya : “Di dalam kasih tidak
ada ketakutan” (1 Yohanes 4 : 18). Dia juga seorang yang membutuhkan
Tuhan Yesus. Kalau karena dia berbintang, berpangkat, berjenggot, lalu
kamu tidak memberitakan Injil kepada dia, dimana kasihmu? Saat itu, saya
merasakan sangat sulit. Sebagai seorang anak berusia 18 tahun, saya mau
memberitakan Injil, mau belajar mengasihi jiwa, tetapi ada satu
kesulitan, yaitu takut.
Saat itu saya sempat takut. Saya
mengasihi, tetapi takut. Ayat itu kembali muncul. Maka saya minta Tuhan
memberikan kekuatan supaya saya tidak takut memberitakan Injil
kepadanya. Maka saya berdiri, lalu memberikan traktat kepadanya, sambil
berkata:”Bapak Polisi, silahkan membaca traktat ini. Tuhan Yesus
mengasihi Bapak.”Sambil berkata, jantung saya berdegup keras. Bagaimana
reaksinya? Ternyata dia malah berdiri, menanyakan apa yang diberikan
kepadanya. Ini namanya orang yang mengerti sopan santun. Dia menerima
traktat itu dengan baik sambil menyatakan terima kasih. Dia tersenyum
baik sekali. Setelah itu saya sadar, kalau polisi yang galak saja bisa
menerima Injil, yang lain tidak perlu saya takutkan. Maka saya
melanjutkan membagikan traktat, ke semua orang, sampai akhirnya seluruh
400 traktat itu terbagi habis. Saya memang janji di hadapan Tuhan bahwa
tahun itu saya akan memberitakan Injil dan membagikan traktat kepada
paling sedikit 3.000 orang.
Ketakutan Terjadi Setelah Kejatuhan
Kita tidak berbicara tentang apa yang
berkaitan dengan diri kita dulu, tetapi yang berkaitan dengan prinsip
total. Ketakutan, baru adalah setelah Adam jatuh ke dalam dosa. Dalam
hal ini saya tidak mengatakan bahwa ketakutan adalah akibat dosa. Tetapi
ketakutan ada setelah kejatuhan Adam ke dalam Dosa. Jika ketakutan
adalah akibat dosa, maka itu membuktikan bahwa ketakutan Yesus juga
adalah akibat dosa. Dan itu akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa
Yesus juga mempunyai sifat dosa. Ini tidak benar. Istilah “takut,” emosi
takut, baru ada dan dibicarakan setelah Kejatuhan. Yesus berinkarnasi
setelah kejatuhan Adam ke dalam dosa, maka sebagai refleks saraf manusia
yang normal, maka perasaan takut juga ada pada Yesus. Dengan demikian,
kondisi ini membuktikan bahwa Yesus betul-betul hidup sebagai manusia
secara utuh, dengan fungsi refleks saraf yang normal pada manusia.
Adam takut, terlihat dari tindakannya di
dalam dua kejadian :1) mencoba menutupi dosanya, dan 2) menyembunyikan
diri dari padangan Tuhan Allah. Takut
mulai ada sejak kejatuhan Adam ke dalam dosa, sehingga akibatnya,
manusia berusaha menutupi dosanya, dan melarikan diri untuk tidak berada
dihadapan hadirat Allah.
Anak saya yang paling kecil ketika
berusia dua tahun lucu sekali. Kalau dia baru berbuat salah, matanya
menatap saya, langsung dia menunduk sambil memutar tidak mau melihat.
Dia memejamkan mata sambil memutar badannya, lalu dia menempelkan
mukanya ke lemari, tidak mau melihat saya. Setelah dua menit, dia
berusaha mengintip. Lucu sekali. Ketika dia tahu saya masih melihat dia,
cepat-cepat dia menutup lagi matanya, lalu menempelkannya lagi ke
dinding lemari. Dia tahu kalau dia akan dimarahi. Perasaan takut itu
muncul setelah manusia bersalah, sudah jatuh ke dalam dosa. Yang paling
celaka, manusia setelah berbuat dosa, tetap tidak memiliki perasaan
takut. Orang seperti ini mempunyai pengharapan besar untuk masuk neraka.
Adam takut, Adam malu, karena dia telah
berbuat dosa. Maka dia menutup tubuhnya dengan daun. Ini pertama kalinya
Adam merusak lingkungan, merusak tatanan alam di taman Eden.
Problematika bagaimana menangani kerusakan lingkungan baru dibahas
menjelang akhir abad kedua puluh. Tetapi masalah ini sudah diungkap di
pasal-pasal pertama Alkitab. Manusia betul-betul bodoh, setelah
beribu-ribu tahun, baru berusaha menyelesaikan suatu masalah yang telah
dicatat Alkitab pada awal-awal kejatuhan manusia. Tuhan
bertanya:”Dimanakah engkau, Adam?” lalu Adam menjawab :”Aku takut.” Adam
takut karena dia telah jatuh ke dalam dosa.
Manusia setelah berdosa menjadi takut.
Perasaan takut adalah emosi yang tidak normal. Perasaan takut adalah
emosi yang sebenarnya tidak perlu ada jika dosa tidak melanda dunia.
Manusia dicipta untuk berhubungan dengan Tuhan Allah, maka tidak ada hal
yang perlu ditakutkan. Manusia dicipta dengan kemampuan menguasai diri,
sehingga tidak perlu ada yang ditakuti. Manusia juga dicipta sebagai
penguasa alam semesta, sehingga dia juga tidak perlu takut terhadap
alam. Semua binatang ditaklukkan dibawah manusia, bahkan semua binatang
yang sekarang ganas, seperti singa, harimau, beruang dan lain-lain,
diciptakan untuk takluk kepada penguasaan manusia. Dengan demikian,
manusia tidak perlu takut terhadap mereka. Malaikat pun dicipta untuk
melayani Allah dan manusia, sehingga manusia tidak perlu takut kepada
mereka. Segala sesuatu dicipta untuk menjadi saluran anugerah bagi kita,
untuk mengisi kebutuhan kita, maka tidak ada hal yang perlu ditakuti
oleh manusia. Dari semua makhluk yang ada ditengah alam semesta ini,
manusia adalah ciptaan yang paling dikasihi. Manusia menjadi
satu-satunya makhluk yang berada ditengah-tengah Allah dan alam. Kita
menjadi pengantara, menjadi seorang iman yang berada diantara Allah dan
alam. Dengan demikian, tidak ada alasan sedikit pun bagi manusia untuk
takut.
Tetapi setelah manusia jatuh ke dalam
dosa, manusia menjadi takut. Manusia berusaha menutup diri, dan merasa
dingin. Maka taman itu mulai terasa dingin (Kejadian 3:8). Ini semua
merupakan kondisi yang tidak normal, yang mulai terjadi akibat dunia
sudah jatuh ke dalam dosa. Kondisi abnormal ini mulai terjadi setelah
kejatuhan. Kejatuhan membuat putusnya hubungan antara Allah dan manusia.
Semakin jatuh, semakin putus, dan itu menimbulkan ketakutan. Adam takut
bertemu lagi dengan Tuhan. Inilah akibat dosa, putusnya hubungan dengan
Allah. Mulai dirasakan perlunya Atheisme adalah karena dosa. Jika tidak
ada Tuhan Allah, maka saya tidak perlu dihakimi. Maka, lebih baik tidak
ada Allah, sehingga saya boleh sembarangan berbuat dosa. Jika Allah
tidak ada, maka kebebasan saya tidak perlu harus dipertanggungjawabkan.
Inilah sebab timbulnya Atheisme. Atheisme berhenti pada imajinasi dan
halusinasi. Atheisme tidak pernah menjadi realitas untuk membuat Allah
menjadi tidak ada. Kalau Allah menjadi ada hanya karena kita percaya
Dia ada, atau Allah menjadi tidak ada hanya karena kita percaya Dia
tidak ada, maka keberadaan Allah akan bergantung pada percaya atau
tidaknya kita akan keberadaan Allah. Keberadaan Allah justru menjadi
penentu bagaimana kita mau percaya atau tidak kepada Allah. Keberadaan
Allah bukan akibat kita membuktikan, atau ketidakmampuan kita
membuktikan, Allah ada atau tidak; tetapi keberadaan Allah menjadi
penyebab kita berusaha membuktikan Allah ada atau tidak ada.
Manusia di dalam dunia ini kini
mengalami perasaan takut. Perasaan takut setelah kejatuhan dimulai dari
suatu perasaan takut kehilangan perasaan aman yang selama ini telah
dimiliki. Jika selama ini saya hidup baik-baik, lalu datang ancaman yang
mau merusak kehidupan itu, maka itu membuat saya takut. Jika sebelumnya
saya hidup aman, lalu kini ada ketidakamanan yang datang kepada saya,
maka saya takut. Kita tidak mau kesempurnaan relatif yang kita miliki
terganggu atau dikurangi. Kita ingin keutuhan yang kita miliki terganggu
atau dikurangi. Kita ingin keutuhan yang kita miliki selama ini bisa
kita pertahankan, dan ketika ada ancaman terhadap keutuhan itu, kita
menjadi takut. Kita takut kalau anak kita yang baik-baik akan meninggal.
Kita takut kalau uang kita yang sudah terkumpul dengan baik menjadi
hilang. Kita takut keutuhan dan keamanan itu diganggu. Bukankah ini
sikap normal? Kalau kita menambah terus kekayaan kita, sekalipun dengan
merugikan orang lain, kita tidak merasa takut. Tetapi kalau terancam
kehilangan bakat dan kekayaan yang telah kita terima, walaupun dengan
tidak wajar, maka kita takut. Perasaan atau emosi ketakutan kita sudah
tidak suci. Kalau kita dirugikan, kita takut; tetapi kalau kita
merugikan orang lain, kita tidak takut. Ini perasaan takut yang tidak
sehat.
Pada usia 12 tahun, saya melihat di
sekolah ada begitu banyak sepeda. Sepeda-sepeda itu diletakkan
berdampingan, sehingga kalau satu roboh, maka semua sepeda secara
beruntun akan roboh juga. Satu kali ada seorang siswi yang menjatuhkan
sepeda, lalu beruntun seluruh sepeda jatuh. Dia sangat ketakutan. Tetapi
seorang temannya mengatakan:”ah tidak apa-apa,” sehingga siswi ini
merasa terhibur. tetapi kemudian kalimat itu dilanjutkan:”Karena bukan
milik saya.” Bagi dia, sepeda itu jatuh tidak apa-apa, karena bukan
miliknya. Kalau itu miliknya, dia akan marah sekali. Inilah dosa.
Mengapa kalau kamu mengganggu sekuritas orang lain, kamu tidak takut;
sementara kalau sekuritasmu diganggu, kamu takut? Manusia sering
berdalih, biarlah seluruh dunia bangkrut, asal milik saya tidak. Apakah
ini hidup Kristen? Kita takut, karena kita tidak bisa memelihara
keutuhan. Kita takut karena kita tidak merasa aman.
Diambil dan disalin kembali dari buku Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE: Pengudusan Emosi (Hal 115 s.d 125)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar