Pada suatu hari, beberapa fotografer Jepang mengambil foto di daerah pegunungan Nepal untuk proyek mereka. Mereka berkunjung ke sebuah desa di ketinggian 1500 meter. Desa ini tidak memiliki air, listrik atau jalan yang bisa dilalui mobil. Setelah bekerja keras, mereka ingin minum bir untuk menghangatkan badan. Karena harus melalui jalan gunung yang berbahaya, mereka sebisa mungkin mengurangi beban yang dibawa, sehingga mereka tidak membawa satu botol birpun selama perjalanan.enerjemah, Qi mengatakan kepada fotografer bahwa dia bisa turun ke desa kecil di kaki gunung untuk membeli bir Jerman untuk mereka. Fotografer merasa ragu-ragu pada awalnya. Jarak desa itu sangatlah jauh. Tapi Qi bersikeras bahwa ia cepat dan bisa kembali sebelum gelap. Benar saja, Qi datang sebelum gelap dengan lima botol bir dalam tas kanvas kecilnya.
Keesokan harinya, Qi secara sukarela membeli bir untuk para fotografer lagi. Para fotografer memberinya uang lebih banyak dan tas kanvas yang lebih besar. Namun, Qi tidak kembali malam itu. Keesokan paginya ketika fotografer bertanya tentang dirinya, para penduduk desa mengatakan bahwa Qi mungkin telah melarikan uang mereka.
Penduduk desa bercerita bahwa rumah Qi sebenarnya berada di desa lain dan ia hanya belajar di desa ini. Fotografer merasa menyesal. Mereka berpikir seharusnya mereka tidak mencemari kemurnian anak-anak dengan uang.
Di tengah malam, mereka mendengar ketukan di pintu. Ketika membuka pintu, mereka melihat Qi dengan badan penuh lumpur. Seluruh pakaiannya compang-camping dan terdapat memar di sekujur tubuhnya. Qi menjelaskan bahwa ia hanya bisa membeli empat botol bir di desa pertama. Ia harus mendaki gunung lagi agar sampai di sebuah desa lain untuk membeli enam botol sisanya. Sayangnya, ia jatuh dan memecahkan tiga botol bir yang dibawanya. Qi kemudian menyerahkan bir, uang kembalian dan botol bir yang pecah kepada mereka.
Para fotografer Jepang ini sangat terharu. Mereka menutup wajah mereka dengan tangan dan menangis. Mungkin mereka malu karena telah meragukan kejujuran Qi. Cerita ini kemudian tersebar di Jepang. Setiap orang yang mendengarnya sangat tersentuh dan ingin bertemu dengan remaja sederhana ini yang dengan teguh menepati kata-katanya. Mereka tertarik mengunjungi daerah pegunungan di mana ia dibesarkan. Akibatnya, seiring waktu, kian banyak wisatawan Jepang yang datang ke daerah ini.
Baru-baru ini, seorang pemuda, Wang Zhengyang, dari Sichuan menceritakan sebuah kisah tentang bagaimana ia menepati janjinya. Wang Zhengyang baru saja lulus dari Sekolah Bahasa Asing Chengdu tahun ini. Saat ini, Ia sedang melanjutkan studinya di Swarthmore College di Amerika Serikat. Dulu saat ia baru lulus sekolah, ia mengajukan permohonan beaswiswa ke berbagai universitas ternama di Amerika. Pada Tahun Baru China ini, dia mendapatkan beasiswa sebesar $ 44.670 dari Swarthmore karena prestasinya yang gemilang. Karena memutuskan untuk menerima beasiswa dari Swarthmore College ini, ia menulis surat ke perguruan tinggi lainnya, termasuk Harvard University, untuk menghentikan proses aplikasi lamarannya.
Namun, pada bulan Maret, Wang Zhengyang menerima surat penerimaan dari Harvard University, dan bersama beasiswa sejumlah $ 59,350. Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak pergi ke Harvard karena dia sudah menyetujui tawaran Swarthmore College. Guru Wang, Sun Jiling, tidak terkejut sama sekali dan berkata: “Dia tidak membuat janji dengan mudah, tapi begitu Ia membuatnya, dia akan menepatinya hingga akhir.”
Pada masa Tiongkok kuno, ada perkataan seperti ini: “Sekali sepatah kata terucap, bahkan empat ekor kuda tidak bisa membawanya kembali,” dan “sebuah janji bernilai seribu keping emas.”
Orang jaman dahulu menaruh perhatian besar dalam hal memegang janji. Qi Duoli dan Wang Zhengyang adalah pemuda dari negara yang berbeda, namun komitmen mereka untuk menepati janji menunjukkan nilai dari sifat karakter mulia ini.
Sumber : http://www.nusahati.com/2011/11/pentingnya-menepati-janji/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar