Demikian pula motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika seseorang memiliki motivasi yang murni maka ia pasti memiliki jiwa yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan bumi. Sebaliknya jika seseorang tak memiliki motivasi yang murni, betapapun banyaknya bakat dan talenta yang ia miliki, ia tidak akan dapat mencapai hasil yang positif menyeluruh. Motivasi memang sangat penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi campuran, oleh karena itu kita harus meniadakan unsur-unsur campuran dalam motivasi pelayanan kita.
Di dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, “Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus” (2 Korintus 11:2). Kesucian dan kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani. Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita pertahankan.
Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh yang kuat, tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan. Sebaliknya motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat yang paling melelahkan, dan memberi keteguhan pada waktu penganiayaan menimpa, memberi suka cita pada waktu sengsara menekan; pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat, cahaya di dalam hati kita makin menjadi terang. Maka motivasi yang murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan?
1. KEHENDAK ALLAH
Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan di dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal, yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubung dengan kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia, terlaksananyapun tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan, terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi.
Orang Tionghoa menyebut perintah Raja sebagai perintah atau kehendak kudus. Karena itu ketika utusan raja membawa perintah raja dan memasuki sebuah kota, begitu juga menyebut perintah kudus, maka berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehlah mereka berkata, “Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita mendiskusikannya sebentar, supaya kita tahu apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak?” Tentu tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi, rakyat tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah berbuat demikian, lalu bagaimanakan sikap kita terhadap Allah yang tidak mungkin berbuat salah?
Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah “kehendak”, karena banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah “kehendak Allah” atau “pimpinan Roh Kudus”. “Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yohanes 2:17). Sebab itu kita harus membedakan dengan tegas antara kehendak dan pimpinan.
Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, namun keduanya mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak Allah? Untuk itu perlu pimpinan Roh Kudus. Siapakah yang dapat dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah? (Roma 8:14) Roh bukan saja memperanakkan kita, Ia juga memimpin kita yang diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan- Nya.
Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat pemberitaan Injil? Tidak! Sebab predistinasi Allahlah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, maka kita tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya saya anggap Nuh penginjil yang teragung sepanjang sejarah, karena dia memberitakan berdasarkan kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya. Sekalipun demikian, faktanya pada saat kita memberitakan Injil tidak mungkin tanpa ada hasil.
2. PENGUTUSAN KRISTUS
Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi kita memberitakan Injil karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah mempercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, “Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, … pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku” (1Korintus 9:17). Tuhan mempercayakan tugas itu pada diri kita, betapa mulia hal ini dan menakutkan! Siapakah yang telah menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya bahkan menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa tanggung jawab yang serius terhadapnya.
Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang kita melihat dalil yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati penyertaan Allah dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan Injil kepada umat manusia.
3. DORONGAN KASIH KRISTUS
Paulus menyebutkan dengan jelas, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2Korintus 5:15).
Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa hidupnya dilingkungi, dipegang dan diliputi oleh kasih. Kasih telah menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh sebab itu dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih Allah inilah beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk memberitakan Injil.
Pada tahun 1969 saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa. Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di situ terbentang propinsi Galatia, Atalia dan daerah-daerah lain, yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu daerah itu begitu tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk memberitakan Injil. Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya, mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini?
Dalam hati para rasul terdapat suatu tekad yang agung yaitu pergi, pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Thomas pergi. Pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil. Baik di padang belantara, di hutan rimba mereka hanya tahu pergi, tanpa bertanya kemana mereka harus pergi, kapan mereka kembali, apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat yang tak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini semakin berat jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan kelembutan. Itulah sebabnya mereka rela pergi.
Di sinilah letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam.
Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari orang Yahudi dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina, sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia? Sama sekali tidak! sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual agung pada zaman itu. Sampai hari ini dia tetap termasuk salah seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar, ternyata telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita — dia dipukuli, dicaci-maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri pasti merasa heran, sehingga dia menjawab, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami ….” (2Korintus 5:14; dalam terjemahan lain: menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang yang didorong oleh kasih Tuhan tak mungkin menahan diri untuk memberitakan Injil. Itulah arti dari “menggerakkan dan mendorong.”
4. PERASAAN BERHUTANG
Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berhutang. Dalam Alkitab kita melihat hutang kemuliaan kita terhadap Allah, hutang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu kita masih mempunyai hutang terhadap dunia, yaitu hutang Injil. Bila gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki perasaan berhutang. Paulus berkata, “Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar” (Roma 1:14). Perasaan berhutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan melalui perasaan berhutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berhutang ini harus diikuti oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan masyarakat dengan Injil secara relevan?
5. PENGHARAPAN MANUSIA
Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Matius 24:14). Jadi apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama, menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil.
Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Maka kita harus meniadakan kejahatan dari hati kita dan menghapus tipu daya dari tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang, supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih, dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus. “Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia” (2Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus, membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita, dengan itulah baru kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah Roh Kudus.
Hal yang kedua yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang kembali. Karena kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan status Juruselamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu sebabnya kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius, menasehati orang agar bertobat kembali kepada Kristus.
Dikutip dari:
Sumber : http://www.nusahati.com/2011/11/motivasi-memberitakan-firman/
Judul Buku | : | Konsultasi Pelayanan |
Judul Artikel | : | Motivasi Memberitakan Injil |
Penulis | : | Pdt. DR. Stephen Tong |
Penerbit | : | LPMI dan Gereja-gereja Mitra1996 |
Halaman | : | 21 — 26 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar