Secara realita yang kita bisa amati dengan mata kepala kita sendiri, ada berjuta-juta eksistensi hidup yang berkeriapan di muka bumi ini. Apakah kita bisa berasumsi semua ini merupakan akibat perjalanan alam dan berubah-ubah dengan sendirinya, atau kita harus melihatnya sebagai suatu akibat tindakan Tuhan Allah yang menciptakan segala jenis binatang, tumbuhan, dan khususnya manusia, secara unik dan berbeda-beda? Sebelumnya kita telah membahas dua konsep yang paling mendasar, yaitu konsep “philosophy of being” dan “philosophy of becoming”. Keduanya ini menjadi suatu varian yang berlawanan satu sama lain dalam filsafat Gerika (Yunani Kuno).
Pandangan dari kubu Parmenides dan Zeno di satu pihak, dengan kubu Heraclitus, Leucippus, dan Democritus di pihak lain, telah menjadi dua kubu besar sekitar 2400-2500 tahun yang lalu. Pandangan ini meletakkan dasar kemungkinan hipotesa evolusi. Aristotle mengatakan bahwa dari hidup yang paling sederhana yang berada di dalam air lalu merayap ke atas bumi menjadi binatang melata, barulah secara perlahan-lahan bertumbuh dan berkembang menjadi burung, kemudian menjadi segala macam makhluk, dan pada akhirnya menjadi manusia. Ini menjadi modal dan benih pertama konsep evolusi. Evolusi bukan dimulai dari abad ke-19 oleh Charles Darwin. Evolusi dimulai dari konsep perubahan di dalam philosophy of becoming sejak zaman Yunani Kuno. Baru pada abad ke-19 ini menjadi sistem akademis, sebagai cara interpretasi untuk mengerti segala sesuatu di dalam alam semesta. Buku “The Origin of Species” yang dicetak di London pada tahun 1859 langsung menarik perhatian segala lapisan akademis. Jadi dapat dikatakan pada pertengahan abad ke-19 timbul satu pergeseran dunia pembelajaran seluruh umat manusia yang bersifat revolusioner.
Beberapa ratus tahun yang lalu, sebelum era Darwin, sebenarnya telah terjadi satu revolusi besar di dalam bidang pengetahuan yang menyangkut interpretasi agama dan sains yang disebut sebagai Copernican Revolution. Sebelum Copernicus, semua orang tahu dan percaya bumi itu statis dan matahari berotasi; sistem ini disebut geosentris.[1] Konsep ini diajarkan bahkan di semua agama. Setiap pagi matahari terbit dari timur dan setiap sore terbenam di barat; maka matahari yang berotasi. Semua agama, kebudayaan, dan negara memegang pengertian tersebut. Sampai pada zaman Copernicus dari Polandia, ia mengatakan bahwa teori tersebut salah; sebenarnya bumi yang berotasi dan matahari yang statis. Konsep ini baru keluar di dalam bukunya berdasarkan pengamatan astronomi, di mana pergeseran lokasi itu lebih tertunjang jika kita mengerti bahwa bumi yang berputar. Tetapi tidak pernah ada orang melihat bumi berputar. Kalau bumi berputar, kita semua akan goyang. Mengapa kita tidak merasa bahwa bumi berputar? Karena kita berada di dalam bumi. Jika kita keluar dari atmosfer bumi dan melihat bumi dari sebuah pangkalan di ruang angkasa, kita baru tahu bumi yang berputar. Bumi ternyata hanyalah satu bola kecil yang tidak begitu penting dibandingkan dengan planet-planet yang jauh lebih besar. Pencetusan pengertian dan tulisan yang bersifat revolusioner ini mengakibatkan dia dianiaya. Gereja mengatakan ia telah mengajar bidat, karena melawan Alkitab, yang mengatakan bahwa matahari keluar dari timur dan dengan rajin mengelilingi bumi ini.[2] Namun, sejarah menunjukkan bahwa pengamatan, penelitian, dan penyelidikan astronomi selanjutnya membuktikan Copernicus benar, gereja yang salah.
Ada dua revolusi besar dalam perkembangan pengetahuan selama ratusan tahun terakhir ini:
- Konsep geosentris ditolak dan heliosentris diterima. Di sini konsep astronomis mengoreksi gereja.
- Konsep evolusi, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu.
Kita perlu mengerti dan memilah bahwa kedua revolusi di dalam sejarah ini mempunyai kualitas yang sama sekali berbeda. Revolusi pertama yaitu dari geosentris berubah menjadi heliosentris adalah penemuan yang sungguh benar dan gereja memang salah. Di sini kita harus berhati-hati; apa yang benar katakan benar, dan yang salah katakan salah. “Yang ya katakan ya, yang tidak katakan tidak. Lebih dari itu berasal dari si Iblis,” demikian kata Alkitab. Tetapi bagaimana kita bisa membuktikan bahwa kita berada di pihak yang betul dan akurat? Bukankah itu subjektifitas kita? Kesalahmengertian kita memungkinkan terjadinya pencemaran, polusi, dan akan menodai konsep dan pendirian yang seharusnya objektif. Setiap orang memang berusaha untuk menjadi objektif. Yang diperlukan adalah kita mau mengakui secara jujur pada diri kita sendiri, bahwa kita adalah manusia yang lemah, sehingga kita tidak boleh menegakkan asumsi-asumsi kita sebagai kebenaran. Namun, apapun yang betul-betul kebenaran, sekalipun itu bertentangan dengan asumsi kita, kita perlu berjuang untuk mau mengetahuinya dengan baik. Dan setelah kita mengetahui kebenaran itu dengan benar, kita harus berjuang membela kebenaran itu. Bukan karena kita dari gereja, sehingga sekalipun gereja salah, kita tetap membela dan membenarkan gereja. Ini bukan sikap Kristen yang benar. Kalau gereja salah, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa kita memang salah. Jika kita sebagai orang Kristen tidak lagi membela kebenaran, maka celakalah dunia ini, karena tidak ada lagi kebenaran yang bisa terlihat di bumi ini. Jika orang lain tidak mau menyatakan dan membela kebenaran, maka saya harus berjuang dan mengatakan kebenaran itu. Para pemuda-pemudi Kristen yang bertanggung jawab, kalian dipanggil untuk mau kembali kepada kebenaran, mempelajari dan mengerti kebenaran dengan baik, lalu membela kebenaran itu seumur hidup kalian. Sikap ini merupakan batu penjuru bagi seluruh langkah kehidupan kita selanjutnya. Kalau kalian bersikap demikian, Tuhan akan memberkati kalian seumur hidup. Tuhan tidak menginginkan kita menutup-tutupi dosa gereja, kesalahan kekristenan, karena gereja dan kekristenan bukanlah Kebenaran. Kekristenan adalah agama yang mengabarkan Kebenaran. Kalau kekristenan sendiri sudah menjadi tidak benar, tidak lagi mengabarkan kebenaran, maka yang salah kekristenannya, bukan Kebenarannya. Gereja adalah saksi Kristus, tubuh Kristus yang harus menyaksikan Kebenaran. Tetapi jika gereja sudah tidak mengerti Kebenaran, gereja menyeleweng dan menafsirkan Kebenaran Alkitab dengan sembarangan, gereja harus bertobat, bukan Kebenaran yang bertobat.
Sangat berbeda sifat dibandingkan dengan revolusi pertama, evolusi sebagai revolusi kedua adalah suatu langkah yang sudah salah secara akademis, karena evolusi bukan kebenaran. Dalam hal ini, seharusnya gereja tidak perlu berkompromi dan dengan tegas menyatakan bahwa asumsi atau hipotesa evolusi itu salah. Kemudian gereja harus berani berdebat untuk membawa manusia kembali kepada Kebenaran. Kita perlu berdebat, karena metode astronomi yang dipakai dalam menggeser geosentris menjadi heliosentris itu benar dan sesuai dengan realita kebenaran, tetapi metode yang dipakai dalam membangun asumsi evolusi itu tidak benar. Evolusi tidak takluk pada fakta yang ada, tetapi ia berusaha menambahkan suatu hipotesa untuk menjadi kunci penafsiran terhadap dunia sains. Ini yang harus kita bedakan.
Yang disebut astronomi itu adalah science (ilmu pengetahuan), sedangkan evolusi adalah pseudo science (ilmu pengetahuan semu). Istilah pseudo itu dalam bahasa Latin berarti palsu atau semu. Darwin mengerjakan dua hal yang besar. Ia memilah semua jenis makhluk hidup. Yang disebut mahluk hidup adalah binatang dan tumbuhan. Dengan dasar ini ia membedakan dua macam ilmu, yaitu zoologi (ilmu hewan) dan plantologi (ilmu tumbuh-tumbuhan). Kemudian, dunia tumbuhan digolongkan ke dalam lebih dari 700 ribu jenis. Dan dunia binatang juga digolongkan, ada yang bernafas dengan hidungnya, ada yang menggunakan insang, seperti ikan. Pemisahan klasifikasi oleh Darwin merupakan karya besar pertama yang dikerjakan dalam pululan tahun. Kita bukan sekedar melawan dan mengabaikan jasanya. Ini harus diakui sebagai pekerjaan yang sangat rumit dan melelahkan. Tetapi pekerjaan Darwin yang kedua adalah pekerjaan non-scientific (yang tidak ilmiah). Pekerjaan ini sama sekali bukan berdasarkan fakta pengamatan, melainkan campuran antara imajinasi dan hipotesa yang didasarkan pada pengamatan secara fenomena, yaitu ia mulai membayangkan dan berasumsi bahwa satu binatang sebenarnya berasal dari jenis binatang yang lain. Maka philosophy of becoming menjadi dasar metode pengembangan. Ini bukan sains. Pernahkah ilmu pengetahuan murni membuktikan ada binatang berubah menjadi binatang yang lain melalui proses genetika? Pernahkah ada kromosom dari satu jenis binatang melahirkan keturunan yang berubah kromosomnya? Hal ini tidak pernah terjadi. Maka, perlu satu loncatan yang bersifat imajinatif, suatu metode hipotetis (asumsi) yang tidak didukung bukti ilmiah sama sekali. Saya menemukan bahwa evolusi tidak boleh diterima sebagai sains.
Memang kebenaran 2+2=4 tidak perlu diperdebatkan lagi, karena memang sudah self-sufficient (benar pada dirinya), tetapi apa dasar seseorang mengatakan bahwa kucing itu dulunya adalah tikus atau binatang lainnya? Kita tidak boleh mengambil kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan pengamatan luar, yang menyebabkan kita harus menerima dan menganggap sebagai suatu fakta hal-hal yang hanya terlihat sebagai fenomena perkembangan. Maka pseudo science (ilmu pengetahuan palsu) dan pure science (ilmu pengetahuan murni) haruslah dipilah dengan tegas. Ketika kita mau melakukan penelitian, kita harus mempunyai konsistensi metodologi ilmiah yang kita gunakan. Kalau kita mengatakan sesuatu sebagai sains, maka kita harus membuktikan itu juga dengan metode sains. Akan tetapi, buku “The Origin of Species” yang diterbitkan oleh Darwin pada tahun 1859 di London ini bukanlah buku science. Di dalam buku itu terlalu banyak dipergunakan istilah-istilah “kita bisa membayangkan,” “seandainya,” “kemungkinan,” “kira-kira,” “secara hipotesa dikatakan….” Istilah-istilah seperti ini muncul lebih dari 1100 kali di dalam sekitar total 350 halaman buku ini. Maka jelas buku ini bukan buku ilmiah, tetapi sebuah buku imajinasi. Buku ini menggunakan metode filsafat untuk kemudian meloncat ke wilayah ilmu.
Darwin menggunakan istilah natural selection (seleksi alam), yaitu suatu asumsi filsafat bahwa alam akan membela tumbuh-tumbuhan dan binatang, di mana yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan tergeser. Fakta dari seleksi alam ini ada, sehingga muncul realita yang kuat yang hidup (survival of the fittest). Dalam hal ini, saya tidak bisa mengatakan bahwa Darwin sepenuhnya salah. Dalam pemikiran Darwin ada kebenaran tentang pemikiran “survival of the fittest,” dan itu memang suatu fakta. Apakah fakta itu menentukan evolusi? Sampai pada tahap tertentu, memang ya, tetapi sampai pada tahap berikutnya, tidak.
Darwin mengatakan yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan digeser, sehingga sejarah akan meneruskan orang-orang yang mempunyai daya tahan paling kuat. Di sini pemikiran evolusi bekerja. Dinosaurus dan mammoth yang besar sekali, serta banyak binatang yang besar badannya tetapi tidak kuat bertahan, akhirnya mereka habis punah. Ini memang benar. Tetapi pemikiran bahwa gen mereka terus berkembang menjadi binatang yang ada saat ini adalah asumsi yang tidak benar. Perubahan menjadi jenis yang lain itu merupakan suatu loncatan. Namun apa dasar pemikiran tentang loncatan ini? Lamarck, seorang evolusionis Prancis memikirkan satu pemikiran penting.[4] Mungkinkah apa yang kita pelajari bisa kita turunkan kepada anak kita? Kalau tidak mungkin turun kepada anak, bukankah anak harus belajar lagi? Apakah kristalisasi kumpulan pengalaman belajar kita bisa menjadi hereditas atau tidak? Kalau itu turun menjadi anak yang dilahirkan di dalam keluarga yang pandai dan kaya, tentu itu menguntungkan sekali. Tetapi kalau dilahirkan di keluarga orang malas dan miskin, akan menjadi devolusi, dari orang tua yang malas menghasilkan anak yang lebih malas, akhirnya kembali menjadi monyet? Darwin percaya pada evolusi tetapi ia tidak percaya devolusi. Bagi dia, perubahan ini hanya satu arah yang tidak bisa berbalik menjadi lebih buruk. Mengapa ia hanya percaya manusia akan menjadi semakin pandai, dan bukan semakin bodoh? Itu hanyalah suatu asumsi optimistis. Optimisme memang didasarkan pada kepercayaan adanya perubahan. Maka kita akan kembali kepada philosophy of becoming. Kita dibawa kepada suatu optimisme yang tak berdasar, bahwa selalu akan ada kemajuan dan bukan kemunduran atau kemerosotan. Padahal, secara realita kita seringkali menemukan fakta yang sebaliknya. Di sini evolusi didasarkan pada suatu hipotesa yang tidak ada buktinya.
Klasifikasi dari Darwin itu masih memiliki kebenaran sampai tahap tertentu, tetapi asumsi Darwin sama sekali tidak benar. Di halaman terakhir, paragraf terakhir, Darwin mencatat, “Pada titik permulaannya, semua harus diawali dengan nafas Allah.” Berarti Allah menghembuskan nafas hidup, sehingga timbullah hidup yang pertama. Lalu Darwin berasumsi bahwa melalui proses evolusi, dunia berkembang menjadi sangat variatif. Memang Darwin pernah mengatakan ketika ia sudah tua, “Saya belum merosot menjadi ateis.” Tetapi buku “The Origin of Species” saat ini dipakai oleh semua negara komunis sebagai textbook, dianggap sebagai karya ilmiah yang mutlak benar dan tidak boleh dilawan. Asumsi-asumsi ini mutlak dianggap sebagai sains karena tanpa itu mereka tidak mempunyai dasar untuk menjelaskan alam semesta. Orang yang tidak mengakui adanya Tuhan, kalau ditanya tentang asal mula alam semesta, ia menjadikan evolusi sebagai suatu perisai yang bisa dipakai untuk melarikan diri dari fakta adanya hubungan penciptaan, antara Allah dan manusia. Pada tahun 1862, Darwin mengirim sepucuk surat kepada seorang profesor di Oxford University, “Teori seleksi natural harus seluruhnya digugurkan karena sampai-sampai saya sendiri pun tidak mempunyai bukti atau keyakinan untuk bisa menaati teori tersebut.” Maka, pada akhirnya, Darwin pun harus menolak teorinya sendiri. Tetapi evolusi harus diterima oleh manusia, khususnya di dalam dunia akademik, karena mereka menolak teori penciptaan dan mereka tidak mempunyai jalan lain. Mereka harus menumpang di bawah pikiran ini supaya seolah-olah mereka mempunyai dasar. Evolusi diterima bukan karena itu sebuah teori yang benar. Evolusi diterima karena lebih cocok dengan trend modern yang ateistis.
Alkitab memang bukan buku ilmiah, tetapi wahyu Allah. Maka diperlukan iman untuk mengertinya. Tetapi asumsi evolusi mengatakan dirinya sebagai hal ilmiah. Jika itu dikategorikan sebagai data atau fakta ilmiah, maka fakta atau teori ilmiah perlu bukti-bukti empiris yang menunjang secara kokoh. Tanpa bukti empiris, maka hipotesa itu tidak bisa atau belum bisa dikatakan sebagai ilmiah. Jadi yang tidak mempunyai bukti bukanlah orang Kristen, tetapi yang tidak memiliki bukti itu adalah hipotesa evolusi itu sendiri. Kitab Suci jauh lebih akurat daripada penemuan ilmiah. Kita bisa percaya adanya perperangan Julius Caesar hanya melalui sisa-sisa tulisan yang tertinggal di atas kertas sebanyak 7 lembar, sedangkan Empat Injil, sisa-sisa literatur-literatur yang tidak dimasukkan ke dalam kanon dan kodeks-kodeks lainnya tercatat ada lebih dari 7500 lembar. Anehnya kita bisa lebih mudah mempercayai cerita yang hanya dari 7 lembar kertas sisa dengan tingkat kebenaran yang jauh lebih lemah, ketimbang kebenaran Alkitab yang diwahyukan oleh Tuhan Allah, yang dasarnya 100 kali lebih banyak? Darwin memang salah. Darwin salah di dalam zaman di mana banyak orang mencuri gaya penulisan Alkitab. Meskipun Darwin mengaku dia tidak pernah merosot menjadi ateis, dia telah diperalat untuk mendukung ateisme. Lady Hope dari Skotlandia pernah bertanya pada Darwin saat ia bertamu, “What are you reading, Professor Darwin?” Darwin menjawab, “I am reading the Royal Book.” Yang dimaksud dengan Royal Book itu adalah Alkitab. Darwin mengatakan, “Menurut pengamatan saya, urutan munculnya semua binatang yang saya amati sama dengan munculnya binatang di dalam urutan penciptaan yang ditulis dalam Alkitab.” Darwin berpikir bahwa ciptaan Allah dengan urutan ini bisa dibuktikan dalam asumsi perkembangan evolusi, hanya Alkitab tidak menggunakan istilah evolusi. Evolusi hanya berdasarkan optimisme perkembangan yang terungkap dalam philosophy of becoming itu saja.
Dalam Kejadian 1 Alkitab menulis 10 kali frase penting, yaitu “menurut jenisnya.” Berarti tidak ada perubahan dari jenis yang satu menjadi jenis lainnya. Kitab suci yang diwahyukan Allah sebagai kebenaran secara khusus dan berbeda, menyatakan bahwa semua jenis dicipta dan diteruskan langsung oleh Tuhan. Di sini kita melihat sepertinya Tuhan Allah sudah mengetahui kalau manusia akan memunculkan ilmu untuk melawan Tuhan yang mencipta, maka Tuhan memasang frase “menurut jenisnya,” yang mengandung kesamaan kromosom, DNA, hereditas, dan memiliki kesamaan ciri khas. Bagaimanapun tidak mungkin menjadi jenis yang lain dari satu jenis tertentu yang telah Tuhan ciptakan. Alkitab membuktikan melalui wahyu dengan satu statement “menurut jenisnya,” tidak ada perubahan jenis. Semua hipotesa, imajinasi, tidak bisa menggantikan kebenaran.
Di dalam ilmu psikologi khususnya, banyak teori yang hanya sekedar sebuah teori saja. Oleh karena itu, saya berusaha memisahkan apa itu science (ilmu pengetahuan) dan apa itu pseudo science (ilmu pengetahuan semu), apa itu fakta dan apa itu hipotesa. Kalau semua hal ini sudah mampu kita pilah dengan baik, maka pikiran kita tidak lagi kacau dan bercampur-baur. Kita menjadi orang yang bertanggung jawab dan mengetahui posisi kita. Amin.
Penjelasan :
- Konsep ini dicetuskan oleh seorang pujangga dan ahli astronomi kuno yang bernama Ptolemy.
- Band. Yos. 19:13; Pkh. 1:5.
- Post-Christian era adalah zaman pasca kekristenan, di mana manusia berbondong-bondong meninggalkan gereja dan menganggap sains sebagai agama yang baru.
- Lamarck (1744-1829) hidup hampir sezaman dengan Darwin dan Mendel, bahkan lebih dahulu memikirkan masalah evolusi. Bisa dianggap dialah yang mengobarkan pemikiran evolusi di abad pertengahan.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/creation-or-evolution-bagian-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar