Rabu, 31 Agustus 2011

Belajar Firman


THE WORD (Part-9)

Yohanes 1:4 bisa juga diterjemahkan: Di dalam Firman ada hidup, dan hidup ini adalah terang manusia. Terang menerangi kegelapan, tetapi kegelapan tidak mau menerima terang. Kita telah menyinggung sedikit tentang terang. Dan dari pembahasan tentang budaya-budaya yang berkaitan dengan Logos, kita juga telah melihat bahwa pemikiran Yohanes tentang Logos telah melampaui yang lain. Logos dalam pemikiran Yohanes bukan berada di dalam atau di bawah alam. Dia beserta dengan Allah dan Dia adalah Allah. Inilah perbedaan kualitatif antara wahyu Allah dan hasil penemuan atau spekulasi pikiran manusia. Sebagai orang Reformed kita seharusnya mampu menemukan perbedaan kualitatif (qualitative difference) antara kedua pola pikir ini. Di sini membedakan bagaimana kita melihat Alkitab dan orang luar melihat Alkitab. Bagi kebanyakan orang, Alkitab hanyalah salah satu dari beberapa kitab agung yang ada di dunia ini. Orang percaya melihat Alkitab sebagai wahyu Allah dan satu-satunya sumber kebenaran bagi kita. Hanya Yohanes yang menemukan: Firman itu beserta Allah dan Firman itu adalah Allah.

Kita akan melihat pengertian Logos di dalam sejarah. Di zaman Mao Zedong ada satu jenis porselen yang teknik pembuatannya berbeda dari semua porselen yang ada. Di tengah porselen berwarna putih itu dibubuhkan satu cap berwarna, untuk menandakan bahwa porselen itu asli. Cap itu tidak terlihat secara biasa, tetapi bisa dilihat jika diletakkan di bawah cahaya. Sebenarnya, 600 tahun sebelum Mao Zedong, ada kaisar Yongle, kaisar ketiga dan yang paling ambisius dari dinasti Ming. Ia membangun istana terbesar di dunia, Forbidden City, di Beijing. Sejak dibangun pada tahun 1403, istana itu telah beberapa kali terbakar. Terakhir direnovasi sekitar tahun 2005 untuk menyongsong Olimpiade Beijing 2008. Kaisar Yongle yang pertama kali membuat porselen putih, di dalamnya terdapat naga berwarna biru yang terbuat dari cobalt yang dibakar dengan suhu 1200 derajat Celsius; dan mutiara berwarna merah yang terbuat dari perunggu yang dibakar 1300 derajat Celsius dan perlu pengontrolan oksigen. Cap rahasia itu hanya dapat dilihat di bawah cahaya dan itu merupakan jaminan keaslian karya itu. Demikian juga Tuhan, ketika mencipta segala sesuatu, Ia membubuhkan tanda tangan-Nya. Lalu bangsa Tionghoa, India, Gerika, melalui logika menemukan dalil standar, yang kemudian dikenal dengan bidang-bidang studi, yang diakhiri dengan kata “logi” seperti: geologi, psikologi, biologi, dan lain-lain. Bidang-bidang ilmu ini menemukan tanda tangan Allah di dalam ciptaan-Nya. Namun, Allah Pencipta bukanlah logika, melainkan Logos. Logos menandatangani logi, dan ditemukan oleh logikos. Di sini Yohanes menegaskan bahwa Logos itu bukan di dalam alam, tetapi bersama dengan Allah dan adalah Allah. Jadi orang Kristen jangan hanya ingin menjadi kaya, lancar, sukses; tetapi juga harus tahu betapa ajaibnya Tuhan mencipta segala sesuatu. Lebih ajaib lagi, Ia telah mengirimkan Anak-Nya untuk menyelamatkan manusia, engkau dan saya. Dan sebagai buktinya, Allah Roh Kudus tinggal di dalam hati kita.

Pada zaman ini, kekristenan telah banyak diselewengkan oleh banyak pendeta dan gereja yang tidak bertanggung jawab. Reformed berarti kembali kepada Alkitab. Bagaimana kita bisa membawa banyak orang kembali mengikuti jalan Alkitab, jalur Alkitab, prinsip Alkitab secara benar? Inilah tugas berat yang harus kita emban. Firman itu bersama dengan Allah, tetapi di dalam alam ciptaan-Nya, ada tanda tangan-Nya, prinsip-prinsip dan dalil-dalil-Nya, sebagai tanda bahwa Dia telah berkarya di sini. Dengan demikian memungkinkan manusia mengarahkan imannya dari dunia sini menuju ke surga sana.

Pada mulanya adalah Firman dan Firman beserta dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh-Nya, tanpa Dia tidak ada sesuatu yang ada. Di sini kita melihat satu Pencipta, bukan dua lapisan penciptaan. Yohanes menegaskan, tidak perlu ada allah pencipta yang kurang sempurna, karena dunia ini dicipta langsung oleh-Nya. Mengapa Allah yang sempurna mencipta dunia yang tidak sempurna, dijawab oleh Gottfried Leibniz[1], seorang filsuf Jerman, yang reputasinya setara dengan Rene Descartes dan Baruch Spinoza. Ketiganya dikenal sebagai rasionalis tertinggi di dalam sejarah. Dari ketiganya, hanya Leibniz yang lebih cenderung ke Kristen. Leibniz menjawab secara apologetis, jika Allah mencipta dunia identik dan sekualitas dengan Diri-Nya, maka akan ada dua Allah. Dan itu berarti Allah mencipta Allah, padahal Allah tidak mungkin dicipta. Itu mustahil. Jadi ciptaan Allah justru tidak boleh sekualitas dengan Allah. Dengan demikian, kita tidak mungkin boleh dan bisa mengidentikkan dunia yang tidak sempurna ini dengan Allah yang sempurna.

Melalui ayat ini, Yohanes menegaskan relasi antara Allah dan Logos dalam mencipta. Bukannya Allah mencipta Logos, lalu Logos mencipta alam, seperti pada pikiran Stoisisme. Yohanes menyatakan bahwa Allah memakai Logos untuk mencipta alam semesta yang tidak sempurna; sementara Allah dan Logos tetap sempurna. Alam yang dicipta memiliki perbedaan kualitatif dari Allah dan Logos yang mencipta, dan perbedaan kualitatif ini merupakan suatu keharusan mutlak. Namun, melalui ayat ini, bisa timbul kesan bahwa ada dua Allah, yaitu Allah dan Logos. Di sini kita melihat pertama kali Yohanes mulai masuk ke dalam ajaran Allah Tritunggal. Saya rasa, Saksi Yehovah, Arius, Modalisme (Sabellianisme), Manichaeisme, Witness Lee salah mengerti tentang pemikiran Yohanes. Firman itu bukanlah ciptaan. Firman itu adalah Allah. Celakanya, mereka menganggap diri lebih pandai menafsir dan lebih mengerti Kitab Suci. Melihat Logos sebagai ciptaan Allah adalah sebuah kesalahan besar. Mereka melandaskan ajaran mereka dari Kolose 1 dan Wahyu 3, yang mengatakan: Logos (Kristus) adalah yang utama dari semua ciptaan. Lalu mereka menganggapnya bahwa Kristus adalah ciptaan yang pertama (first created). Sepintas, secara tata bahasa memang bisa dimengerti sedemikian, namun secara theologis hal itu tidak mungkin dapat diartikan demikian, karena Kristus sendiri mengatakan bahwa Aku adalah Alfa dan Omega. Seluruh Kitab Suci juga menunjang Kristus yang tidak berubah, dahulu, sekarang dan selamanya (Ibr. 13). Ia adalah Allah yang kekal. Pengertian “Aku adalah...,” yang dalam bahasa Gerika “ego eimi…” dimengerti dari sejak Perjanjian Lama oleh orang Yahudi sebagai julukan bagi Allah. Istilah itu menunjuk pada Allah Pencipta langit dan bumi. Tuhan berkata kepada Musa: Aku adalah Aku (ego eimi). Frasa ini yang banyak sekali dipakai oleh Injil Yohanes.

Tetapi pemikiran ini belum menyelesaikan bagaimana mengerti “Firman itu bersama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”. Di dalam pikiran orang Yahudi, Allah itu esa, hanya ada satu Pribadi. Konsep ini salah. Orang Kristen melihat bahwa Yesus yang memberitakan Kerajaan Allah, melakukan mujizat, dipaku di kayu salib, bukanlah manusia biasa, melainkan Allah yang berinkarnasi. Dengan ini, konsep bahwa Allah hanya satu Pribadi haruslah digugurkan. Itu sebabnya Yesus menegakkan pengertian yang benar, dan Ia tidak memilih murid dari Yerusalem, melainkan dari Galilea. Artinya, Ia menentang konsep orang Yahudi yang dibakukan dan diturunkan dari Arus Pemikiran Yerusalem (academical tradition of Jerusalem School). Kita memang tidak membuang Perjanjian Lama, tetapi kita harus membuang tradisi orang Yahudi yang salah. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama adalah firman Tuhan dan keduanya tidak bisa dihilangkan. Allah ingin membuang sikap mereka yang arogan, yang menganggap diri mengerti Kitab Suci, padahal mereka mengerti secara salah. Mereka mengerti hanya secara hurufiah yang mematikan, dan bukan pengertian rohani yang menghidupkan. Itu sebabnya, kita perlu menuntut diri untuk mengerti firman Tuhan seakurat mungkin, bukan menurut apa yang kita inginkan. Dan dalam hal ini, Yohanes sangat peka. Perkataan Yesus, “Anggur yang baru tidak diisikan ke kirbat yang tua,” menandai hadirnya era yang baru, era kehidupan yang bersinar dan Perjanjian Baru yang diwahyukan.

Di dalam filsafat Gerika terdapat Plato. Ia menjadi begitu penting karena pada awalnya filsafat Gerika mengandalkan logika untuk meneliti fisika, metafisika, dan lain-lain. Namun, kemudian Socrates membalikkan ke sebuah paradigma yang baru, yaitu “untuk mengenal segala sesuatu, harus dimulai dari mengenal diri” (gnothi seauton). Socrates adalah guru terbesar zaman kuno yang mendidik umat manusia. Muridnya, Plato, meneliti kosmologi dengan sangat luas. Ia mengadopsi pikiran-pikiran kuno sebelum Socrates. Plato mengembangkan pikirannya bahwa dunia yang tampak ini hanya fenomena, sementara dunia yang asli tidak di sini. Itulah dunia yang sempurna. Dunia itu ada di dalam ide. Ide itu yang menuntut pikiran manusia dan menyadari bahwa di sana ada yang sempurna, sehingga kita yang di sini mau meraih kesempurnaan itu. Namun, akhirnya menemukan bahwa yang di sini tidak sempurna. Manusia dengan ide yang sempurna ini kemudian mau belajar dan menuntut diri dengan cara berguru. Tetapi akhirnya, ia menemukan bahwa tidak ada guru yang sempurna, maka ia terpaksa berkompromi. Ide memang sempurna, tetapi realitas tidak sempurna. Ide tinggi; realitas rendah. Seseorang mencari isteri yang sempurna, ketika ia mendapati orang yang mendekati idenya, ternyata wanita itu begitu cerewet yang membuat dia tidak tahan. Di situ dia harus berkompromi. Bagi Plato, dunia ide ini (form/bentuk) dibedakan dari realitas (matter/materi). Tetapi form yang tak tampak, selalu ada di dalam matter yang tampak. Ketika seseorang mau membuat sebuah gelas, dia memulai dengan ide tentang gelas yang indah. Itu disebut desain. Allah adalah Perancang Agung. Ia meletakkan form (bentuk) menjadi matter (materi). Ia merealisasikan ide menjadi ciptaan. Maka, bagi Plato, ada Form (bentuk), ada Ide di sana, dan ada Matter (materi) di sini. Lalu ia mulai mendirikan sekolah yang diberi nama Akademia. Maka istilah ‘akademi’ dimulai dari Plato.

Pendapat Plato ditentang oleh Aristoteles, seorang muridnya yang sangat pandai. Dia berani menentang pendapat gurunya. Ketika Aristoteles ditanya apakah dia tak mencintai gurunya, jawabnya: “bukan aku tidak mencintai guruku, tetapi aku harus mencintai kebenaran lebih dari mencintai guruku.” Di sini terjadi penerobosan dalam metode pembelajaran (methodology of teaching), yang dimulai dari semangat pemberontakan dan semangat berdebat demi kebenaran oleh Aristoteles. Maka sistem pendidikan di Barat mengizinkan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Sistem pendidikan seperti itulah yang membawa Barat, selama 2400 tahun terus maju. Dan itu pula perbedaan signifikan antara pendidikan Tiongkok (Timur) dengan pendidikan Barat. Hal semacam ini harus diperhatikan di dalam kita menerapkan pendidikan di sekolah. Mendirikan sekolah bukan untuk mencari uang, tetapi benar-benar menegakkan kebenaran dan memuliakan Tuhan. Pemikiran Plato ini merajalela selama 1500 tahun, kemudian digantikan oleh pemikiran Aristoteles. Maka selama 600 tahun belakangan ini, Katholik Modern mengikuti Aristotelianisme, di mana terdapat gabungan antara form(bentuk) dan matter (materi). Sebelumnya Katholik menganut paham Neo Platonisme, yang percaya ada materi di sini dan bentuk di sana.

School of Athens adalah satu lukisan Raphaello, yang melukiskan puluhan filsuf. Termasuk di dalamnya Democritus, Socrates, Aristoteles, Herodotus, Euclid, bahkan Averroes (abad ke-13), berada di dalam suatu gedung besar. Hanya dua kepala berlatar belakang angkasa biru yang dihiasi awan-awan, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato mewakili Idealisme. Aristoteles mewakili Realisme. Dilukiskan Plato berdebat dengan satu tangan memegang buku besar (Timaeus), tangan yang lain menunjuk ke atas, wajahnya serius. Aristoteles menghadap gurunya, satu tangannya juga memegang buku (Etika), tangan yang lain menunjuk ke bawah. Mereka adalah pemikir agung dengan pemikiran yang universal. Dasar bicara Plato adalah buku Timaeus: bentuk di sana, materi di sini. Dasar pembicaraan Aristoteles adalah buku Etika: bentuk dan materi sama-sama di sini, keduanya menyatu. Perdebatan itu terus berlangsung sampai abad ke-4, bahkan sampai awal abad ke-5. Agustinus pada awalnya menafsir Kitab Suci mengikuti filsafat Plato dan memberi pengaruh pada gereja mula-mula. Namun, kemudian ia berusaha keras untuk melepaskan diri dan berhasil menjadi filsuf Kristen yang pertama, yang mengangkat pentingnya fungsi rasio, sehingga orang yang percaya kepada Tuhan Yesus dapat memiliki pengertian akan apa yang mereka percaya (Credo ut intelligam – aku percaya, maka aku mengerti). Setelah dia, selama 600 tahun tidak ada pemikir yang penting. Baru pada abad ke-11, Anselmus menegakkan doktrin Kristologi, menghapus pengertian theolog sebelumnya yang salah tentang harga penebusan Kristus yang tunai itu dibayarkan kepada setan, dengan menegaskan bahwa harga tebusan tunai itu diberikan pada Allah. Dengan demikian pengertian Kristologi dan Soteriologi menjadi lebih sempurna. Tetapi juga di abad ke-11, gereja Ortodoks pecah dari gereja Katholik, membuat Katholik tak lagi menjadi gereja universal, dan hanya menyandang nama Katholik Roma, karena gereja Katholik itu mengacu pada gereja di Roma. Sementara di luar Roma masih ada banyak orang yang imannya Ortodoks, yang di Rusia disebut Ortodoks Rusia, yang di Yunani disebut Yunani Ortodoks, yang di Persia, Turki dan tempat-tempat lain disebut Ortodoks Timur. Perpecahan gereja yang pertama terjadi pada tahun 1054 antara Katholik Roma dan Ortodoks Timur. Ortodoks Timur lebih menyukai theologi Yohanes, Katholik Roma lebih menyukai Theologi Paulus. Selain di gereja Katholik juga terjadi perdebatan tentang asal usul Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak. Empat ratus tahun kemudian, pada tahun 1517, gereja Katholik mengalami perpecahan lagi dan muncullah Protestan, berkat keberanian Martin Luther, yang menganut arus pikir Agustinus. Dia menentang semua ajaran manusia dan tradisi yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, memakai slogan: sola scriptura, sola fide, sola gratia, solus Christos, soli Deo gloria, yang terpampang di atas gedung Reformed Millennium Center di Kemayoran.

Sekitar abad ke-13, pengaruh Aristoteles melejit, melampaui pengaruh Plato, dan merajalela di dunia akademis. Pada abad itu, tiga agama: Kristen, Yahudi, dan Islam, memperebutkan takhta akademis di seluruh tempat pendidikan penting di Eropa. Akibat perpecahan di abad ke-11, Katholik mulai menggalakkan pengajaran doktrin, guna menunjang iman kepercayaan. Maka dimulailah Monastery (Biara). Dan di abad ke-12, Biara (Seminari) berkembang menjadi Universitas, memimpin dunia akademisi. Universitas yang pertama di dunia adalah The University of Paris, di Perancis. Baru disusul Oxford University, Cambridge University, Genoa University, University of Heidelberg, University of Prague, dan kota-kota lain pun mulai mendirikan universitas. Universitas yang tadinya berasal dari biara, menambahkan pelajaran-pelajaran lain, yang mengelilingi satu pelajaran terpenting: theologi. Itu sebabnya, universitas Barat menjadikan fakultas theologi sebagai induk, fakultas lain sebagai subordinat, dan karena itu theologi dijuluki the Queen of Science (Ratu Sains). Tetapi sekarang, universitas-universitas di Jakarta tidak punya fakultas theologi. Bahkan Beijing University, sebelumnya bernama Yanjing University, didirikan oleh misionaris Kristen. Setelah diambil alih oleh orang Tionghoa, fakultas theologi ditiadakan. Dan semua universitas di Asia tidak memandang penting firman Tuhan, hanya mau belajar pengetahuan dunia lalu melawan Tuhan.

Aristoteles menegakkan pentingnya menyelidiki dunia, bukan hanya berspekulasi. Karena menurut dia, segala sesuatu terdiri dari empat unsur: tujuan, materi, alasan, efektivitas. Misalnya, sebelum saya membuat kotak tissue ini, sudah punya tujuan, agar tissue-tissuetak berantakan, maka tissue harus bisa diambil per lembar, bisa muat seratus lebih lembartissue. Baru saya mencari materinya, warnanya dan lain-lain, karena di dalam materi yang nampak pasti ada ide yang tak nampak, maka form dan matter tidak dapat dipisahkan. Aristoteles memang salah seorang yang sangat cerdas, luar biasa, kreatif, dan tajam di sepanjang sejarah. Dia menulis lebih dari seribu buku otoritatif di zamannya di banyak bidang, dari astronomi, meteorologi, pergerakan binatang, anatomi, kedokteran, fisiologi, bagaimana wanita melahirkan anak, dan lain-lain. Dia berusaha menjawab semua perkara yang pernah terlintas di dalam pikiran manusia selama ribuan tahun. Dia hidup pada tahun 380 SM, tetapi baru di abad ke-13, sesudah dia mati hampir 1500 tahun, namanya melejit, pemikirannya jadi signifikan, menggantikan pemikiran Plato.

Tiga agama berebut takhta akademis, karena masing-masing merasa paling benar. Di Universitas Paris, Katholik merasa paling benar. Namun, sekarang semua bisa masuk. Mengapa Islam bisa masuk? Karena selama 600 tahun lebih orang Kristen sudah meninggalkan ajaran Agustinus, melupakan pentingnya pengetahuan iman, hanya memikirkan dan meminta berkat Tuhan, mujizat Tuhan, mau kaya, mau hidup nyaman, mirip seperti ajaran Karismatik pada masa kini. Maka beberapa ratus tahun kemudian, gereja penuh dengan orang bodoh. Orang yang pandai meninggalkan gereja. Sementara orang Islam muncul sebagai orang yang sangat pandai, sehingga mereka pun diundang mengajar di Eropa. Salah seorang Arab yang diundang menjadi profesor di Paris University, Averroes, merajalela, katanya: Saya mengerti logika, filsafat Aristoteles, epistemologi, silogisme, dan lain-lain, sementara kalian (orang Kristen) tidak mengetahui semua ini. Maka orang Katholik dan orang Yahudi tidak mau kalah, dan mereka mulai mengejar dan belajar filsafat Aristoteles. Setelah bertarung puluhan tahun, Katholik menang.

Mungkin Saudara merasa mengapa kita harus membahas Injil Yohanes serumit itu? Jika kita mau seumur hidup menjadi orang bodoh, memang kita tidak perlu belajar seperti ini. Tetapi jikalau engkau mau belajar dengan sungguh, simaklah dengan seksama, maka engkau akan memperoleh bijaksana dan pengertian. Jagalah agar jangan setelah engkau belajar begitu banyak lalu jadi congkak, sebaliknya, mintalah pimpinan Tuhan dengan rendah hati. Inilah cara kita bisa terus bertumbuh dan semakin dipakai Tuhan. Amin.


Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Selasa, 30 Agustus 2011

Mendalami Firman

THE WORD (Part-8)

Telah diutarakan sebelumnya bahwa di antara sekitar 20 kebudayaan terbesar yang pernah muncul dalam sejarah manusia, hanya 3 kebudayaan yang membicarakan tentang Logos. Dua kebudayaan berada di Asia (Tiongkok dan India) dan satu di Barat (Gerika). Sebenarnya tiga tokoh filsafat Gerika juga bukan berasal dari Barat, melainkan dari Asia Kecil (kota Miletus). Miletus benar-benar meletuskan filsafat dan aliran Miletus menghasilkan tiga orang yang membicarakan tentang awal mula segala sesuatu. Hal ini menjadi permulaan manusia menyelidiki dengan spekulasi otak manusia tentang hal di luar diri manusia. Tetapi bagaimanapun hebatnya spekulasi manusia dan bagaimana dalamnya pemikiran manusia, tetap bertitik tolak dari manusia sebagai subyek yang memikirkan tentang alam semesta sebagai obyek. Manusia hanya bisa berspekulasi, berimajinasi, berdiskusi, dan mengambil kesimpulan tentang apa dan dari mana alam semesta. Jika demikian, bolehkah kita percaya? Semua teori manusia yang paling hebat ternyata memiliki banyak kelemahan. Dalam krisis ekonomi hebat pada tahun 2008, bank legendaris, Lehman Brothers mengalami keterpurukan; ini membuktikan teori ekonomi yang tidak kuat. Ketika teori yang dipercaya oleh Barat berpuluh-puluh tahun akhirnya runtuh, hal ini langsung mempengaruhi negara-negara lain. Teori ekonomi Keynes, Friedman, dan Alan Greenspan ternyata tidak bisa diandalkan. Kira-kira 19 tahun yang lalu (Red. Khotbah ini dikhotbahkan pada tahun 2008), ketika teori Karl Marx hancur, ekonomi dari negara komunis menjadi bangkrut. Ketika teori Friedman, Keynes, dan Greenspan – yang ternyata juga tidak menjamin – runtuh, manusia mulai goncang, mulai memikirkan bolehkah kita bersandar pada diri sendiri?

Hanya kembali pada firman Tuhan, engkau mendapatkan pangkalan yang tidak berubah. Sekitar 2.400 tahun yang lalu Plato mengatakan, “Di dunia yang terus berubah ini, mungkinkah kita memiliki sandaran yang tidak berubah? Di dunia yang semakin rusak, bisakah kita berpegang pada sesuatu yang tidak bisa rusak? Dalam dunia yang sementara ini, bisakah kita memegang prinsip yang tidak berubah, yang kekal?” Hanya Kitab Suci yang mengatakan “Allah tidak berubah, kekal selama-lamanya. Allah tidak memiliki bayangan pergerakan, Allah senantiasa stabil dan konsisten tidak berubah.”

Filsafat dunia menganut dua aliran. Satu aliran mengatakan: ada prinsip kekal yang tidak berubah. Aliran kedua mengatakan: segala sesuatu berubah sehingga kita harus mengetahui dengan lincah semua dalil perubahan. Pikiran ini dicatat dalam The Book of Changes (Mandarin: Yi Jing). Di dalamnya ada 8 prinsip yang digabung dengan 8 prinsip lain, yang berinteraksi satu dengan yang lain menjadi 64 macam perubahan. Perubahan ini disebut orang bā bā liù shí sì guà, akhirnya diringkas sebagai bā guà (berbentuk segi delapan, sering diletakkan di pintu rumah, dianggap bisa mengusir setan dan supaya rezeki masuk). Sebenarnya, 2.700 tahun yang lalu filsafat ini membicarakan tentang bagaimana mengenal dunia yang berubah. Saat ini kita melihat ketika sistem Barat mulai hancur, sistem Tiongkok mulai berkembang. Ada suatu tradisi yang dahulu dilupakan oleh Barat dan dahulu tidak dijalankan oleh Tiongkok, sekarang mulai dikelola kembali.
Ekonomi hanya memiliki dua prinsip:
  1. Bagaimana menciptakan harta,
  2. Bagaimana memakai dan mendistribusikan dengan baik.
Sekarang Amerika hancur karena menciptakan harta tidak lebih cepat daripada menghabiskan harta. Baru untung 5 dolar sudah pakai kartu kredit 50 dolar. Lain dengan orang Tionghoa yang kerja berat, kalau makan tidak banyak bicara supaya cepat selesai dan simpan uang sebanyak mungkin. Pada prinsipnya menutup bocor dan membuka sumber. Orang yang tidak mengerti hal ini hanya bisa menghabiskan sumber dan tidak pernah menutup bocor, akhirnya runtuh. Sebenarnya ini adalah suatu pelajaran yang sangat sederhana, tetapi orang Amerika khususnya para pemuda hanya tahu kartu kredit akhirnya hancur sendiri. Selain itu mereka berharap tanpa kerja keras bisa mendapatkan uang sebanyak mungkin lalu main saham. Jangan Saudara sembarangan memakai kartu kredit; jika memakainya harus segera melunasinya sehingga tidak terjerat dengan bunga-berbunga yang besar sekali.

Sekitar 2.600 tahun yang lalu, Konfusius mengatakan, “Tambahkanlah umurku 5 atau 10 tahun supaya aku mungkin mempelajari kitab perubahan itu sehingga aku terhindar dari kesalahan yang besar.” Pada saat yang sama, di Gerika juga ada satu orang yang berbicara tentang perubahan. Ia menetapkan suatu filsafat yang disebut School of the philosophy of becoming (Aliran Filsafat Menjadi). Dia mengatakan, “Engkau melihat segala sesuatu seperti tidak berubah. Jika engkau melihat pilar hari ini, itu seperti sama ketika engkau melihatnya minggu yang lalu. Namun itu hanyalah fenomena luar. Engkau melihat semua tidak berubah dari luar. Di dalamnya setiap momen, setiap detik, semuanya sedang berubah.” Penemu filsafat ini namanya Herakleitos atau kadang-kadang disebut sebagai Bapa Aliran Heraklesian. Ia mengatakan segala sesuatu berubah, tidak ada yang tidak berubah. Yang kelihatan tidak berubah itu hanya fenomena, yang berubah itu fakta. Prinsip perubahan ini adalah kebenaran, dan Herakleitos menyebutnya sebagai Logos. Jadi istilah ‘Logos’ sebelum dipakai di Yohanes 1:1, 550 tahun sebelumnya sudah dipakai oleh Herakleitos. 180 tahun setelah Herakleitos, timbullah aliran filsafat yang lebih rumit lagi, yang disebut Stoisisme. Stoisisme berasal dari satu tempat yang banyak tiangnya (Stoa). Filsafat ini begitu penting dan begitu mempengaruhi. Filsafat itu muncul pada abad ke-4 sebelum Kristus dan musnah pada abad ke-4 sesudah Kristus. Berarti Stoisisme pernah merajalela di dalam dunia akademik Gerika selama 750 tahun. Selama 8 abad mempengaruhi orang-orang yang paling pintar, 4 abad sebelum dan 4 abad sesudah, di tengah-tengahnya itulah Yesus dilahirkan, Paulus mengabarkan Injil dan Yohanes menuliskan Injil Yohanes dengan kalimat pertama, “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah”. Ini menjadi halilintar yang merupakan kulminasi, memecahkan kemapanan dan mengubah konsep, karena sebelumnya tidak pernah ada orang yang mengerti kalimat seperti ini. Di dalam sejarah pernah ada satu orang yang mengikut Yesus sejak dari muda sampai tua, ia begitu setia sampai mati. Kalau tidak ada Yohanes, Kitab Suci tidak lengkap, manusia tidak tahu dunia akan ke mana, tidak ada wahyu tentang kiamat, tidak ada ayat yang mengatakan, “Demikian Allah mengasihi isi dunia sehingga dikaruniakan Anak yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya kepada Dia tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Pertama, kita melihat Stoisisme Barat. Di masa Yohanes melayani, Stoisisme berada pada puncak kejayaannya. Stoisisme mengajarkan bahwa dunia terbentuk dari dua unsur, yaitu unsur aktif dan unsur pasif. Unsur aktif adalah unsur lembut yang tidak kelihatan; unsur pasif adalah semua yang kelihatan dan bisa kita pegang. Namun dunia pasif jika tidak ada yang menikmati, tidak ada pikiran, maka akan selamanya pasif. Maka perlu ada yang aktif untuk mengelola yang pasif. Dari sini dikembangkan bahwa dunia terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan paling bawah adalah lapisan yang paling kasar, yaitu lapisan materi. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan pikiran. Pikiran tidak kelihatan dan pikiran memikirkan semua materi, merenungkan tentang kayu, batu, tanah, geografi, dan lain-lain. Pikiran kita bisa memikirkan tentang dunia, tetapi dunia tidak bisa memikirkan pikiran kita. Jadi yang di atas menguasai yang bawah, yang tidak kelihatan lebih penting dari yang kelihatan. Maka, tidak mungkin ada binatang berkata: “Mari kita memikirkan Tuhan yang tidak kelihatan.” Binatang hanya mencari makan. Stoisisme sangat mempengaruhi kebudayaan Gerika. Mereka mengatakan tanah itu pasif, tetapi rumput itu aktif. Kemudian rumput dimakan oleh kuda. Saat itu rumput pasif dan kuda aktif. Kalau rumput lebih aktif dari tanah, maka kucing lebih besar dari rumput, macan lebih aktif dari kucing, maka manusia dianggap yang paling aktif. Sekalipun manusia kecil badannya, manusia bisa membunuh gajah yang jauh lebih besar. Jadi binatang ada di bawah manusia; tumbuh-tumbuhan di bawah binatang; lalu unsur yang lebih kecil, seperti bakteri, di bawah tumbuh-tumbuhan. Setelah itu baru di bawahnya ada materi, batu-batuan, tanah. Lapisan pasif itu materi; lapisan aktif itu hidup. Hidup ada yang berperasaan, berkemauan, dan berpikiran (rasio). Stoisisme berpendapat karena manusia memiliki bibit pikiran, maka pasti manusia berpikir. Ketika saya berpikir, maka saya adalah subyek. Saya memikirkan sesuatu, saya adalah subyek dan sesuatu itu obyek. Tetapi ketika saya memikirkan bagaimana pikiran saya bisa berpikir, maka berarti pikiran saya menjadi subyek dan sekaligus obyek.

Manusia memiliki bibit pikiran, maka manusia bisa berpikir dengan berbagai cara. Ini disebut logika. Manusia mau mengerti Logos, maka perlu memakai logika. Yang menjadikan manusia bisa berlogika adalah logikos. Di sini kita bisa melihat relasi antara Logos, Logikos dan Logika. Logikos adalah firman kecil (logos kecil), logika adalah cara untuk mengerti firman, dan Logos adalah Firman Induk. Jadi Firman Induk itu adalah Kebenaran. Manusia adalah makhluk yang mau mengerti kebenaran. Hal itu terjadi karena manusia memiliki bibit kebenaran, yaitu logikos. Jadi Kebenaran itu di luar saya, bibit kebenaran itu di dalam saya. Saya memiliki bibit kebenaran di dalam saya untuk mengerti Kebenaran yang di luar saya. Di sini saya ingin bersatu dengan kebenaran melalui bibit kebenaran. Maka tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah menyatunya logikos dengan Logos. Di sini filsafat Gerika mulai memikirkan hubungan antara Pikiran Utama (Mother Thought) dengan anak-anak pikirannya (children of thinking).

Manusia begitu mengagumi Taj Mahal, sebuah monumen pualam yang begitu indah dengan pengerjaan yang begitu rapi dan kualitas seni yang sempurna. Taj Mahal didirikan oleh seorang raja yang menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik. Setelah menikah, lahirlah anak pertama mereka, disusul dengan anak-anak yang lain. Hampir setiap tahun istrinya melahirkan seorang anak, bahkan kadang dua anak. Di dalam beberapa tahun mereka dikaruniai 13 anak. Suatu hari di tengah perjalanan, istrinya melahirkan anak dan meninggal. Raja begitu berduka ditinggalkan oleh istrinya, lalu ia mengambil keputusan untuk mendirikan Taj Mahal, kuburan terindah di dalam sejarah manusia. Untuk membangun Taj Mahal, dia memperalat 200.000 orang selama lebih dari 10 tahun untuk satu kuburan. Banyak yang mengatakan inilah the greatest story of love in the history. Tapi bagi saya sama sekali tidak! Demi mencintai istri yang sudah mati, dia menyuruh orang bekerja siang malam tanpa istirahat, banyak yang meninggal dunia karena bekerja terlalu berat. Bahkan barangsiapa yang tidak taat, tangannya akan dipotong. Karena takut pekerjanya bekerja di tempat lain dan menghasilkan bangunan yang lebih indah dari Taj Mahal, maka pekerja-pekerja yang banyak mengerti rahasia pembuatan Taj Mahal dibunuh. Selain cinta kasih Tuhan Allah dalam Kristus, semua cinta kasih di dunia itu adalah kebohongan, kecuali engkau meminta Tuhan menguduskan emosimu. Tanpa pengudusan dari Tuhan, itu tidak mungkin. Manusia bisa mengagumi keindahan Taj Mahal, namun jika engkau berjalan-jalan dengan membawa anjingmu, maka anjing yang engkau bawa tidak akan mungkin mengagumi keindahan Taj Mahal. Anjing tidak tertarik akan Logos.

Stoisisme cukup agung karena ia memakai istilah Logos sebagai aliran filsafat. Ketika Stoisisme memikirkan Logos, mereka mempengaruhi masyarakat sampai setiap lapisan masyarakat kagum kepada mereka. Dari sejak Yesus mati, hingga zaman Agustinus, selama empat abad penginjilan paling sulit menembus orang Stoisisme. Mereka cenderung menganggap diri mereka mengetahui lebih banyak daripada orang Kristen, bahkan etika mereka lebih tinggi daripada orang Kristen. Mereka menganggap bahwa mereka adalah orang yang paling bijaksana di seluruh dunia.

Kini kita bandingkan pengertian Logos menurut Stoisisme dan Yohanes untuk melihat perbedaan kualitatif antara filsafat manusia dan Firman Tuhan. Dengan itu kita melihat bahwa filsafat hanya merangsang dan mendorong kapasitas pengetahuan kita sedangkan Firman Tuhan membawa kita untuk mengenal anugerah keselamatan yang Tuhan berikan bagi kita, yang adalah umat-Nya. Stoisisme mempengaruhi terutama tiga lapisan masyarakat, yaitu: raja (mewakili kekuasaan); sastrawan (mewakili intelektual/cendekiawan); dan budak (mewakili kaum marginal). Ketiga lapisan ini seluruhnya taat serta takluk pada pikiran Stoisisme. Ini terjadi pada abad pertama dan kedua. Ada seorang Stoisisme yang terkenal bernama Epitectus. Dia berasal dari kalangan budak. Epitectus sezaman dengan Paulus. Dia adalah budak yang sangat pandai sehingga menjadi filsuf bahkan memberi pengaruh sampai ke istana. Orang kedua Stoisisme adalah Seneca, seorang sastrawan dan cendekiawan yang brilian. Dia lahir sezaman dengan Tuhan Yesus. Seneca adalah salah satu orang yang paling anggun moralnya dan memiliki kemampuan sastra dan syair yang sangat tinggi pada zaman Romawi abad pertama. Untuk menyatakan kesetiaan dan ketulusan pada raja, ia bunuh diri dengan meloncat ke dalam kawah gunung berapi di Swiss, lalu terbakar di dalam api yang bergolak itu. Pada abad kedua, ada seorang kaisar Romawi yang menjadi Stoisis, yaitu Markus Aurelius. Di sini kita melihat bahwa Stoisisme bisa menaklukkan otak seorang kaisar terbaik dalam sejarah Kekaisaran Romawi. Dalam Capitol Museum di Roma, di tengahnya ada patung besar seorang kaisar yang sedang naik kuda dengan jenggot keriting dan wajahnya terlihat sangat bijaksana. Itulah Markus Aurelius. Maka, kita melihat bahwa berbagai kalangan masyarakat sudah dipengaruhi oleh pikiran Stoisisme.

Stoisisme mengatakan adanya Logos. Logos itu induk; logikos itu fragmen. Siapa saya? Saya sebagian kecil dari logikos maka saya memikirkan Logos. Kita adalah seorang yang terkena sedikit cipratan logikos. Kita senang mendengar khotbah yang baik karena logikos ingin bertemu dengan Logos, ingin mendengar firman karena manusia yang berlogika mau memakai cara berpikir yang benar untuk bertemu dan menyatu dengan kebenaran itu. Kita melihat orang-orang Gerika mempunyai pikiran bagaimana logikos bertemu dengan Logos.

Orang-orang Gerika mengatakan jika air di dalam botol ini adalah Logos (induknya), maka Logos ini pernah mencipratkan air di banyak tempat. Ini adalah logikos. Ketika Logos induk ini beredar, akhirnya titik-titik kecil dari Logos induk sudah berada di mana-mana. Sebagian kecil ada di dalam pikiranmu, sebagian ada di pikiranku, sehingga kita bisa menikmati hal-hal yang agung, mulai dari musik sampai bangunan yang agung. Anjing tidak memiliki kemampuan ini. Logikos berarti fragmen kecil yang keluar dari induk besar. Stoisismemengatakan, “Jika sampai mati engkau belum mengerti Logos, itu tidak masalah, karena engkau pasti bersatu dengan indukmu, Logos, setelah engkau mati.” Jadi manusia jangan takut mati, karena kematian membawa engkau pulang ke indukmu (Logos yang besar). Markus Aurelius menuliskan kalimat ini kepada saudaranya, ”Jangan kuatir, saya sebagai kaisar tetap sama seperti orang lain, tidak lama kemudian saya akan mati. Tolong waktu saya mati, jangan menangis. Ini bukan suatu hal yang sedih karena aku hanya kembali ke indukku, kembali ke Logos, itu saja.” Ini filsafat Stoisisme di Barat.

Kedua, filsafat Tiongkok. Filsafat Tiongkok memikirkan Logos namun tanpa ada pertemuan, kecuali ide bersatu dengan langit. Dalam filsafat Tiongkok muncul kata Logos (Dao). Dalam bahasa Tionghoa, zhī dao, berarti: mengerti Logos. Mengerti Logos menjadi taraf tertinggi di dalam hidup manusia yang mencari kebenaran. Di situ dia boleh bersatu dengan kebenaran yang asli, yaitu Dao, Firman. 150 tahun sebelum orang Gerika membicarakan tentang ini, pemikiran ini sudah muncul di Tiongkok. Pertama muncul seorang yang lebih tua dari Konfusius, yaitu Laozi. Laozi adalah filsuf yang sangat dikagumi oleh Konfusius. Konfusius mengaku ia tidak mungkin mengerti firman surgawi. Itu terlalu sulit baginya. Dia berkata, “Aku tidak memiliki jalan, cara, atau teknik untuk mengerti Logos surgawi. Dan pengertian tentang Logos tidak terjangkau dan tak dapat dimengerti. Maka tidak mungkin bagiku untuk mengerti Logos.” Konfusius juga mengatakan, “Itulah sebabnya kami berusaha mengerti apa yang lebih rendah dari Logos surgawi itu, yaitu etika manusia.” Inilah sebab Konfusius dan ajaran Tiongkok menjadi sistem etika yang paling rumit dan paling tinggi di dalam dunia. Mereka tidak tahu bagaimana mengerti firman Tuhan, tetapi mereka tahu bagaimana merenungkan hubungan manusia. Konfusius mengajarkan lima relasi di dalam masyarakat: 1) raja dan pejabatnya; 2) ayah dan anak; 3) suami dan istri; 4) antar saudara; 5) antar sahabat. Untuk menjalankan kelima relasi ini ada dua prinsip utama. Konfusius menyatakan, “Pertama, yang bawah harus setia kepada yang atas. Pejabat setia kepada raja, anak-anak setia kepada ayah, yang menjadi istri setia dengan suamimu, yang menjadi saudara setia dengan persaudaraanmu, yang menjadi kawan setia dengan persahabatanmu. Kedua, yang atas harus penuh lapang dada, pengertian, toleransi, pengampunan, dan penampungan ke bawah. Jadi, raja harus mengerti akan pejabat, harus toleransi kepada pejabat, harus mengasihi dan mengerti kelemahan pejabat. Ayah ibu harus tahu kelemahan anak, harus toleransi, harus sabar, harus menampung, harus mengerti anak. Suami harus mengerti istri, harus memperhatikan, dan harus memelihara baik-baik. Kawan dan saudara sama.” Lima prinsip ini menjadikan Konfusius banyak berbicara tentang relasi, tetapi ia tidak tahu Firman surgawi sehingga dia ingin pergi mencari Laozi.

Menurut sejarah, Konfusius pernah mencari Laozi di negeri yang lain dengan melintasi gunung, rimba, hutan, sungai, dan perjalanan yang jauh sekali. Sesudah bertemu, Laozi bertanya, “Mengapa engkau mencari saya?” “Saya mau mengerti firman, saya ingin mengerti kebenaran alam semesta.”Laozi mengatakan, “Kalau engkau tidak kikis habis aroganmu, kalau engkau tidak membuang niatmu yang kurang sungguh-sungguh, tak mungkin engkau mengerti firman.” Saya sangat terkejut mengerti kalimat ini karena kalimat ini cocok untuk setiap zaman. Konfusius pulang dengan terima kasih. Sesampainya ia di tempat asalnya, ketika ia ditanya murid-muridnya tentang apa yang ia pelajari dari Laozi, ia menjawab bahwa ia mendapat pelajaran tentang sikap hidup. Ia berkata, “Kalau bicara tentang burung saya tahu sarangnya di mana, bagaimana terbangnya. Bicara tentang ikan, saya juga ada pengalaman melihat bagaimana mereka berenang. Bicara tentang naga, aku tidak tahu dia dari mana dan ke mana. Hari ini saya ketemu Laozi, sebenarnya saya bertemu naga.” Jadi Konfusius rendah hati sekali, mau tahu firman. Itu sebab, kalimat-kalimat yang paling penting dari filsafat Konfusius adalah dia mengaku dia tidak bisa mengerti firman, “Saya tidak bisa mengerti Logos. Jika suatu pagi saya mengerti firman itu apa, malam itu mati pun aku rela.” Ini filsafat Tiongkok.
Dia mengatakan satu kalimat, tidak ada satu detik pun di mana kita boleh hidup tanpa bergabung dengan firman. Firman yang menjadi pendukung hidup kita. Dengan mengerti filsafat ini, kita akan menemukan bahwa apa yang dikatakan Alkitab dalam kitab Yohanes begitu indah. Kita melihat bagaimana Yohanes membicarakan tentang Logos. Pada mulanya adalah Logos, Logos itu bersama-sama dengan Allah, dan Logos itu adalah Allah. Amin.

Oleh Pdt. Dr. Stephen tong
Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/the-word-part-8

Menolong Dari Hati


Bob Butler kehilangan kedua kakinya pada tahun 1965 akibat ledakan ranjau di Vietnam. Ia kembali ke negerinya sebagai pahlawan perang. Dua puluh tahun kemudian IA sekali lagi membuktikan kepahlawanan yang murni berasal dari lubuk hatinya.

Butler sedang bekerja di garasi rumahnya di sebuah kota kecil di Arizona pada suatu Hari dalam musim panas ketika IA mendengar jeritan seorang wanita dari salah satu rumah tetangganya. Ia menggelindingkan kursi rodanya ke rumah ini, tetapi semak-semak yang tinggi di rumah itu tidak memungkinkan kursi rodanya mencapai pintu belakang. Maka veteran itu keluar dari kursinya Dan merangkak tanpa peduli debu Dan semak yang harus dilewatinya.

"Aku harus sampai ke sana," ucapnya dalam hati. "Tak peduli bagaimanapun

sulitnya."

Ketika Butler tiba di rumah itu, IA tahu bahwa jeritan itu datang dari arah kolam. Di sana seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahun sedang terbenam di dalamnya. Anak itu lahir tanpa lengan, sehingga ketika IA jatuh ke dalam kolam IA tidak dapat berenang. Sang ibu hanya bisa berdiri mematung sambil menangisi putri kecilnya. Butler langsung menceburkan diri Dan menyelam ke dalam dasar kolam lalu membawanya naik. Wajah anak bernama Stephanie itu sudah membiru, denyut nadinya tidak terasa Dan IA tidak benapas.

Butler segera berusaha melakukan pernafasan buatan untuk menghidupkannya kembali sementara ibunya menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon. Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetulan sedang bertugas di tempat lain. Dengan putus ASA, IA terisak-isak sambil memeluk pundak Butler.

Sementara terus melakukan pernafasan buatan, Butler dengan tenang meyakinkan sang ibu bahwa Stephanie akan selamat. "Jangan cemas," katanya. "Saya menjadi tangannya untuk keluar dari kolam itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang saya akan menjadi paru-parunya. Bila bersama-sama Kita pasti bisa." Beberapa saat kemudian anak kecil itu mulai terbatuk-batuk, sadar kembali Dan mulai menangis. Ketika mereka saling berpelukan Dan bergembira bersama- sama, sang ibu bertanya kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan selamat.

"Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah ladang," ceritanya kepada perempuan itu. "Tidak Ada orang lain di sekitar situ yang bisa menolong kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik dalam bahasa Inggris patah-patah, "Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda.

Bersama-sama Kita pasti bisa." "Ini kesempatan bagi saya untuk membalas yang pernah saya terima," katanya kepada ibu Stephanie.

Kita semua adalah malaikat-malaikat bersayap sebelah. Hanya bila saling membantu Kita semua dapat terbang ( Luciano De Crescenzo. )

Sumber : http://www.scribd.com/doc/35660166/CERITA2-MOTIVASI

Minggu, 28 Agustus 2011

Hidup Atau Binasa

THE WORD (Part-7)

Injil Yohanes, dapat disebut Injil di dalam Injil. Injil ini merupakan kesaksian Yohanes, yang ia tulis lebih dari dua puluh tahun setelah Paulus dan Petrus meninggal. Oleh karena itu, Injil ini memiliki kesiapan yang matang dalam menyaksikan Kristus; “Logos jadi manusia” merupakan proklamasi yang tidak pernah muncul dalam buku, ajaran agama, kebudayaan, atau filsafat manapun.

Di sepanjang sejarah, hanya ada tiga kebudayaan besar yang membahas tentang “logos”, yaitu Tiongkok, India, dan Yunani. Namun, konsep “logos” yang mereka bahas bukanlah wahyu Tuhan, melainkan respons manusia terhadap wahyu umum. Lao Zi mengatakan, “Manusia hidup menurut prinsip dunia; dan dunia menurut prinsip langit; dan langit taat pada pengaturan firman (logos); dan firman bersandar pada dirinya sendiri menuruti aturan ‘Akulah Aku’”. Namun yang dimaksud dengan “Akulah Aku” adalah suatu kebersandaran pada diri secara kekal, cukup pada dirinya sendiri, dan tak bergantung pada pihak lain. Maka “logos” yang ia bicarakan berasal dari pikiran dan imajinasi manusia, tanpa sedikit pun mengaitkan atau menyebut Allah. Demikian juga di dalam kebudayaan India, Atman (logos) berusaha kembali kepada Brahman. Dan logos dalam filsafat Gerika adalah bagaimana logikos ingin kembali kepada logos. Yang dimaksudkan dengan logos di sini adalah pikiran universal (universal mind). Pemikiran Stoiksisme ini memang sudah melampaui pikiran Heraklitos (aliran Heraklitianisme), namun mereka tetap tidak mengetahui apa itu logos yang sebenarnya.

Sampai Yohanes menulis, “Pada mulanya adalah Firman (Logos). Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Dari sini kita baru melihat perbedaan kualitatif antara Firman Tuhan dan filsafat manusia. Firman memberikan jawaban yang paling akurat karena firman merupakan wahyu Allah sendiri. Kecuali kita menyadari betapa indah dan berharganya firman Tuhan yang jauh berbeda secara kualitas dari semua filsafat manusia, kita tidak bisa bersyukur kepada Tuhan. Firman Tuhan yang Allah wahyukan kepada umat pilihan-Nya mencerahkan kita bahwa pada mulanya adalah Firman (Logos).

Di dalam kitab Yohanes 1:2, dinyatakan bahwa Logos tidak setara atau setingkat dengan alam. Di dalam kitab Efesus 4 tertulis: Allah melampaui segala sesuatu, melintasi segala sesuatu, berdiam di dalam segala sesuatu. Ini adalah pernyataan transendensi Allah. Logos adalah Allah. Itu sebabnya kita mengakui bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Kebenaran itu adalah satu Pribadi. Jadi, Allah adalah subjektivitas kebenaran, keadilan, kasih, dan kesucian dalam pribadi. Konsep ini tidak pernah ada dalam pemikiran Lao Zi, Konfusius, Buddha, Hindu, Upanishad, Zoroasterisme, Stoiksisme Gerika, ataupun aliran Heraklitianisme, karena semua filsafat ini berada di tingkat bawah, di tataran dunia. Paulus menggambarkan: di manakah hikmat dunia? Semua itu hanyalah pelajaran kecil di dunia. Itu sebabnya Paulus sangat meninggikan Kristus jauh di atas filsafat yang diproduksi oleh rasio manusia yang Tuhan cipta. Allah bukanlah produk dari rasio manusia yang dicipta. Rasio manusia yang adalah rasio yang dicipta, terbatas, dan tercemar. Maka, rasio sedemikian tidak mungkin bisa menjangkau Allah. Allah adalah Pencipta rasio yang melampaui rasio, maka manusia tidak mungkin mengerti firman seperti yang diajarkan oleh Panentheisme ataupun ajaran Paul Tillich. Saya tidak tahu sampai di mana pengertian Saudara tentang Allah. Apakah Anda memperalat Dia atau mempermainkan Dia, sambil memuji Tuhan sambil melanggar hukum-Nya? Ataukah Saudara betul-betul sudah bertobat dan berkata dengan serius, “Tuhan, Engkau adalah Tuhanku. Kuasailah aku, kuduskan aku. Buat aku berpaling pada-Mu dengan ikhlas dan sungguh sehingga saat bertemu dengan-Mu nanti, aku mendengar kata-Mu: Engkau adalah hamba-Ku yang baik dan setia.”

Yohanes 1:3 terkesan merupakan paparan yang mengulang. Setelah dikatakan, “Segala sesuatu dicipta oleh Dia” mengapa perlu “tanpa Dia tidak ada suatupun ciptaan yang ada”? Di sini Yohanes secara singkat dan jelas memaparkan suatu kebenaran yang sangat mendalam. Yesus tidak memanggil murid dari Yerusalem karena sering kali dunia akademis sedemikian arogan. Yohanes adalah nelayan Galilea, yang dari kecil mempelajari Kitab Suci dan menantikan kedatangan Mesias. Kerohanian mereka belum tentu kalah dengan para lulusan sekolah tinggi di Yerusalem. Allah bukan menolak orang akademis karena Ia juga memanggil Paulus. Tetapi Paulus harus pergi ke padang belantara dulu untuk dibentuk selama tiga setengah tahun. Terkadang Tuhan memindahkan kaki dian dan memakai kita yang mau menaati perintah-Nya. Saya sangat peka akan hal ini dan senantiasa gemetar dan berlutut di hadapan-Nya. Tuhan memanggil Yohanes yang begitu muda agar setelah Petrus dan Paulus mati, Yohanes bisa melanjutkan pekerjaan-Nya. Hal itu nyata di dalam sejarah gereja, yang melanjutkan pelayanan adalah murid-murid Yohanes seperti Polikarpus, Irenaeus, Hippolitus.

Kalimat “tanpa Dia tidak ada suatupun yang dicipta” menyimpan rahasia besar, yang sering tidak disadari oleh banyak penafsir Alkitab. Saat Yohanes tua, ada empat musuh kekristenan, yaitu: (1) Penganiayaan pemerintah Roma, di sini kita melihat begitu banyak martir. Jika orang Kristen abad I rela mati demi imannya pada Kristus, maka orang Kristen abad XXI ingin kaya dengan nama Kristus; (2) Penghinaan dan serangan filsafat. Politik, ekonomi, dan sastra Romawi dipengaruhi oleh filsafat Gerika. Mereka menganggap orang Kristen tidak mempunyai pengetahuan, tidak masuk akal, sampai Agustinus memproklamirkan relasi iman dan pengetahuan: credo ut intelligas (percaya maka mengerti); (3) Fitnah, umpat, dan pemutarbalikan fakta dari musuh orang Kristen; dan (4) Orang non-Kristen yang pura-pura menjadi Kristen, menyusup masuk ke dalam gereja. Inilah bidat-bidat yang berkembang saat itu. Mereka memalsukan Injil sehingga muncul banyak injil palsu, seperti injil Gnostik, injil Filipus, injil Maria Magdalena, injil Thomas, dan lain-lain. Sebelum abad I berakhir, puluhan injil palsu beredar. Hanya empat Injil yang asli, yaitu: Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Yang pertama ditulis adalah Injil Markus, lalu Matius, Lukas, dan terakhir Yohanes. Maka Injil Yohanes sangat penting. Yohanes yang sudah tua harus melawan semua musuh kekristenan. Saya bisa membayangkan betapa berat kesulitan dan tantangan yang dia hadapi. Ia dibuang ke pulau Patmos, di mana Tuhan memberikan wahyu tentang akhir zaman kepadanya. Tanpa Yohanes, Kitab Suci tidak lengkap. Ada banyak orang yang studi theologi tetapi mau tetap kaya. Saya lebih menghargai mereka yang rela meninggalkan perahunya hancur, meninggalkan posisi yang bagus, lalu mengikut Yesus menjadi hamba-Nya.

Ayat ini ditulis oleh Yohanes untuk menghadapi serangan ajaran Gnostisisme. Mereka mengajarkan bahwa “dunia ini bukan dicipta oleh Allah, tetapi dicipta oleh pencipta yang kurang sempurna, karena Allah yang sempurna tidak mungkin mencipta sesuatu yang tidak sempurna”. Banyak orang bisa terkecoh dan setuju dengan pandangan ini. Bagaimana mungkin Allah yang sempurna bisa menciptakan bumi yang sedemikian bobrok dan penuh kekurangan. Dunia ini sedemikian tidak sempurna, ini menunjukkan bahwa penciptanya juga tidak sempurna. Di sini kaum yang mengaku intelektual justru sering menerima bisikan setan sehingga pikirannya menjadi kacau. Kelihatannya begitu logis sehingga perlu ada allah ranking dua. Gnostik mengajarkan adanya allah kecil yang tidak sempurna yang menciptakan dunia ini. Teori ini tidak mungkin karena, kalau tidak mungkin Allah yang sempurna mencipta dunia yang tidak sempurna, maka Allah yang sempurna juga tidak mungkin mencipta allah kecil yang tidak sempurna. Hal ini baru terjawab 1.800 tahun kemudian ketika filsuf Jerman, Leibniz mengatakan, “Jika Allah yang sempurna mencipta allah lain yang juga sempurna maka akan terjadi dua Allah. Berarti Allah yang mencipta akan sama dengan allah yang dicipta. Ini tidak mungkin.” Maka harus ada perbedaan kualitatif antara yang mencipta dan yang dicipta. Kalau penciptanya sempurna maka yang dicipta tidak mungkin sama sempurnanya dengan Allah yang mencipta. Di sini sebenarnya yang dinyatakan di dalam ayat 3 ini. Injil Yohanes sedemikian mendalam dan teliti. Banyak orang menganggap firman Tuhan begitu sederhana seolah-olah tanpa isi dan tanpa berita. Saat ini begitu banyak pendeta yang berkhotbah asal-asalan, menghancurkan iman, meracuni kerohanian, dan menipu orang-orang Kristen. Saya akan berjuang untuk melihat dan mengupas setiap kebenaran Injil dengan seteliti dan seakurat mungkin untuk kita bisa mengetahui kedalamannya.

Yohanes 1:3 sedemikian rumitnya. Ia mengatakan, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." wahyu tentang akhir segalanya dicipta melalui Logos (Firman).” Jadi Allah mencipta melalui Logos. Jadi yang mencipta Allah atau Logos, Allah atau Firman? Kalau yang mencipta adalah Allah maka Firman hanya alat. Kalau yang mencipta adalah Firman maka Allah hanya dalang. Sampai mana peranan Firman? Lalu tertulis, “tanpa Dia tidak ada yang jadi dari semua yang telah dijadikan.” Bagi Yohanes, Logos itu adalah Allah. Melalui ayat ini, Yohanes mau masuk ke dalam doktrin Tritunggal. Segala sesuatu dicipta oleh Allah melalui Firman. Nanti baru dalam Yohanes 14, Yohanes membicarakan Pribadi yang ketiga yang adalah Parakletos. Barulah Tritunggal menjadi lengkap, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Disini kita melihat bahwa Allah Bapa dan Allah Anak, yaitu Firman, mencipta bersama. Bukan Allah mencipta allah kecil yang mencipta segala sesuatu. Di sini kita perlu dengan saksama mempelajari dan meneliti firman Tuhan.

Allah mencipta segala sesuatu melalui Logos, dan Logos adalah Allah. Jadi Logos adalah Pencipta. Oleh karena itu, kita tidak boleh menerima konsep adanya pencipta yang tidak sempurna. Ayat 3 ini langsung menyatakan perang menentang Gnostisisme. Dari ayat ini, kita melihat bahwa secara konsisten Allah Tritunggal bekerja:

1. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus bekerja sama dalam hal mencipta.

2. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus bekerja sama dalam hal menebus.

3. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus bekerja sama dalam hal memberikan wahyu.

Allah Bapa adalah pribadi utama dalam mencipta, melalui Anak dan dengan kuasa Roh Kudus, segala sesuatu dicipta. Allah Bapa merencanakan penebusan; Allah Anak menggenapkan penebusan; dan Allah Roh Kudus mengerjakan penebusan di dalam diri umat pilihan-Nya. Karena Allah Bapa adalah Allah, Allah Anak adalah Allah, dan Allah Roh Kudus adalah Allah, maka Allah Tritunggal bekerja bersama di dalam penciptaan, penebusan, dan memberikan wahyu bagi umat pilihan-Nya. Karena Allah Anak juga merupakan Pencipta maka Dia bukan ciptaan seperti yang diajarkan oleh kaum Gnostik. Kalau Dia dicipta maka Dia hanya salah satu dari antara ciptaan. Tetapi Dia adalah Pencipta bukan yang dicipta. Maka, Yohanes dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada yang dicipta tanpa melalui Dia. Dialah Pencipta dan Dia tidak dicipta karena Dia adalah Allah. Di sini kita melihat bahwa yang terlihat seperti pengulangan adalah suatu keharusan yang tidak boleh tidak ada. Kalimat ini sedemikian penting untuk menunjukkan fakta bahwa Yesus adalah Sang Pencipta, Dia tidak dicipta, Dia adalah Allah yang sempurna.

Allah yang sempurna memang menciptakan dunia yang tidak sempurna. Merupakan keharusan mutlak adanya perbedaan kualitatif antara Pencipta dan ciptaan. Ciptaan tidak pernah bisa identik sekualitas dengan Pencipta. Karena hanya Sang Pencipta, satu-satunya Keberadaan yang ada pada diri-Nya, penuh sempurna pada diri-Nya, kekal, dan tidak fana. Ia adalah Allah yang tidak bergantung pada siapapun, Allah yang selama-lamanya. Di lain pihak, semua keberadaan ciptaan selalu bersifat contingent dan bergantung pada yang lain. Setelah kita mengetahui semuanya ini, barulah kita dapat berkata, “Tuhan, sekarang aku tahu bahwa aku hanyalah ciptaan. Engkaulah Pencipta. Logos yang beserta dengan Allah, Dia adalah Allah. Kini, apa yang harus aku perbuat?”

Di dalam kitab Yohanes 1:4 dikatakan, “Di dalam Dia ada terang.” Terang Yesus itu adalah terang dunia. Kita adalah ciptaan yang tidak sempurna maka kita butuh terang. Terang apakah itu? Terang hidup. Tidak satu pun agama di dunia yang membicarakan tentang “terang hidup” ini. Agama-agama berbicara tentang kebajikan (baik atau jahat), sains bicara tentang pengetahuan (tahu atau tidak tahu), filsafat bicara tentang kebijaksanaan (bijak atau bodoh), hanya Kristus yang berbicara tentang kehidupan (hidup atau binasa). Karena begitu besar Allah mengasihi dunia ini sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal (logos), supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Di sini Yohanes menuliskan tema Kristus, yaitu kasih, firman, hidup, dan terang, yang muncul terus di sepanjang Injil ini. Tema “terang” sangat penting di dalam Injil Yohanes karena dalam ajaran Gnostik, terang dan gelap adalah dua keberadaan yang dualistik. Dunia ini gelap maka terang masuk ke dunia. Iman Kristen tidak pernah jatuh ke dalam pikiran dualisme seperti ini. Pikiran dualisme ini berasal dari Media-Persia, yaitu Zoroasterisme, yang percaya adanya dewa terang yang baik, yaitu Ahura Mazda; dan dewa gelap yang jahat, yaitu Angra Mainyu. Pikiran ini kemudian juga masuk dalam ajaran Manichaeisme. Ajaran bidat ini terus berusaha masuk ke dalam gereja dan menyesatkan ajaran Kristen untuk menghancurkan agama Kristen. Kita tidak percaya ajaran seperti ini. Kita percaya adanya “Yang Asli”, yang utama dan pertama ada hanyalah Allah dan Allah ini adalah Allah yang mutlak baik. Karena ciptaan-Nya tidak taat dan memberontak maka timbullah kegelapan. Pikiran ini beda dari pikiran Gnostisisme yang mengatakan gelap dan terang itu ada sejak awal. Yohanes menentang ajaran seperti ini.

Di sini kita melihat betapa seriusnya Yohanes di dalam menulis Injilnya untuk memerangi ajaran bidat yang berniat menghancurkan kekristenan. Dia seorang diri berani melakukan perlawanan yang sengit atas kejahatan yang mewujudkan diri dalam ajaran yang “pintar”. Gnostisisme menganggap diri lebih tahu dan lebih pintar. Mereka membagi manusia dalam tiga kategori, yaitu: (1) sarkikoi (orang yang hidup menuruti nafsu kedagingan); (2) psykikoi (orang yang hidup menurut jiwa); dan (3) pneumatikoi (orang yang hidup menurut roh). Pikiran ini kemudian diadopsi oleh Watchman Nee dengan memakai 1 Korintus 2-3. Jadi, ini bukan pemikiran orisinil dari Watchman Nee, tetapi sebenarnya pemikiran Gnostik. Kita harus mengikuti dan taat pada pimpinan Roh Kudus, namun bukan Roh Kudus seperti yang diajarkan Karismatik, yang sesat, dan merusak. Saat ini ajaran tentang roh yang palsu sedang merajalela di mana-mana sehingga kita sulit untuk memelihara iman yang sejati. Alkitab mengajarkan bagaimana seluruh hidup kita harus mengikuti dan taat pada Roh Kudus, bukan Roh Kudus yang harus mengikuti roh kita, keinginan kita, dan seterusnya. Orang Gnostik mengategorikan orang Kristen sebagai psykikoi, sedangkan mereka pneumatikoi. Mereka menyebut diri pneumatikoi karena mereka percaya bahwa esensi yang dari atas turun hanya kepada orang-orang Gnostik, sehingga mereka memiliki pengetahuan yang membawa mereka kepada keselamatan. Jadi orang-orang Gnostik selalu merasa mereka lebih tahu, lebih pandai, karena memiliki esensi dari sorga, dan dengan unsur itu mereka mendapat keselamatan. Mereka menolak darah Yesus, mereka tidak mengakui sifat keilahian Kristus, maka dengan Injilnya, Yohanes membawa gereja kembali kepada ajaran Injil yang benar. Hanya di dalam Yesus, melalui darah-Nya, salib-Nya, dan kebangkitan-Nya kita bisa diselamatkan.

Siapkanlah hatimu dengan sungguh untuk mau taat akan pengoreksian yang dari Tuhan. Kalau engkau menemukan apa yang dibahas adalah kebenaran, jalankanlah dengan sungguh. Kalau teguran yang diberikan memang benar, bertobatlah! Tuhan memberkati kita.


Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/the-word-part-7


Tunggulah Sesaat Lagi

David dan Lynn mulai merasa kecil hati. Restoran yang mereka miliki tidak laku, bahkan meskipun mereka telah memperpanjang jam buka mereka dan menawarkan makan malam istimewa, berharap dapat menarik lebih banyak pelanggan. Namun tak seorangpun datang. Setelah beberapa minggu tanpa terlihat perubahan apapun, Lynn berkata, "Mungkin kita lebih baik tutup dan pulang saja".

Saat itu hampir jam sebelas malam.

"Kita buka beberapa jam lagi deh," David menyarankan.

"Mengapa?"

Lynn mengerutkan dahi. "Apa gunanya sih?"

"Karena malam ini mungkin adalah malam kita mendapatkan lebih banyak pelanggan". David nyengir, dan istrinya melihat harapan bersinar di mata coklatnya yg besar. Bahkan meskipun Lynn tidak menyukai gagasan itu, ia sependapat bahwa mereka seharusnya tetap membuka restoran itu.

Sekitar 30 menit kemudian, suatu mukjizat nampaknya terjadi. Sebuah bus larut malam masuk kedalam komunitas kecil itu dan segera merasakan dinginnya udara musim dingin. Mereka cepat-cepat masuk kedalam kafe yg hangat, karena itu merupakan satu-satunya restoran yg masih buka.

Keuntungan yg diperoleh David dan Lynn malam itu membantu mengkompensasi sebagian kerugian mereka sebelumnya, namun itu baru awalnya. Segera tersebar berita bahwa restoran kecil itu tetap buka larut malam. Pelanggan datang dari semua kalangan, orang-orang yang mengemudi mobil melewati kotaitu larut malam, bus-bus yg lewat, karyawan rel kereta api larut malam. Pasangan itu bahkan harus mempekerjakan pelayan tambahan untuk putaran larut malam.

Kadangkala ketika bekerja larut malam dan siap menyerah, bila kita menunggu dengan sabar, kita akan mencapai sasaran kita. Apa yg kita dambakan mungkin tiba dalam beberapa menit. Tenanglah dalam kenyataan bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Mungkin esok merupakan sebuah siang, atau malam yang istimewa bagi kita ( through the night with God )


Sumber : http://rumahrenungan.blogspot.com/2009/11/tungguhlah-beberapa-saat-lagi.html

Sabtu, 27 Agustus 2011

Firman Yang Tak Pernah Berubah

THE WORD (Part-6)

Formasi di dalam Yohanes 1:1 “Pada mulanya adalah Firman”, merupakan bentuk filsafat Gerika dalam upaya mereka mengerti segala sesuatu. Tiga generasi pertama filsuf Gerika kuno yaitu Thales, Anaximander, Anaximenes, masing-masing mengatakan, “Pada mulanya adalah air,” “Pada mulanya adalah udara,” “Pada mulanya adalah sesuatu yang tidak terbatas.” Sampai suatu waktu Yohanes mengatakan, “Pada mulanya adalah Firman.” Di sini kita langsung melihat perbedaan kualitatif yang ada di antara wahyu Tuhan dan spekulasi manusia. Manusia berspekulasi tentang dunia yang ada di sekelilingnya, mempertanyakan ‘Apa yang pertama-tama ada di dunia dan apa yang memulai alam semesta?’ Manusia terus sibuk meneliti apa, apa dan apa, tidak pernah memikirkan kemungkinan ‘siapa’. Maka baik Atheisme maupun Naturalisme selalu mendasari teorinya di atas egosentris (human-antropocentric). Demikianlah cara manusia berspekulasi akan segala realita alam ini, dari makhluk hidup sampai benda mati. Hal sedemikian sama sekali berbeda dengan apa yang dikatakan oleh wahyu Tuhan. Wahyu Tuhan memberitahukan kepada kita bahwa manusia memiliki rasio, manusia bisa berpikir, berspekulasi akan semua hal yang dilihatnya karena adanya keinginan untuk mengerti yang ada di dalam dirinya. Daya mengerti dan keinginan untuk mengerti sudah Tuhan tanamkan di dalam dirinya. Itulah yang disebut peta teladan Allah. Jadi sebenarnya, Allah bukan objek yang dimengerti, Dia adalah Subjek dari kebenaran, Dialah yang berinisiatif untuk menciptakan manusia, satu-satunya makhluk yang ingin tahu, mungkin mencari, dan mungkin sadar akan adanya kebenaran. Itulah sebabnya di dalam berbagai benua di dunia selalu ada orang-orang yang sungguh-sungguh berusaha mau mencari tahu akan kebenaran, mau mengerti dunia dan kehidupan ini.

A. Kelebihan Logos Yohanes

Di dalam filsafat Tiongkok, ada orang-orang seperti Laozi dan Konfusius yang memikirkan tentang logos (dao). Konfusius mengakui dengan jujur ‘fu zi zhi yan xin yu tian dao, bu ke de er wen ye’ (berkenaan dengan alam, berkenaan dengan kebenaran langit, saya sungguh tidak dapat mengerti. Aku tidak mungkin mengerti firman surgawi). Oleh karena itu, dia menurunkan level diskusinya menjadi hanya membahas kebenaran yang bersangkut-paut dengan relasi antar manusia. Dia membagi relasi manusia jadi lima kategori:

  1. jun cheng – antara raja dan para pejabat lainnya
  2. fu zi – antara ayah (orang tua) dan anak
  3. fu qi – antara suami dan isteri
  4. kun zhong – antara saudara dan saudara, saudari dan saudari
  5. peng you --- antara kawan dan kawan
Seluruh masyarakat terbentuk dari lima relasi itu: relasi antara raja dan pejabat, relasi antara orang tua dan anak, relasi antara suami dan isteri, relasi antara saudara dan saudara, relasi antara kawan dan kawan. Bentuk relasi masyarakat ini dipandang menjadi wadah manusia melakukan aktivitas hidupnya. Jadi, menurut Konfusius, manusia yang tidak bisa mengerti firman surga paling sedikit harus mengerti akan relasi dirinya dengan orang lain dan mengerti apa yang harus dia lakukan. Seseorang harus tahu apa yang menjadi kewajibannya terhadap pemerintah, terhadap raja, isteri, suami, saudara, kawan, orang tua, dan anak. Karena pengajaran tentang relasi dalam masyarakat inilah Konfusius menjadi salah seorang yang paling agung di bidang etika. Pengajaran Konfusius di bidang etika tidak bisa dilawan atau dilampaui baik oleh filsafat Aristotles, kebudayaan India, Babilonia, atau kebudayaan lain. Tetapi, ajarannya tetap tidak memadai karena dia tidak memberitahukan kepada kita dari mana asal mula dunia, apa yang terjadi setelah kematian, yang seharusnya melandasi pemikiran etika. Konfusius hanya membahas soal sifat dan relasi antar manusia. Konfusius sempat menemui Laozi, ingin mengerti dao lebih dalam. Tetapi, ketika mereka bertemu, Laozi justru menegur Konfusius, “Sikap dan tampangmu yang sombong, arogan, tidak jujur, tidak rendah hati, mana mungkin kau mengerti dao?” Maka, kebudayaan Tiongkok berhenti di sana, tak ada penemuan, pengajaran tentang dao yang lebih dalam.

Adapun filsafat India mengajarkan ‘Di luar manusia ada Brahman, di dalam diri manusia ada Atman, itulah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang dapat mengerti akan firman yang ada di alam semesta’. Tetapi yang mereka sebut sebagai Brahman itu hanyalah suatu prinsip. Berbeda dengan Alkitab, Yohanes berkata di ayat 1 “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Tiga pernyataan ini langsung membahas lokasi, identitas, dan sifat dari Firman itu. Jadi, yang Yohanes kemukakan di sini bukanlah sesuatu yang ada di alam semesta, juga bukan prinsip yang berada di alam semesta, dia menjelajah sampai ke dunia metafisika, bahkan ke wilayah supra-alam, dan memberikan satu kesimpulan ‘Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman adalah Allah’ - kesimpulan yang tak pernah ada di buku, di ajaran agama, filsafat, atau kebudayaan manapun. Manusia dengan kepandaian rasionya tidak mungkin dapat mengutarakan apa yang Yohanes ungkapkan melalui ketiga kalimat di dalam Yohanes 1:1 itu.

B. Keunikan Logos Yohanes

Menurut Laozi, firman beredar, berotasi dan bergerak di alam semesta, tetapi tidak melekat, firman terikat oleh alam semesta. Firman itu ada pada dirinya sendiri, tidak bergantung pada siapapun, dan ada sampai selama-lamanya, bersifat kekal. Konsep ini mirip sekali dengan ajaran Alkitab, di mana Tuhan Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai satu Pribadi yang ada pada diri-Nya sendiri, ada dari kekal sampai kekal, bahkan konsep inkontingensi, imortalitas, dan kekal berasal dari Allah sendiri. Allah adalah Allah yang berada dalam Diri-Nya sendiri, Mendukung Diri Sendiri, Cukup pada Diri Sendiri, Allah yang ADA selama-lamanya. Allah ada sampai selama-lamanya, bukan prinsip, juga bukan kuasa yang ada di dalam alam, Dia adalah Pribadi yang unik, Pencipta yang pertama-tama ada di dalam konsep kebudayaan orang Yahudi. Dengan ini, Yohanes sudah memberikan suatu kerangka yang sangat jelas. Dia tidak menyamakan Firman dengan alam semesta, melainkan menyamakan Firman dengan Pencipta alam semesta. Suatu fakta dan pemikiran yang sangat berbeda, baik terhadap filsafat Timur maupun filsafat Barat. Firman itu adalah Allah, dan Firman itu tidak terikat oleh dunia ini. Penting bagi kita untuk mengerti bahwa orang Kristen percaya akan sifat Allah yang transenden (jauh melampaui dan di atas alam) bukan menempel di dunia dan juga bukan tersembunyi di dunia karena Dia melampaui dunia. Di dalam Efesus 4, Paulus mengemukakan tiga kalimat yang sangat hebat yang tidak pernah kita temukan di dalam buku lain “Allah melampaui segala sesuatu, beredar di dalam segala sesuatu, berada di dalam segala sesuatu.” Kalimat pertama langsung memperlihatkan konsep Allah orang Kristen yang amat berbeda dengan semua konsep Allah yang ada di dalam kebudayaan atau agama lain. Misalnya, Pantheisme yang memandang Allah adalah alam dan alam adalah Allah. Artinya, Allah ada di dalam alam, Allah identik dengan totalitas alam; Allah diidentikkan dengan alam itu sendiri. Allah Pantheisme ini mengaktualisasi diri-Nya lewat alam semesta yang terus-menerus berkembang tanpa berhenti. Di kemudian hari, pemikiran ini diadopsi dan dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman, Hegel. Hegel, tidak menggunakan istilah Allah melainkan Absolute Spirit (Roh Absolut). Roh yang terus-menerus bergerak dan mengaktualisasikan dirinya di dalam sejarah lewat prinsip silogisme, yaitu adanya tesis akan dilawan oleh anti-tesis dan melahirkan sintesis.

Allah yang sejati bukan diikat dan berada di dalam lingkup alam karena alam adalah alam ciptaan-Nya. Ia berada di luar alam semesta karena Dia yang menciptakan alam semesta ini. Dia juga berkuasa atas alam semesta karena Dia juga merupakan Sang Pemelihara dan Penopang alam semesta. Pengertian yang sedemikian rumit oleh Rasul Yohanes diutarakan hanya di dalam satu ayat: “Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.”

C. Logos dalam Pikiran Yunani

Sebenarnya, istilah logos sudah muncul beberapa ratus tahun sebelum Yohanes menulis Injil Yohanes. Kita pernah membahas dua aliran yang menggunakan istilah logos, yaitu: 1) Heracletian School dan 2) Stoicism. Tapi logos yang dibahas di dalam Philosophy of Becoming (Filsafat Menjadi) yang diwakili ole Heraklitos hanyalah berupa prinsip perubahan yang tak pernah berubah: Dulu dunia berubah, sekarang dunia berubah, dan selama-lamanya dunia akan terus berubah. Prinsip “segala sesuatu terus berubah” yang tak pernah tidak berubah inilah yang disebut “firman” oleh Heraklitos. Jadi “firman” ini bagaikan api yang dari detik ke detik, dari zaman ke zaman tetap sama: menyala, membakar, namun tidak akan pernah ada suatu bentuk api yang permanen, baku, tak berubah. Pengertian yang tidak memiliki kaitan dengan Pribadi Penciptaan dan Penguasa alam semesta ini mengandung bibit pemikiran Atheis. Seluruh konsep Atheis-Materialis yang memberi pengaruh kepada Demokritos, Karl Marx, Komunisme, sampai Atheisme Abad 21 dipengaruhi oleh Philosophy of Becoming.

Di zaman yang sama, sebelum kelahiran Heraklitos di Gerika, di Tiongkok telah ada satu buku yang sedemikian mempengaruhi kaum cendekiawan hingga saat ini: The Book of Changes (I Ching), yang memberikan deskripsi tentang ba gua (segi delapan) yaitu kombinasi 8X8=64. Intinya, perubahan dan perubahan itulah yang mengakibatkan segala sesuatu yang kita lihat mempunyai bentuk yang berbeda. Menurut pemikiran ini, seluruh keragaman di dalam alam semesta ini terjadi dikarenakan prinsip perubahan yang diterangkan dalam buku itu. Buku ini sedemikian dirindukan untuk dipelajari oleh Konfusius. Dia menga­takan “Berikan kepadaku usia lima atau sepuluh tahun lagi maka aku akan mempelajari dengan sungguh-sungguh buku The Book of Changes, agar aku bisa terhindar dan melepaskan diri dari berbuat kesalahan besar di dalam hidupku.” Jadi, sejak lebih dari 2.700 tahun yang lalu di Tiongkok sudah dikenal konsep perubahan yang kita kenal sebagai ba gua (segi delapan). Dan sejak lebih dari 2.500 tahun yang lalu, di Gerika yang diwakili oleh Heraklitos juga sudah mengenal konsep peru­bah­an yang dikenal sebagai Philosophy of Becoming.

180 tahun sesudah Heraklitos mengemukakan pendapatnya tentang perubahan men­dasar dan tentang prinsip tidak berubah, muncul suatu aliran di Gerika yang menamakan diri Stoicisme. Stoicisme dimulai sekitar abad 4 SM dan hilang sekitar abad 4 M. Selama 750 tahun Stoicisme menjadi pemikiran penting di Gerika. Pikiran ini sempat menaklukkan mulai dari istana, seperti Kaisar Markus Aurelius sampai kepada budak-budak yang cerdas seperti Epitectus, yang hidup sezaman dengan Nero dan Seneca, sezaman dengan Tuhan Yesus dan Paulus. Menurut Stoicisme, alam semesta bagaikan tubuh yang berdarah dan berdaging, tetapi tubuh ini tidak berarti apa-apa jika tidak ada jiwanya, yaitu “firman”. Maka, materi di dalam alam semesta ini adalah tubuh kosmis sedangkan firman itu adalah jiwa kosmis. Firman atau logos ini yang bekerja di dunia yang kelihatan, di alam semesta ini, yang menggerakkan bumi, musim, dan berbagai perubahan yang ada. Maka, di sini terdapat alam yang mati dan logos yang hidup. Di manakah posisi manusia? Manusia berada di tengah-tengahnya. Maka, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang mempunyai daya pikir, yang memiliki kemungkinan untuk mencari, mengerti, dan sadar akan keberadaan dan khasiat logos. Itu sebabnya, manusia dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dari semua makhluk lainnya. Di dalam diri manusia mengandung bagian dari logos, yang disebut sebagai logikos. Logikos bagaikan tetesan air yang keluar dari induk atau sumbernya. Karena logikos keluar dari logos maka logikos memiliki sifat yang sama dengan logos. Bukan hanya memiliki sifat yang sama, tetapi juga ingin kembali bersatu dengan logos. Ini merupakan kerinduan untuk menyatu dengan “the mother water” yaitu logos. Itulah sebabnya manusia mau mendengar, memikirkan, mencari, bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk studi ke luar negeri demi menjadi orang yang mengerti dan pandai. Jadi, apa yang seharusnya manusia cari untuk dimengerti tidak lain tidak bukan adalah Logos. Jadi, logikos harus mencari Logos.

Filsafat India (Timur) memiliki kesamaan pemikiran dengan Filsafat Gerika (Barat). Atman yang di dalam hati ingin menyatu dengan Brahman; Logikos ingin menyatu dengan Logos. Tetapi bagi filsafat India, Brahman itu sendiri berada di dalam alam ini. Jika demikian, bukankah itu berarti Brahman ada di level materi? Namun, bukankah Alkitab juga mengatakan hal yang mirip dengan itu “di dalam segala sesuatu engkau melihat bukti bahwa Allah ada.” (Roma 1:12,19)? Bukankah itu berarti kita juga melihat Allah di dalam alam? Di dalam ayat ini dinyatakan bahwa melalui dunia ciptaan yang ada di luar diri dan intuisi yang ada di dalam diri, kita dapat melihat Allah yang tidak tampak. Hal-hal yang mungkin manusia ketahui tentang Allah diletakkan di dalam dua wadah:

  1. wadah eksternal yaitu alam semesta.
  2. wadah internal yaitu intuisi.

Melalui intuisi kita mengetahui bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu. Namun, manusia tetap tidak bisa mengetahui di mana Allah itu berada. Itulah yang dicari oleh filsuf India, filsuf Gerika. Namun Yohaneslah yang menyingkapkan rahasia itu: Allah ada di tempat-Nya bukan di dunia materi. Di sini kita melihat pen­ting­nya Yohanes 1:1 yang menyatakan bahwa Allah tidak menempel atau terikat dengan dunia alam ini. Di dalam Ibrani 11:3 dinyatakan bahwa “dunia ini dicipta oleh Firman Allah.” dan melalui Injil Yohanes maupun surat 1 Yohanes, kita akan menemukan bahwa Logos yang dikatakan di dalam Yohanes 1:1 adalah Logos yang merupakan sumber hidup, yang bersama-sama dengan Allah dan bukan bersama dengan alam. Logos itu juga adalah Allah, bukan alam itu Allah seperti yang diajarkan oleh Pantheisme. Betapa mengherankan ayat ini! Hanya dengan satu ayat ini saja, Alkitab mampu menghancurkan seluruh sistem kebudayaan dan seluruh aliran pemikiran filsafat. Ini membuktikan bahwa kuasa Firman Tuhan itu sedemikian besar.

Saya tidak tahu seberapa banyak orang Kristen yang dapat mengerti sejauh ini. Saya juga tidak tahu seberapa banyak pendeta yang memberi penjelasan serinci ini kepada orang Kristen. Satu hal yang pasti, jika orang Kristen tidak memiliki keinginan untuk mengerti kebenaran, dia hanya mengerti Alkitab dari kulitnya saja. Bagaikan orang yang mengupas kacang, lalu menyerakkan semua kulit kacang yang tipis itu, tetapi orang itu tidak memakan kacangnya. Maka, biarlah kita mau mengerti lebih lanjut akan keunikan Alkitab - firman Tuhan - yang mempunyai perbedaan kualitatif dibandingkan semua agama dan filsafat lain. Soli Deo Gloria. Amin.


Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/the-word-part-6




Mentalitas Pengikut (Kepemimpinan)

Seperti biasa saat melakukan kewajiban rutin di kamar mandi saya selalu membaca koran, saya berlangganan 2 koran hanya untuk Sabtu dan Minggu. Mata saya tertuju dengan judul tersebut di atas, sangat menarik buat saya dan realitas yang terjadi di kantor saya, maka coba saya masukan di blog ini sebagai arsip dan bahan jika suatu saat nanti saya jadi pemimpin,.. dapat membacanya kembali... :).

"It may be that we are puppets-puppets controlled by the strings of society. But at least we are puppets with perception, with awareness. And perhaps our awareness is the first step to our liberation."
(Stainley Milgram,1974). Stanley Milgram (August 15, 1933 – December 20, 1984) adalah seorang psikolog sosial di Universitas Yale, Harvard University dan City University of New York yang melakukan penelitian psikologi klasik mengenai kepatuhan, menyimpulkan bahwa kepatuhan buta bisa sangat berbahaya.

Baik buruknya sebuah institusi, perusahaan, bahkan negara, tergantung dari pemimpinnya. Pada saat semua menyoroti kelemahan para pemimpin, pernah kah kita mencermati peran para pengikut? bukankah para para pengikut justru yang berperan untuk mendukung dan menjalankan tindakan yang distrategikan oleh pemimpin? Tentu tidak mungkin seorang pemimpin merealisasikan visi, misi, dan sasaran bila pengikutnya tidak menjalankan instruksi sesuai pemikiran, prinsip, dan irama yang diinginkan?.

Dalam pidato disertasi salah seorang pemimpin perusahaan (Handry Satriago) mengemukakan betapa pentingnya memahami para pengikut. "Follower studies are still limited and it has important role in the process of leadership formation and can improve performance of the leaders."

Kadang kita tidak menyadari bahwa tanpa pengikut, pemimpin tidak ada. Seorang pemimpin baru bisa eksis bila ada pengikut meskipun hanya satu orang.
Perilaku dan sikap pengikut akan menentukan kualitas kepemimpinannya. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan baru efektif bila para pengikutnya patuh penuh pada atasan, tidak suka protes, tidak sering bersuara sumbang? Bukankah duet Soekarno-Hatta, juga konon sering berseberangan prinsip, tidak selalu diwarnai kepatuhan Bung Hatta sebagai bawahan?

Pengikut Aktif

Sering kita mendengar cerita mengenai organisasi di mana manajemen menengahnya frustrasi menghadapi manajemen senior yang sulit dipengaruhi untuk pembaharuan organisasi. Anak-anak kemarin sore yang begitu haus inovasi dan ingin mencoba tantangan baru, kerap tidak bisa bergerak karena ide-idenya banyak "dimentahkan" oleh pimpinan organisasi. Para senior yang selalu berpidato mengenai perubahan dan menganggap dirinya "agen perubahan" sering kembali ke praktik-praktik lama yang memang membuat mereka tetap nyaman dan "tidak usah repot-repot". Bahkan, bila di antara kelompok senior ada yang sedikit melawan arus dan membawa misi dari yang muda-muda untuk melakukan perubahan, tidak jarang kemudian si senior tadi dianggap orang yang memang sudah waktunya untuk pergi.

Beginilah alur proses tidak terjadinya inovasi. Para senior berperan sebagai “roadblock", bukan "road" bagi inovasi. Bagaimana tidak, individu yang melawan ditumpas, sementara orang yang menurut akan dipuji dan dianggap potensial. Kita harus sadar bahwa budaya keseragaman, kebiasaan berkelompok ibarat burung yang melakukan perilaku yang sama bisa menyebabkan organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan, tidak inovatif. Apa jadinya kalau semua pengikut hanya bersikap "yes-man" saja? Padahal, dari segi jumlah saja, pengikut pasti sudah memiliki kekuatan pikir yang jauh lebih besar daripada satu orang pemimpin saja. Bukankah akan terjadi kesenjangan komitmen yang memberatkan pemimpin?

Kita tentu harus berhati-hati agar tidak membentuk pengikut atau bawahan yang cuma menunggu perintah dan tidak menggunakan daya pikirnya sendiri untuk memecahkan masalah. Organisasi seperti ini, sangat rentan serangan dan persaingan, karena tidak adanya kekuatan di tubuh organisasinya.

Saat ini, masyarakat kita tampaknya terbiasa menengok “ke atas” terlalu banyak, menumpukan harapan pada pemimpin secara berlebihan. Kita terlalu sibuk mencintai kepemimpinan, sampai tidak mempedulikan kualitas diri kita sebagai pengikut. Bukankah dengan cara ini kita mengakui bahwa kita adalah pengikut yang lemah? Kita kerap lupa melatih diri kita sendiri dan bawahan kita untuk menjadi pengikut yang kuat, yang tidak menurut saja, yang berdiri tegak dan memprotes bila ada praktik yang janggal atau merugikan. Kebiasaan untuk berpikir keras ini seharusnya kita lakukan sejak berada di posisi yang paling bawah sekalipun. Bukankan sebuah "learning organization" hanya dimungkinkan bila seluruh organisasi belajar, mempertanyakan, bersikap kritis dan berpikir aktif?

Followership is leadership


Pemimpin yang jagoan, tentunya sangat mengerti bahwa ia hanya akan survive melalui anak buahnya. Bukan "power over" tetapi lebih "power through" anak buahnya. Dalam keadaan yang semakin kompleks dan membingungkan, pemimpin yang mampu menciptakan suasana terbuka, penuh pendapat dan komunikasi yang jujurlah yang akan mampu menyusun kekuatan, "active engagement" dan enerji dalam kapasitas penuh. Kepemimpinan yang matang mengembangkan bawahan, anggota kelompok ataupun rakyat yang percaya diri, merespek diri dan orang lain, serta jujur secara rasional maupun emosional.

Hanya dengan cara ini, para pengikut bisa memberi kontribusi nyata, memiliki kepemilikan terhadap masalah dan situasi yang terjadi, serta berinisiatif untuk memecahkan masalah. Bukan menjadi pengikut seperti robot.

Sumber : Kompas Klasika, Sabtu 20 Agustus 2011 halaman 33. judul " Mentalitas Pengikut"