Selasa, 16 November 2010

Siapa Yang Pendeta?


Ada kisah di suatu kota yang penduduknya penduduknya 99% pemeluk agama Kristen. Setiap minggu kota terasa begitu sepi, karena mereka beribadah ke gereja. Jadi kalau mau mencari pak hakim, pak RT, pak walikota dan sebagainya, datang saja ke gereja pasti ketemu.

Hingga suatu hari, di sebelah gereja ada proyek bangunan yang mulai dikerjakan ...

Lalu suatu hari pak pendeta bertanya ke tukang bangunan tersebut, "Akan dibuat gedung apa di sini?"

Kata pekerja di sana, "Akan dibangun sebuah diskotik."

Pendeta itu tersenyum dan berkata dalam hatinya, "Apa masih waras ini orang membangun diskotik di tengah kota yang warganya 99% beragama Kristen. Pasti tidak akan laku."

3 bulan kemudian diresmikanlah diskotik yang sangat mewah di kota itu tepat di sebelah gereja. Orang-orang mulai ramai mengunjungi diskotik itu pada hari sabtu malam.

Pak pendeta masih tidak khawatir. Dia pikir, "Mungkin mereka hanya coba-coba saja ingin tahu apa itu disko."

Besoknya hari minggu, 50% jemaat tidak hadir karena mereka begadang semalaman, dan minum-minum. Pendeta masih berpikir positif minggu depan mereka pasti balik lagi beribadah.

Minggu berikutnya perkiraan pendeta meleset. Ternyata 75% jemaat tidak hadir - dan minggu berikutnya 90% jemaat tidak hadir.

Mulailah pendeta khawatir dan berdoa, "Ya Tuhan kasihanilah umatMu yang tersesat. Turunkanlah api dari langit seperti Engkau membakar Sodom dan Gomorah. Musnahkan diskotik di sebelah ini!" Teriak sang pendeta dengan keras. Begitulah yang dia lakukan selama seminggu berdoa dengan keras.

Pada hari sabtu malam terjadilah konsleting listrik, yang mengakibatkan kebakaran yang hebat di diskotik sebelah gereja. Diskotik itu pun habis terbakar.

Maka hari minggu keesokan harinya, gereja ramai kembali seperti biasa dan pendeta mengucap syukur, "Terima kasih Tuhan Engkau telah mendengar doa hambaMu."

Pada hari Senin datanglah surat pemanggilan yang berisi tuntutan pada pak pendeta atas kebakaran yang terjadi. Tertulis di sana, pendeta dijadikan tersangka utama atas kebakaran diskotik yang terjadi hari Sabtu lalu.

Membaca surat tersebut, lalu pendeta menelpon hakim yang membuat surat penangkapan yang kebetulan dia kenal, "Pak hakim apa tidak salah Anda membuat surat seperti ini? Apakah bapak tidak percaya saya tidak melakukan tindakan seperti itu? Bukankah yang membaptis dan memberkati pernikahan Anda adalah saya?"

"Ya saya percaya kepada Anda pak pendeta. Tapi sebagai hakim saya berkewajiban untuk menanggapi segala laporan yang masuk dan disidangkan, untuk dicari solusinya dan menjatuhkan vonis kepada siapa yang terbukti bersalah," jawab hakim.

"OK deh kalo begitu!" kata pendeta.

Di dalam persidangan keesokan harinya ...

"Pak hakim saya adalah pendeta dan tidak mungkin saya melakukan pembakaran seperti yang dituduhkan!" kata pendeta membela diri

"Memang dia yang melakukan pembakaran!" jawab pemilik diskotik dengan sengit.

"Saya punya bukti dan saksi mata yang melihat dia berdoa selama seminggu dengan keras agar Tuhan membakar diskotik saya! Maka saya percaya Tuhan mengirimkan api dari langit dan membakar habis diskotik saya! Itu karena suruhan pendeta ini," lanjut pemilik diskotik.

Pendeta membantah dengan keras, "Mana mungkin ada peristiwa ajaib seperti itu, Tuhan mengirim api dari langit. Ini kan jamannya perjanjian baru!"

Sang hakim menatap pendeta dan pemilik diskotik dengan bingung, dan bertanya dalam hati, "Ini yang pendeta yang mana? Pemilik diskotik percaya Tuhan mengirim api dari langit dan pendeta malah membantahnya ... "

* * * *

Pesan Moral: Apakah kita kadang menjual keimanan kita, saat dihadapkan dengan kejadian yang serupa ini?

IMAN KADANG TIMBUL DI TEMPAT DAN DI SAAT YANG TIDAK DISANGKA SANGKA - TETAPI KADANG GUGUR DI TEMPAT DI MANA SEHARUSNYA IA BERTAHAN.

Rabu, 03 November 2010

Senyum Ibu Terakhir


Karena merasa sangat kehilangan, saya hampir tidak merasakan kerasnya bangku gereja yang saya duduki. Saya berada di pemakaman dari sahabat terbaik saya – ibu saya. Dia akhirnya mengalami kekalahan dari peperangan yang lama yaitu penyakit kanker yang dideritanya. Penderitaannya sangatlah besar, saya sering menemukannya kesulitan bernafas beberapa kali.



Ibu selalu memberikan dukungan, ia memberikan tepuk tangan saat aku berlomba di sekolah, menyediakan tissue sambil mendengarkan saat aku patah hati, membuat aku tenang saat kematian ayah, membesarkan hati saya saat di kampus, dan selalu berdoa untuk saya sepanjang hidupku.



Ketika sakit ibu didiagnosa kanker, kakak perempuan saya baru memiliki bayi dan saudara laki-laki saya baru saja melangsungkan pernikahan dengan kekasih yang merupakan teman mainnya sejak kecil.



Maka saya lah yang sebagai anak tengah berumur 27 tahun yang tidak memiliki ikatan, untuk menjaganya. Saya melakukannya dengan perasaan bangga.



"Apalagi Tuhan ?"



Saya bertanya saat duduk di dalam gereja. Hidup saya seperti didalam jurang yang kosong. Saudara laki-laki saya duduk dengan memandang ke salib sambil memeluk istrinya. Saudara perempuan saya duduk sambil memangku anaknya bersama suaminya.



Semua sangat sedih secara mendalam, tidak seorangpun yang memperdulikan saya duduk sendiri. Tempat saya bersama ibu, memberikan dia makan, membantu jalan, mengantar ke dokter, melihat dia berobat dan membaca alkitab bersama. Sekarang dia bersama Tuhan.

Pekerjaan saya sudah selesai dan saya sendirian.



Saya mendengar suara pintu dibuka dan kemudian tertutup dibelakang gereja. Langkah yang cepat dan tergesa-gesa melewati lantai gereja yang berkarpet. Seorang anak muda melihat sekeliling ruangan dan kemudian duduk didepan saya. Dia melipat kedua tangan dan menempatkan diatas pangkuannya. Matanya penuh dengan air mata.



Kemudian dia mulai menangis tersedu-sedu.



"Saya terlambat," dia menjelaskan, tanpa penjelasan yang penting.



Setelah beberapa pujian, dia bertanya, "Mengapa mereka memanggil Mary sebagai `Margaret'?".

"Oh", karena memang namanya Margaret, bukan Mary. Tidak ada yang memanggilnya Mary," saya berbisik. Saya ingin tahu mengapa orang ini tidak duduk di sisi lain dari gereja.



Dia menghentikan waktu duka cita saya dengan air mata dan rasa gelisah. Siapa sih orang asing ini ?



"Bukan, ini tidak benar, " dia bersikeras, beberapa pelayat yang lain melihat ke arah kami.

"Namanya adalah Mary, Mary Peters."

"Itu bukan dia, saya menjawab…"

"Apakah ini gereja Luther ?"

"Bukan, gereja Luther ada di seberang jalan."

"Oh."

"Saya rasa anda ada di pemakaman yang salah, Tuan."



Membayangkan orang yang salah menghadiri pemakaman itu membuat saya ketawa geli, dan membuat permen karet saya keluar dari mulut. Segera saya menutup mulut dengan kedua tangan saya, supaya orang yang melihat menyangka sebagai ungkapan kesedihan saya. Kursi yang saya duduki berbunyi berderit. Pandangan yang tajam dari pelayat lain membuat situasi menjadi agak ramai. Saya mengintip orang itu sepertinya kebingungan dan ketawa kecil. Dia memutuskan untuk mengikuti acara tersebut sampai akhir, karena acara pemakaman hampir selesai.



Saya membayangkan ibu saat ini sedang ketawa.



Akhirnya "Amen", kami keluar dan menuju ke tempat parkir.



"Saya percaya kita akan bicara lagi," dia ketawa. Dia berkata bahwa namanya Rick dan karena dia terlambat datang ke pemakaman tantenya, dia mengajak saya keluar untuk minum kopi.

Malam itu menjadi sebuah perjalanan yang panjang untuk saya dan pria itu, yang datang ke pemakaman yang salah, tetapi datang ke tempat yang tepat.



Setahun setelah pertemuan itu, kita melangsungkan pernikahan di sebuah kota, dimana dia menjadi asisten pendeta di gereja itu. Saat itu kami datang bersama di gereja yang sama dan pada waktu yang tepat.



Pada dukacitaku, Tuhan memberikan penghiburan. Pada saat kesepian, Tuhan memberikan kasih. Bulan Juni kemarin kami merayakan ulang tahun pernikahan ke dua puluh dua. Saat orang menanyakan kepada kami bagaimana kami bertemu, Rick mengatakan kepada mereka, "Ibunya dan Tanteku Mary, mengenalkan kami berdua, dan itu sungguh terjadi di surga."