Minggu, 30 Juni 2013

Dari Lawan Menjadi Kawan

Kisah nyata ini terjadi pada malam Natal, saat Perang Dunia I pada 1914, tepatnya di front perang bagian barat Eropa. Pada saat itu, tentara Perancis, Inggris, dan Jerman saling baku tembak. Pada malam Natal yang dingin dan gelap itu, hampir setiap prajurit merasa bosan dan muak dengan berperang, apalagi setelah berbulan-bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak, maupun orang tuanya. 

Pada malam Natal, biasanya mereka berkumpul bersama seluruh anggota keluarga masing-masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat. 

Berbeda dengan malam Natal saat itu, di mana cuaca di luar sangat dingin dan salju pun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, malah berada di antara musuh yang setiap saat bersedia menembak mati siapa saja yang bergerak. 

Tiada hadiah yang menunggu selain peluru dari senapan musuh, bahkan persediaan makanan pun berkurang jauh sehingga hari itu pun hampir seharian mereka belum makan. Pakaian basah kuyup karena turunnya salju. Biasanya, mereka berada di lingkungan dan suasana yang hangat dan bersih, tetapi kali ini mereka berada di dalam lubang parit, seperti layaknya seekor tikus, jangankan bisa mandi dan berpakaian bersih, tempat di mana mereka berada saat itu basah dan becek penuh dengan lumpur. Mereka menggigil kedinginan. Rasanya tiada keinginan yang lebih besar saat itu selain rasa damai untuk bisa berkumpul dengan orang-orang yang mereka kasihi. 

Seorang tentara yang terkena tembakan merintih kesakitan, sedangkan tentara lainnya menggigil kedinginan, bahkan pemimpin mereka — yang biasanya keras dan tegas — entah mengapa pada malam itu tampak sangat sedih, terlihat air mata turun berlinang di pipinya, rupanya ia teringat akan istri dan bayinya yang baru berusia enam bulan. Kapankah perang akan berakhir? Kapankah mereka bisa pulang kembali ke rumah masing-masing? Kapankah mereka bisa kembali memeluk orang-orang yang mereka kasihi? Dan, sebuah pertanyaan besar pula, apakah mereka bisa pulang dengan selamat dan berkumpul kembali bersama istri dan anak-anaknya? Entahlah …. 

Tak sepatah kata pun terdengar. Suasana malam yang gelap dan dingin terasa hening dan sepi sekali, masing-masing teringat dan memikirkan keluarganya masing-masing. Selama berjam-jam mereka duduk membisu. Tiba-tiba dari arah depan di front Jerman, cahaya kecil muncul dan bergoyang, cahaya tersebut tampak semakin nyata. Rupanya, seorang prajurit Jerman telah membuat pohon Natal kecil yang diangkat ke atas dari parit tempat persembunyian mereka sehingga tampak oleh seluruh prajurit di front tersebut. 

Pada saat yang bersamaan, terdengar alunan lembut suara lagu “Stille Nacht, heilige Nacht” (Malam Kudus). Pada awalnya lagu tersebut hanya sayup-sayup terdengar, namun semakin lama, lagu yang dinyanyikan tersebut semakin jelas dan keras terdengar. Hal itu membuat para tentara yang mendengarnya merinding dan merasa pilu karena teringat akan anggota keluarganya yang berada jauh dari medan perang. 

Ternyata seorang prajurit Jerman yang bernama Sprink yang menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat indah, jernih, dan merdu. Sebelum dikirim ke medan perang, prajurit Sprink adalah seorang penyanyi tenor opera yang terkenal. Rupanya, keheningan dan kegelapan suasana pada malam Natal itu telah mendorongnya untuk melepaskan emosi dengan menyanyikan lagu itu. Walaupun ia menyadari bahwa dengan menyanyikan lagu tersebut, prajurit musuh bisa mengetahui tempat persembunyian mereka. 

Ia menyanyikan lagu Malam Kudus tersebut bukan di tempat persembunyiannya, melainkan berdiri tegak, bahkan keluar dari persembunyiannya sehingga dapat terlihat jelas oleh semua musuhnya. Melalui lagu tersebut, ia ingin menyampaikan kabar gembira sambil mengingatkan kembali makna Natal, yaitu berbagi rasa damai dan kasih. Untuk hal ini, ia bersedia mengorbankan jiwanya, ia bersedia mati ditembak oleh musuhnya. Namun apa yang terjadi, apakah ia ditembak mati? 

Tidak! Entah mengapa, seakan-akan mukjizat terjadi, sebab pada saat yang bersamaan, semua prajurit yang berada di situ, satu demi satu keluar dari tempat persembunyiannya masing-masing, dan mereka mulai menyanyikannya bersama. Bahkan, seorang tentara Inggris, musuh besar Jerman, turut mengiringi mereka menyanyi sambil meniup dua bagpipes (alat musik Skotlandia) yang dibawanya khusus ke medan perang. Dengan perasaan terharu, mereka turut menyanyikan lagu Malam Kudus. Hujan air mata tak dapat dibendung — air mata mereka yang berada jauh dari orang tua, anak, calon istri, kakak, adik, dan sahabat mereka. 

Tadinya lawan sekarang menjadi kawan. Sambil saling berpelukan, mereka menyanyikan lagu Malam Kudus dalam bahasa masing-masing. Perasaan damai dan sukacita benar-benar mereka rasakan. Setelah itu, mereka meneruskan menyanyi bersama lagu “Adeste Fideles” (Hai Mari Berhimpun). Mereka berhimpun bersama, tidak ada lagi perbedaan pangkat, derajat, usia, maupun bangsa, bahkan perasaan bermusuhan pun lenyap. 

Mereka berhimpun bersama musuh mereka, yang seharusnya saling tembak, saling bunuh, namun dalam suasana Natal itu mereka bisa berkumpul dan menyembah, memperingati Sang Bayi, Sang Juru Selamat. Rupanya, inilah mukjizat Natal yang benar-benar membawa suasana damai di malam yang suci ini. 

Sumber : http://www.nusahati.com/2012/12/dari-lawan-menjadi-kawan/

Sepuluh Hukum – Hukum Kesembilan (Bagian 3)

Berbicara adalah salah satu hak terbesar yang Tuhan berikan kepada manusia. Tidak ada satu pun binatang yang dapat berbicara, karena mereka tidak dapat mengerti apa itu makna. Dengan sendirinya, mereka tidak mungkin mengutarakannya melalui suatu bahasa. Makna yang sejati didasarkan atas firman, yaitu Logos. Logos sejati itu adalah Tuhan sendiri. Manusia menjadi satu-satunya makhluk yang bisa berbahasa dengan makna adalah karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dicipta menurut peta teladan Allah, sehingga manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat mengerti firman. 

Dari penemuan arkeologi, semua penemuan fosil binatang yang disebut sebagai nenek moyang manusia, tidak ditemukan adanya rongga untuk pita suara. Hanya dari hal ini saja sudah terbukti bahwa teori evolusi adalah teori yang kosong. Teori evolusi hanyalah sebuat hipotesis atau imajinasi manusia yang dipakai sebagai dasar untuk menolak fakta bahwa manusia dicipta oleh Allah. Hal itu terjadi karena mereka tidak percaya kepada Allah yang menciptakan manusia, dan mereka harus menjelaskan dari mana hadirnya manusia. Untuk itu mereka mencoba mencari kemiripan antara manusia dengan binatang, agar dapat menjelaskan keberadaan manusia. Dari sini direkayasa sebuah teori bahwa manusia berasal dari makhluk-makhluk yang lebih rendah, yang terus berevolusi hingga menjadi makhluk yang berderajat tinggi, padahal upaya memakai persamaan manusia dengan binatang, dengan mengaitkan hubungan darah dan hereditas adalah suatu keberanian yang terlalu besar dan tanpa dasar yang sah. Kita perlu selalu mengingat bahwa orang yang pandai adalah orang yang bisa menemukan perbedaan-perbedaan yang kecil sekalipun, sementara orang bodoh akan melihat semua hal sama adanya. Misalnya, orang yang hidungnya mirip dengan aku, pasti adalah keponakanku. Kesimpulan seperti ini adalah kesimpulan yang terlalu berani. Orang-orang yang mengerti perbedaan kualitatif (qualitative difference) akan terus memacu diri untuk mencari tahu rahasia besar yang terkandung di dalamnya. Maka dengan demikian ia menjadi orang yang pandai. Seseorang dari pedalaman yang dibawa ke kota akan melihat semua mobil sama. Itu terjadi karena dia melihat berdasarkan persamaan kasar saja. Tetapi orang yang betul-betul memahami mobil, tentu dapat membedakan mobil yang satu dengan mobil yang lain. Memang untuk itu tidak mudah, karena dibutuhkan pengetahuan yang rinci dan mendalam. 

Ketika para evolusionis menyatakan kesamaan manusia dengan binatang hanya karena ada kemiripan bentuk, itu adalah suatu tindakan yang sangat gegabah dan berani. Fosil yang dinyatakan sebagai fosil manusia purba, ternyata tidak memiliki rongga pita suara. Hal ini menunjukkan bahwa itu bukanlah fosil manusia. Ketika binatang marah, dia akan mengeluarkan suara yang keras sebagai pernyataan kemarahannya. Manusia tidak perlu menggunakan kekuatan suara, cukup dengan suara yang lembut dan perlahan, tetapi dengan penggunaan bahasa yang keras dan tegas. Manusia bisa menyatakan cinta, rindu, sedih, atau marah, tanpa perlu menggunakan kekuatan atau kelemahan suara, tetapi dengan kemampuan ungkapan bahasa yang dimilikinya. Perkataan manusia adalah perkataan pembahasaan yang di dalamnya mengandung makna, dan di balik makna tersebut ada Firman, dan Firman itu adalah Tuhan. Jadi, hanya Kitab Suci yang memberikan kepada kita pengertian akan relasi antara satu dengan yang lain. 

 Allah adalah Logos, dan Logos itu beserta dengan Dia. Dia menciptakan manusia sebagai logikos yang memiliki peta teladan-Nya, sehingga menjadi satu-satunya makhluk yang mampu mengutarakan kehendaknya. Itulah inti pentingnya bahasa. Maka orang yang memakai mulutnya untuk mengutarakan kepentingan dirinya sendiri adalah orang yang rendah. Apalagi kalau dia memakai mulutnya untuk melawan kebenaran, dia adalah orang yang hina dan keji. Jika seseorang memakai mulutnya untuk mengatakan kalimat yang membangun, dia melakukan hal yang mulia. Itu sebabnya, kita harus memakai mulut kita sebagai anggota tubuh yang hormat, mulia, dan menjadi berkat bagi banyak orang. Untuk itulah Allah memberikan hukum kesembilan. 

Hukum kesembilan bukan sekadar masalah berbohong atau tidak. Pengertian yang membatasi arti hukum kesembilan sedemikian adalah pengertian dan tafsiran yang terlalu sederhana. Hukum ini juga memaparkan bagaimana pentingnya kita tidak mengucapkan kata-kata yang berakibat mencelakakan orang lain. Hak asasi manusia menegaskan bahwa kita harus saling menghormati. Ini jauh lebih penting dari sekadar berbohong atau tidak. Hukum ini secara esensial berbicara tentang relasi timbal balik antara satu pribadi dengan pribadi lainnya. Setiap orang harus belajar dan berusaha menghormati sesamanya. Setiap orang berbeda-beda, tetapi semua dicipta menurut peta teladan Allah, maka seharusnya ia tahu bagaimana menghormati dan menghargai sesamanya. Sayang, manusia tidak seperti itu. Dosa telah menodai manusia sedemikian rupa, sehingga hanya memikirkan untung rugi sendiri dan tidak memikirkan dampaknya terhadap keuntungan atau kerugian orang lain. Dia tidak mau tahu apakah tindakannya akan merugikan orang lain atau tidak. 

Ketika berusia belasan tahun, saya pernah mendengar Dr. Andrew Gih dalam sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani berkata, “Jika aku mempunyai seratus potong baju dan aku kenakan semua, tentu aku akan mati kepanasan. Jika aku mempunyai seratus buah tempat tidur dan setiap hari berpindah tempat tidur, maka aku tidak akan ingat lagi tempat tidur mana yang pernah kupakai. Jika aku mempunyai banyak makanan dan aku habiskan semuanya, tentu aku akan mati kekenyangan. Jadi apakah sesuatu yang berlebih pantas kita banggakan?” Kelebihan yang tidak wajar, yang sangat berlebihan, adalah tanda dari dosamu. Apalagi jika kelebihan itu engkau dapatkan dari cara yang tidak benar, maka jiwamu akan terus menegur engkau. Kita harus belajar memikirkan orang lain, bukan hanya menghitung keuntungan atau kerugian diri sendiri. Di sini kita belajar untuk saling menghormati, saling mengerti, yang akan menjadi dasar keharmonisan masyarakat. 

Mengapa Ada Orang yang Berniat dan Tega Mencelakakan Orang Lain? 

Ada orang-orang yang menganggap dirinya yang paling penting, sementara orang lain tidak penting. Dirinya yang harus mendapat untung, sementara orang lain boleh dirugikan. Ada orang berpikir dirinya pantas hidup mewah, sementara orang lain seharusnya hidup sederhana. Jika kita dapat mengerti sebab-sebab mengapa orang mencelakakan orang lain, maka kita harus bersyukur untuk karunia Tuhan memberikan hadiah besar untuk kita, yaitu otak. 

Sayang, karakteristik masyarakat sekarang ini adalah masyarakat yang mudah dan suka membuat orang lain susah dan menderita dengan memfitnah, mengumpat, menuduh orang lain dengan cara-cara yang tidak jujur. Di sini pentingnya hukum kesembilan yang menegaskan bahwa kita tidak boleh mengatakan sesuatu yang dapat mencelakakan orang lain. 

Kita telah membahas sebelumnya, bahwa karena kesalahan seorang pemuda menafsirkan pemberhentian kereta, telah menyebabkan seorang nenek meninggal kedinginan di tengah salju. Akibat kejadian itu, pemuda ini terus mempersalahkan dirinya sehingga ia tidak memiliki rasa damai lagi. Jika kita memelihara diri sedemikian rupa, kita tidak pernah mencelakakan orang lain, tentu kita lebih dapat tidur nyenyak setiap malam. Tetapi ada orang-orang yang setelah mencelakakan orang lain tetap bisa tidur nyenyak. Itu orang yang dosanya ganda. Ada juga orang-orang yang ketakutan pembunuhan yang dilakukan akan ketahuan, maka ia memotong-motong korbannya, lalu memasak dagingnya. Ini adalah orang yang hatinya sudah bejat, bahkan lebih jahat daripada binatang. Kita tidak boleh memarahi orang dengan mempersamakan dia dengan binatang, karena dengan itu kita telah menghina binatang di seluruh dunia. Tidak ada binatang yang lebih jahat dari manusia. Binatang hanya membunuh karena lapar atau diganggu. Jika dia sudah kenyang, dia tidak akan membunuh. Sementara manusia lebih jahat puluhan kali dari binatang. Saat dia membenci bangsa lain, dia bisa melakukan pembasmian etnis, membunuh semua orang dari suku tertentu (genocide). Apa yang terjadi di Afrika beberapa tahun lalu, tidak kalah jahat dengan apa yang dilakukan Hitler di masa Perang Dunia II, di mana ia membunuh lebih dari enam setengah juta orang Yahudi. Maka kita tidak boleh mencelakakan orang lain, karena niat mencelakakan orang pasti berasal dari Iblis yang tidak memiliki cinta kasih dan hanya dikuasai oleh kebencian. 

Lebih celaka lagi, hal membunuh orang dengan sadar bisa saja dilakukan oleh para pemimpin agama. Maka orang yang kelihatan begitu saleh, malah mungkin jauh dari Tuhan. Sebaliknya, orang yang dekat dengan kebenaran mungkin bisa dibenci orang. Oleh karena itu, setiap kali kita mengalami kesulitan, kita harus bertanya, “Tuhan apa yang Engkau kehendaki? Dan apa yang harus aku pelajari dari kesulitan ini?” Jangan sibuk bertanya, “Mengapa aku hidup begitu sulit?” Kita harus belajar dan mengerti bahwa di balik semua kesulitan ada rencana Tuhan yang lebih besar. Anugerah Allah itu gratis, tetapi bukan berarti anugerah Allah itu murah adanya. Siapa yang dipilih oleh Tuhan saja yang berhak menikmati anugerah khusus-Nya. Itulah sebabnya, cara berpikir orang Reformed harus dimulai dengan melihat takhta Tuhan sebagai titik pusat alam semesta dan sebagai sumber anugerah. Orang yang menolak Kristus adalah orang yang telah menolak hidup yang kekal. Dengan demikian kita menyadari betapa besar nilai orang yang boleh menerima Kristus. Orang yang menolak anugerah adalah orang yang menolak hak untuk menerima anugerah. Dengan demikian kita tidak perlu dirisaukan oleh banyak hal. Kita hanya hidup mencari dan menjalankan apa yang menjadi kehendak Allah. 

Ada orang yang mengerti anugerah dan ada orang yang tidak mengerti anugerah. Itu sebab Tuhan Yesus berkata, “Apakah dengan Aku mengatakan kebenaran, engkau mau membunuh Aku?” Namun, kita menyadari bahwa bagaimanapun dunia membutuhkan kebenaran. Apakah karena manusia tidak suka dan menolak kebenaran, maka kebenaran menjadi tidak bernilai? Tidak. Kebenaran adalah kebenaran dan sedemikian bernilai tanpa tergantung orang menyukai atau tidak menyukai, karena kebenaran adalah kebutuhan absolut umat manusia. Itulah yang kita terima dari prinsip Theologi Reformed, di mana firman Allah yang berdaulat harus dikabarkan ke seluruh dunia sampai Kristus datang kembali. 

 Seseorang yang menghargai orang lain haruslah memakai mulutnya untuk mengatakan hal yang benar. Inilah prinsip kebenaran. Jangan ada sedikit pun motivasi ingin merugikan orang lain. Sekalipun dia tidak ada hubungan dekat dengan kita, dia bukan keluarga kita, bukan orang sebangsa atau sesuku dengan kita, kita harus tetap mau menjadi berkat baginya. Perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati menerobos kebudayaan orang Yahudi. Orang Samaria adalah bangsa yang dimusuhi dan dilecehkan oleh bangsa Yahudi, tetapi justru dia menjadi berkat bagi orang Yahudi yang baru saja dirampok, tanpa memedulikan siapa dia, bahaya apa yang akan mengancam dirinya. Dia rela menaikkan orang Yahudi itu ke atas keledainya, mengolesi minyak pada lukanya, serta membayar biaya penginapan dan pengobatannya. Inilah sikap yang benar bagi relasi antarmanusia. 

Kata-Kata Mencelakakan yang Tidak Sengaja 

Apa jadinya, jika kata-kata kita yang tidak bermotivasi mencelakakan orang lain, akhirnya berakibat pada kecelakaan orang lain? Tuhan akan mengerti hal itu. Dari segi kedaulatan Tuhan, peristiwa itu adalah kesempatan bagi orang itu untuk menerima latihan, yang di dalam rencana Allah, dan tidak ada sangkut pautnya dengan diri Anda. Tetapi bagimu, peristiwa itu akan mengoreksi dirimu, sehingga membuat engkau lebih berhati-hati di dalam berbicara. 

Orang yang sengaja mempunyai motivasi mencelakakan orang, telah melanggar hukum kesembilan. Alkitab mengatakan tentang orang-orang yang suka berbohong, memfitnah, atau berbelit-belit sebagai orang yang ditusuk lidahnya dengan panah, dan dia harus dihukum. Tuhan sangat membenci kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Wang Ming Dao dalam bukunya “Pepatah bagi Etika Orang Kristen” menuliskan, “Jangan mengatakan kata-kata yang tidak membangun, jangan menyebarkan apa yang kita dengar tetapi tidak ada buktinya, karena akibatnya akan seperti yang digambarkan dalam peribahasa Tiongkok kuno, ‘Meski menggunakan tenaga empat ekor kuda sekalipun, tetap tidak sangggup kita tarik kembali.’” Kalimat yang sudah keluar dari mulut kita bisa menjadi malapetaka besar bagi orang lain. 

Alkitab mencatat ada seorang bernama Herodes, yang ketika merayakan ulang tahunnya, anak tirinya, Salome menari. Richard Strauss menggubah satu opera yang berjudul “Salome”. Opera ini mengisahkan bagaimana Salome menari sambil menanggalkan pakaiannya satu per satu, sampai hampir telanjang. Ini adalah cerita Salome versi komponis non-Kristen yang memperalat Alkitab. Salome adalah anak perempuan dari istri Herodes yang dirampas dari kakaknya. Herodes sebagai raja bisa menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melakukan apa saja yang ia inginkan. Ia hanya memikirkan kesenangan, nafsu, dan keinginan dirinya, tidak peduli telah merugikan kakaknya. Herodes senang sekali melihat tarian Salome dan mengatakan bahwa apa saja yang dimintanya akan diberikan, sekalipun sampai separuh kerajaannya. Salome meminta nasihat kepada ibunya yang sangat membenci Yohanes Pembaptis. Maka ibunya berkata kepada Salome untuk meminta kepala Yohanes Pembaptis. Di sini kita melihat bahwa nyawa hamba Tuhan yang turut campur urusan orang lain bisa saja terancam. Itu sebabnya, banyak hamba Tuhan memilih untuk memberi berkat saja dan tidak mau tahu urusan yang lain. Kita juga perlu waspada kepada perempuan yang dilanda kebencian, dia selalu menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam. Istri Herodes meminta kepala Yohanes Pembaptis diletakkan di atas pinggan. Sungguh sangat jahat. Bisa dibayangkan betapa dilematiknya keadaan yang Herodes alami. Dia adalah raja, dan dia gentar dengan teguran Yohanes Pembaptis. Dia juga takut karena Yohanes Pembaptis memiliki banyak pengikut, dan apa yang dikatakannya benar. Tetapi kini ia tidak bisa lagi mencabut perkataannya. 

Herodes marah karena dia ditegur oleh Yohanes, dan menjebloskannya ke dalam penjara. Akibatnya banyak orang tidak bisa mendengar lagi khotbah Yohanes Pembaptis. Dia telah merugikan banyak orang demi kepentingannya. Sekarang dengan permintaan Salome, ia membunuh Yohanes Pembaptis. Perkataannya telah menyebabkan orang lain celaka. Di lain pihak, dengan semua ini, Tuhan memakai setiap peristiwa untuk mendemonstrasikan bagaimana Yohanes Pembaptis telah menjadi hamba Tuhan yang setia sampai mati. Ia telah menjadi teladan selama beribu-ribu tahun terus berbicara di hati setiap hamba Tuhan. Tuhan tidak pernah terganggu oleh kejahatan manusia. Dia justru bisa memakai setiap peristiwa, termasuk peristiwa ini untuk membuktikan hamba-Nya begitu setia. Sebaliknya Herodes hidupnya menjadi sangat tidak tenang. Yohanes Pembaptis adalah hamba Tuhan yang tidak pernah berkompromi, tidak seperti banyak nabi palsu yang hanya membicarakan hal yang menyenangkan telinga untuk mendapat keuntungan. Richard Strauss membuat opera yang sangat berbeda. Digambarkan Salome jatuh cinta pada Yohanes, tetapi ketika Salome merayu, Yohanes bergeming. Salome sampai nekat datang ke penjara supaya bisa mencium dan bercinta, tetapi ditolak oleh Yohanes. Maka akhirnya Salome berpikir bahwa Yohanes harus mati. Saya menonton satu kali opera itu dan tidak akan mau menonton lagi, apalagi mementaskannya.

Kalimat yang telah keluar dari mulut Herodes tidak dapat ia tarik kembali, dan akhirnya mencelakakan Yohanes Pembaptis. Itulah sebabnya, berhati-hatilah saat berbicara. Berhati-hatilah ketika berjanji pada seseorang, karena bisa saja kata-kata kita mengikat dan membelenggu kita seumur hidup, dan bisa membawa malapetaka bagi orang lain. Kiranya jangan ada kalimat yang keluar dari mulut kita yang melukai orang lain, tetapi sebaliknya, bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan memberkati kita semua. Amin. 

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong 

Sumber : http://www.nusahati.com/2013/01/sepuluh-hukum-hukum-kesembilan-bagian-3/

Sabtu, 29 Juni 2013

Kepala Sekolah Yang Bijak


Pada suatu hari, di sebuah sekolah menengah. Saat jam istirahat, ada perkelahian antara dua murid laki-laki di kelas. Kerumunan murid pun berakhir saat seorang guru datang menengahi dan melerai mereka. Tidak lama kemudian, saat pelajaran berikutnya akan dimulai, Kepala Sekolah masuk ke kelas tersebut dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya. 

“Andika, kamu nanti datang kantor Bapak, jam 3 sore.”Seisi kelas terdiam sedangkan murid yang dimaksud seketika berwajah pucat pasi. 

“Baik Pak,” ia menjawab lemah. Habis aku! Pasti akan dimarahi dan dikenai sanksi gara-gara perkelahian tadi, begitu pikir Andika. 

Tepat pukul 3 sore, Andika telah ada di depan kantor dan mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Jantungnya berdegup keras dan tubuhnya serasa lunglai. 

“Masuk!” terdengar suara dari dalam. Andika pun masuk. Dengan takut-takut, ia berdiri dekat meja kepala sekolah, sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

“Duduklah Andika. Kamu tentu sudah bisa menebak, kenapa Bapak memanggilmu kan? Tentu berkaitan dengan perkelahianmu tadi,” kata kepala sekolah yang diikuti anggukan kepala Andika. 

Lanjutnya, “Andika telah melanggar peraturan tentang tidak boleh berkelahi di dalam lingkungan sekolah, apalagi di kelas. Tetapiada beberapa hal yang ingin bapak sampaikan berkaitan dengan kasusmu ini. Pertama, bapak senang kamu datang tepat waktu, itu menunjukkan kamu adalah anak yang disiplin.” Beliau membuka laci mejanya, mengambil sebuah permen, dan meletakkannya di meja.

 “Kedua, bapak menghargai kedatanganmu saat ini. Artinya kamu menghargai bapak sebagai guru dan kepala sekolahmu. Kamu adalah anak yang berjiwa besar dan siap bertanggung jawab. Betul begitu Andika?’ Kembali Andika mengiyakan dalam diam. Beliau mengambil permen dan meletakkannya lagi di meja. 

“Bapak sudah berbicara dengan guru yang melerai perkelahian dan mendengar dari beberapa temanmu. Kamu berkelahi dengan Rudi karena membela teman perempuan yang dilecehkan olehnya. Benar begitu? Bapak salut. Ini pertanda kamu adalah seorang gentleman, laki-laki sejati. Tapi ingat: berkelahi bukanlah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Andika harus lebih bijak dan jelas, bukan dengan berkelahi seperti tadi.” Kepala sekolah meletakkan sebuah permen lagi di atas meja. 

 “Nah yang terakhir, karakter positif yang telah Andika tunjukkan hari ini harus dipertahankan dan dikembangkan di masa depan. Bapak yakin kamu akan berubah dan akan maju di kemudian hari. Belajar lebih baik Andika, oke?” Sambil tersenyum, beliau menambahkan satu buah permen lagi di meja dan menyodorkan permen-permen tersebut ke arah Andika. “Ambillah hadiah dan kenang-kenangan dari Bapak ini!” 

 Andika yang awalnya ketakutan akan mendapat hukuman, dan tidak menyangka justru mendapat “penghargaan” dari kepala sekolahnya, mengangguk mantap. “Terima kasih Pak. Saya sangat terkejut. Bapak tidak menghukum saya bahkan memuji dan menghargai saya. Saya berjanji, pasti berubah dan akan lebih rajin belajar untuk masa depan saya sendiri.”

 Catatan : Betapa pentingnya nilai budi pekerti ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Kita tahu, mereka kadang melakukan kesalahan tetapi kalau cara kita sekadar keras dengan hanya menghukum tanpa diberi pengertian yang baik, tentu akan melahirkan ketidaksehatan perkembangan mental. Antara lain, bisa menimbulkan sakit hati, dendam, kebencian,depresi, putus asa, dan sifat-sifar negatif lainnya. Akan tetapi bila kita mampu memberikan pengertian sekaligus menanamkan budi pekerti yang baik, sekalipun ada hukuman, tetap nilainya akan berbeda. Harga diri dan kepercayaan diri anak-anak tetap terjaga dan sangat positif dalam pertumbuhan di kehidupan mereka selanjutnya. 

Sumber : http://www.nusahati.com/2012/12/kepala-sekolah-yang-bijak/

Sepuluh Hukum – Hukum Kesembilan (Bagian 2)

Di dalam Sepuluh Hukum, hanya hukum kesembilan yang berkaitan dengan kata-kata yang kita ucapkan. Bagi orang Tionghoa, kata-kata lebih ampuh dari pukulan; tetapi tulisan lebih ampuh dari perkataan. Orang yang dipukul secara fisik hanya merasakan sakit sesaat pada fisiknya, tetapi sakitnya kata-kata yang menusuk bisa melukai hati dan terus dirasakan bertahun-tahun lamanya. Namun, tulisan yang memfitnah orang akan dibaca sampai ribuan tahun, sehingga kekuatan merugikannya bisa jauh lebih hebat dari kata-kata.

Di sini kita melihat tingkatan yang berbeda-beda dalam mencelakakan orang. Dalam pergaulan, sering kali kita mengucapkan kata-kata yang salah tanpa kita sadari. Setelah ada yang terluka, kita berusaha menjelaskan bahwa itu bukan maksud kita. Sayangnya tidak sejak awal kita mengemukakan maksud kita dengan jelas. Setelah ada orang yang terlanjur dirugikan – walau tanpa sengaja – barulah kita berusaha memberikan penjelasan yang sudah terlambat waktunya. Pepatah orang Tionghoa mengatakan: “Kata-kata yang sudah kita ucapkan, walaupun ingin ditarik kembali dengan tenaga empat ekor kuda pun tidak akan berhasil.” Jadi, betapa berat risiko yang harus kita tanggung karena satu kalimat yang salah, yang telah menjatuhkan atau merugikan orang lain. Itu sebabnya, Kitab Suci begitu banyak kali mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam tutur kata kita, dengan mengekang lidah kita dengan baik. Orang yang tidak mampu mengontrol dirinya tidak mungkin menjadi penguasa dunia. Kemampuanmu mengontrol lidahmu adalah kunci dari kesuksesanmu.

Orang yang tidak mampu memilah pernyataan mana yang boleh atau tidak boleh ia ucapkan akan selalu mengundang malapetaka. Peribahasa Tionghoa mengatakan: “Apa yang engkau makan bisa menyebabkan engkau sakit; dan perkataan salah yang kau katakan akan menyebabkan engkau menderita.” Memang saat itu orang Tionghoa belum mengenal apa itu bakteri, virus, dan lain-lain, tetapi mereka sudah memperkirakan bahwa semua penyakit datang dari mulut. Salah makan menyebabkan kita sakit, itu benar. Lebih dari itu, muncul satu pernyataan di Tiongkok: “Malapetaka justru keluar dari mulut.” Pernyataan ini muncul di zaman kaisar Yongzheng, yang memerintah selama 13 tahun, anak dari kaisar besar di Tiongkok, yaitu Kangxi (memerintah selama 62 tahun), dan ayah dari kaisar Qianlong (yang memerintah selama 60 tahun). Di masa ketiga raja ini, kerajaan dan kebudayaan Tiongkok berkembang luar biasa.

Di masa Qianlong, teritori kerajaannya mencakup Heilongjiang, Tibet, dan Rusia. Ia memiliki pasukan tentara yang kuat luar biasa. Pada saat itu ada seorang misionaris Italia yang melayani di istana Tiongkok, yaitu Giuseppe Castiglione (Lang Shining). Ia melayani di zaman pemerintahan ketiga raja tersebut. Teknik melukisnya luar biasa. Ia merombak banyak sistem, konsep, filsafat estetika, dan teknik melukis yang ada di sejarah Tiongkok. Di antara lima puluh lima kaisar dalam sejarah Tiongkok, kaisar Yongzheng yang paling mengerti seni. Tetapi dia adalah kaisar yang begitu keras. Meskipun ada banyak misionaris menginjili dia, bukan saja ia tidak mau menjadi Kristen, tetapi dia bahkan menentang kekristenan. Giuseppe Castiglione memberikan pengaruh besar di Tiongkok melalui seni dan astronomi, yang membuat orang Tiongkok menghargai kekristenan. Yongzheng sangat tegas pada koruptor. Ia memenggal kepala orang yang terbukti melakukan korupsi. Hal itu membuat para koruptor melakukan konspirasi untuk membunuh dia. Padahal pada masa itu, jangankan berkonspirasi membunuh kaisar, orang yang kata-kata atau tulisannya dianggap menyalahi kaisar saja akan ditangkap dan dihukum mati.

Di masa itulah muncul perkataan: “Satu kata saja sanggup mengenyahkan sembilan keluarga”, yaitu keluarganya sendiri, empat keluarga pihak suami dan empat keluarga pihak istri. Ini yang menyebabkan pernyataan: “Malapetaka mulai dari mulut.” Kita telah membahas pernyataan Xenophanes, bahwa alam memberi kita dua telinga, dua mata, tetapi satu mulut, supaya kita banyak melihat dan banyak mendengar, tetapi sedikit berbicara. Pengalaman hidup mengajarkan kita bahwa orang yang banyak berbicara adalah orang bodoh, tetapi orang bijak akan sedikit berbicara. Orang yang banyak berbicara tidak memberi kesempatan orang lain berbicara, sehingga dia kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Ia hanya khawatir orang lain tidak mengetahui bahwa dia pandai, maka dia mengobral semua kepandaiannya untuk memonopoli pembicaraan. Akibatnya, orang seperti ini hanya berbicara hal yang sama, yang itu saja, dan akhirnya pembicaraannya bagai sampah. Orang yang tidak banyak berbicara, memberi kesempatan orang lain mengeluarkan pengetahuannya, sehingga ia bisa terus belajar dan pengetahuannya terus bertambah. Ketika saya berbicara, meskipun menurut engkau saya banyak berbicara, sebenarnya saya berbicara jauh lebih sedikit dari apa yang saya tahu. Dan apa yang saya tahu, hanyalah sedikit dari apa yang saya baca dan pikirkan. Maka, saya membaca dan memikirkan banyak hal, mencoba mengetahuinya dengan tepat, lalu sebagian dari itu saya bagikan kepada orang di berbagai kesempatan. Tuhan mengajarkan bahwa kita harus mendengar dengan cepat, tetapi lambat berbicara. Cepatlah mendengar, sehingga engkau dapat menerima sebanyak mungkin pengetahuan dalam waktu yang singkat; tetapi jangan banyak bicara, karena pemikiran yang kurang matang justru mengungkapkan kebodohanmu dan membuat orang menghina engkau. Tetapi Xenophanes tidak bisa melihat apa hal yang penting dari penciptaan Tuhan, yang mencipta manusia seperti itu. Manusia adalah penerima yang terbaik. Dia bisa mendengar hal yang benar dan salah, melihat hal yang baik dan jahat, tetapi ketika berbicara kita menyaksikan apa yang benar dan baik. Tuhan memberikan otak kepada manusia dengan kapasitas yang luar biasa. Otak kita yang kecil ini mampu menampung begitu banyak data. Tuhan tidak pernah mengekang kita dalam menerima data apa pun, termasuk yang jahat, yang tidak benar, yang merugikan. Tetapi ketika engkau bereaksi, engkau harus hanya menyatakan apa yang benar. Abdikan mulutmu hanya untuk kebenaran. Yesus berkata, “Jika ya, katakan ya; jika tidak, katakan tidak; selebihnya berasal dari si jahat.”

Tidak ada filsuf yang mengajarkan pengajaran sekeras Tuhan Yesus. Jika engkau berkata, jangan kompromi sedikit pun. Kalau tidak benar, engkau harus berani menyatakan itu tidak benar. Biasanya manusia punya banyak pertimbangan. Jika kita mengatakan dengan jujur, kita bisa mengalami kerugian, bisa ditampar atau dipecat dari kedudukan kita. Yesus berkata, “Katakan sejujurnya, ya untuk ya, dan tidak untuk tidak.” Inilah kemurnian hati. Suatu kesederhanaan (simplicity) dari sebuah mentalitas hati kita untuk mau menjadi saksi yang benar. Mulut kita hanya untuk mengatakan kebenaran; sehingga kita boleh mendengar atau melihat apa saja dari dua sisi, tetapi hanya berkata tunggal, mengatakan apa yang benar saja. Mulut kita hanya satu, bukan dua seperti mata atau telinga. Ketika semua yang bermakna yang kita katakan itu berkait dengan kehendak Allah yang kekal, maka semua suara, nada, makna, dan kata merupakan hal yang sangat dekat dengan firman kebenaran Allah yang mutlak. Orang yang betul-betul menyampaikan firman, memakai logikanya untuk membuat teori, lalu mengutarakannya dengan bahasa, di mana bahasa itu dilontarkan lewat suara dan kata-kata yang tepat, maka dia adalah saksi bagi kebenaran. Di sini kita kembali kepada dua teori pemikiran Sokrates, yaitu: 1) Engkau harus mengerti dengan tepat setiap makna kata-kata yang engkau gunakan. Banyak orang menggunakan kalimat yang kata-katanya dia sendiri tidak mengerti dengan tepat, sehingga menimbulkan salah pengertian dari pendengarnya. Kalau kita tidak bisa mendefinisikan satu kata dengan tepat dan baik, jangan pergunakan kata itu. Inilah prinsip dari Sokrates. Celakanya, ada orang yang tidak mengerti, tetapi berani mengatakan dengan keras, bahkan menganggap semua orang tidak tahu, hanya dia sendiri yang tahu. 2) Untuk menyampaikan apa yang kau mau sampaikan, gunakan kata-kata yang tepat. Memang kita tidak mungkin bisa mengutarakan kebenaran dengan sempurna, karena adanya batasan bahasa. Selain itu, kebenaran jauh lebih besar dan lebih sulit dari apa yang mampu diutarakan dengan bahasa. Bahasa adalah sarana untuk kita mengutarakan makna atau perasaan kita. Ketika kita berbicara, kita harus berbicara dari motivasi yang bersih dan murni, dengan tujuan yang jelas, sehingga mulut kita hanya mengabdi kepada kebenaran. Saya harus hanya mengatakan hal-hal yang benar dan yang sungguh menjadi berkat bagi sesama. Dengan demikian kita membatasi dan mengekang mulut kita untuk tidak berkata-kata secara sembrono. Jika engkau bertemu dengan orang yang bicaranya selalu salah, tidak jujur, tidak peduli merugikan orang lain, tentu engkau enggan berkawan dengannya. Manusia lebih suka berbicara dengan orang yang memberi semangat, membangun, menambah pengetahuanmu. Konfusius berkata, “Bergaullah dengan orang yang memiliki tiga kriteria seperti ini: 1) tulus, lurus, dan tidak berliku-liku; 2) lapang dada, penuh pengertian bahkan mau mengampuni kita; dan 3) punya banyak pengetahuan dan kebenaran yang melimpah. Tetapi engkau harus ingat bahwa untuk itu, engkau harus menjadi orang seperti itu terlebih dahulu, sehingga engkau dapat menjadi kawan orang-orang seperti itu. Yesus memberikan kepada kita suatu perintah yang berkenaan dengan mulut kita, yaitu, “Hanya bersaksi bagi Kebenaran.” Semua yang lain itu dari si jahat. Maka, di dalam gereja harus ada ciri yang khas, yaitu mulut-mulut yang ada mengabdi kepada kebenaran. Kalau ribuan orang yang mendengar khotbah setiap minggu berjanji dan bertekad dalam hati untuk hanya memakai mulutnya bersaksi bagi kebenaran, mau taat, dan menjadi berkat bagi masyarakat, maka dunia akan menjadi indah. Hukum kesembilan mengatakan jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesama kita atau jangan mencela orang dengan kata-kata yang tidak benar. Jika kita memiliki motivasi mau merugikan atau mencelakakan orang lain, kita sudah diperalat oleh Iblis, di mana kita telah mempersembahkan lidah kita sebagai instrumen kejahatan. Kata-kata yang keluar dari mulut kita ada kaitannya dengan Tuhan, sesama, setan, rencana Allah, atau rencana Iblis. Di dalam cerita Ayub, kita melihat bahwa kesepuluh anak Ayub juga adalah anak istrinya. Tetapi ada reaksi yang sangat berbeda, ketika Tuhan mengambil anak-anak mereka. Istri Ayub tidak tahan. Ia marah sekali dan mengecam Ayub. Tetapi Ayub menjawab, “Yang memberi adalah Tuhan; yang mengambil kembali juga Tuhan. Terpujilah Tuhan.” Alkitab mencatat bahwa mulut Ayub menjadi saksi kebenaran. Ini menunjukkan bahwa dia berada di dalam rencana Allah yang kekal dan ia dikuasai oleh Roh Kudus. Bagaimana dengan istrinya yang berkata, “Tinggalkan saja Tuhanmu. Untuk apa engkau melayani Dia, tetapi semua anak-anakmu diambil-Nya?” Kita melihat bahwa setiap kali orang melawan dan marah kepada Tuhan, dia menganggap logikanya begitu kuat. Tetapi kata Ayub, “Mengapa engkau berkata-kata seperti perempuan bodoh?” Ketika Ayub menikah dengannya, ia tidak tahu bahwa istrinya begitu bodoh. Ia hanya tahu istrinya begitu cantik. Dia tidak menduga bahwa setelah anak-anak mereka mati, mulutnya menjadi alat setan. Ketika Tuhan memberi anak, tidak bersyukur; ketika diambil kembali, marah-marah. Ayub sangat menekankan kedaulatan Allah. Inilah yang menjadi kunci Theologi Reformed. Ia sangat mengerti sola gratia (segala anugerah hanya dari Allah saja). Pengertian istri Ayub sangat berorientasi pada diri dan berkat. Ini tidak sejalan dengan pengertian Alkitab yang benar yang dimengerti Theologi Reformed. Ada orang yang ketika bertemu dengan saya berkata bahwa dia masih jengkel kepada Tuhan, mengapa Tuhan mengambil anaknya. Tuhan memanggil anak itu sehingga anak itu sekarang berada di tempat yang terbaik, tempat yang jauh lebih mulia dan bahagia. Orang itu tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Dia hanya melihat semua hal dari pikirannya sendiri yang egois. Banyak pasangan suami istri yang ketika dalam keadaan senang melupakan anugerah Tuhan. Sampai suatu saat ada kesusahan atau kemalangan terjadi, mereka tiba-tiba marah kepada Tuhan. Saya berpikir, apakah jika Tuhan memvonis hidup saya sisa dua bulan, saya harus marah-marah kepada Tuhan? Tidak. Saya justru harus menggunakan enam puluh hari itu untuk bekerja melayani Tuhan dengan sebaik-baiknya, membagikan traktat di pinggir jalan dan memberitakan Injil kepada sebanyak mungkin orang. Jadi, hidup kita harus diabdikan untuk kebenaran, bukan untuk diri kita sendiri. Tidak ada hak bagi kita untuk menuntut agar Tuhan memenuhi keinginan kita. Bahkan saya tidak akan meminta sesuatu sebagai syarat untuk saya mau mengakui Dia sebagai Tuhan. Tuhan Mahakuasa berarti Dia berhak melakukan apa saja bagi diriku, seturut apa yang Dia inginkan. Kita hanya perlu taat kepada-Nya. Kita tidak boleh menuntut Tuhan menjadi pelayan kita. Bukan kehendakku yang jadi, kehendak-Mu yang jadi. Inilah teladan yang Yesus berikan ketika Dia berinkarnasi di tengah dunia ini. Dia melayani dengan berkorban tanpa pamrih. Dia rela diatur oleh Bapa-Nya, bahkan sampai diatur bagaimana Dia akan mati dengan begitu sengsara. Dia tidak membela Diri-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut sebagai orang yang agung. Orang yang menuntut Tuhan melayani dia, di mana dia hanya mau mengakui Tuhan jika Tuhan mau menuruti keinginannya, adalah orang yang sangat kurang ajar. Mulut kita harus menjadi bejana yang memuliakan Tuhan, khususnya ketika Tuhan sedang mengizinkan ujian, penderitaan, penganiayaan menimpa kita. Pada saat-saat seperti itu, Tuhan menanti dan ingin menyaksikan apa yang menjadi reaksi yang keluar dari mulut kita. Terkadang kita memang tidak berniat merugikan orang, tetapi ketika kita tidak betul-betul membiarkan kehendak Tuhan yang kekal, pimpinan Roh Kudus, dan kebijaksanaan firman, serta motivasi penyangkalan diri dan kerinduan memuliakan Tuhan mengontrol mulut kita, mungkin kita bisa membawa malapetaka bagi orang lain. Suatu kali, seorang nenek yang berusia hampir 80 tahun duduk di kereta api yang membawanya ke kota paling timur di Rusia, melewati daerah paling dingin di bumi yaitu Siberia. Nenek ini bicara kepada pemuda di depannya, bahwa ia mau turun di desa tertentu, minta pemuda itu membangunkannya. Pemuda itu baik hati, jadi dia dengan hati-hati menghitung stasiun yang dilewati. Maka ketika sudah hampir tiba, pemuda ini membangunkan nenek tadi dan mengatakan bahwa di pemberhentian berikut nenek itu harus turun. Nenek itu patuh. Ketika kereta berhenti, maka turunlah nenek itu sesuai anjuran pemuda tadi, dan kereta lanjut berjalan. Ketika kemudian kereta itu berhenti, pemuda ini terkejut, karena di stasiun terbaca bahwa inilah stasiun yang dituju oleh nenek itu. Berarti nenek itu telah turun di tempat yang salah. Keadaan yang sangat dingin membuat nenek tadi mati. Memang pemuda ini tidak bermaksud mencelakakan nenek itu, tetapi kesalahan informasi yang ia berikan telah membuat nenek itu mati. Ketika saya membaca cerita ini di usia dua puluhan, saya bertanya dalam hati saya: seumur hidup, berapa kali karena ketidak-hati-hatian, kita mengatakan sesuatu kata yang salah, yang mencelakakan orang lain? Memang bukan dengan motivasi yang jahat.

Namun, sekalipun dengan niat baik, tetapi kalau pengertian kita salah dan tidak tepat, kita bisa mencelakakan orang lain. Pemuda itu tidak bermaksud mencelakakan nenek itu, tetapi faktanya nenek itu mati. Itu terjadi karena dia melakukan kesalahan yang tidak ia sadari. Itu sebabnya, saya selalu mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa sebagai orang Kristen kita harus menuntut kebenaran yang sungguh-sungguh akurat, sehingga setiap kata yang keluar dari mulut kita dikatakan dengan jujur, bermotivasi baik, dan dipimpin oleh Roh Kudus. Jika dengan motivasi yang jujur saja orang masih bisa berbuat salah, betapa besarnya dosa orang yang sengaja berkata-kata dengan motivasi yang jahat. Janganlah mengucapkan saksi dusta, jangan mengatakan kata-kata yang salah, yang mendatangkan malapetaka bagi orang lain. Kiranya kita bisa terus mendalami hukum ini dan menjadi orang yang bijak dan bajik, yang tahu mengontrol tutur kata kita. Amin. 
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong 


Sumber : http://www.nusahati.com/2012/12/sepuluh-hukum-hukum-kesembilan-bagian-2/