Melalui
hukum kesembilan, kita telah belajar bagaimana kita mengontrol mulut
kita. Kita harus berbicara dengan kata-kata yang benar, yang tidak
mencelakakan atau merugikan orang lain. Kini kita masuk ke dalam satu
tahap lagi, yang begitu panjang seolah merupakan rangkuman dari seluruh
hukum yang kelima hingga kesembilan. Inti pembahasan di dalam hukum
kesepuluh adalah tentang niat manusia.
Manusia yang Tuhan ciptakan memiliki
kapasitas yang menjadikan dia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia
miliki. Hal ini membedakan manusia dari semua binatang. Binatang hanya
memiliki dua keinginan dasar, yang disebut sebagai naluri (instinct): keinginan makan (untuk mempertahankan hidup) dan keinginan seks (untuk mempertahankan jenis).
Dua ribu tiga ratus delapan puluh tahun
silam, Mensius, seorang filsuf terkenal Tiongkok, pernah mengatakan akan
kedua kebutuhan paling dasar dari setiap makhluk hidup ini. Hidup
binatang hanya melayani kedua kebutuhan tersebut. Tetapi manusia
memiliki kebutuhan lebih dari sekadar makanan dan seks. Manusia masih
memiliki kebutuhan akan pakaian, rumah, bahkan sampai ke berbagai hal
dengan lingkup yang sangat luas. Pdt. Fosdick dalam bukunya menulis,
“Waktu kecil aku ingin mempunyai sebuah sepeda, ayahku menjanjikan tahun
depan akan membelikannya untukku. Maka mulai hari ini, selain rajin
belajar, setiap pagi aku bangun, aku menghitung mundur hari-hariku. Maka
pada hari ayahku membelikan sepeda itu, hatiku sangat bersukacita.”
Tetapi pernyataan Pdt. Fosdick berikutnya sangat menyentuh saya. Ia
berkata, “Tetapi anak sekarang tidak lagi merasakan sukacita seperti
itu, karena orang tua mereka tidak pernah menyuruh mereka menunggu,
tetapi langsung membelikan apa yang mereka minta. Padahal menanti dengan
penuh harap adalah suatu hal yang sangat penting yang membawa kita
melintasi masa sekarang sambil memandang pada masa depan yang belum
tiba, yaitu masa dia mendapatkan apa yang dia inginkan.” Keinginannya
ditahan oleh proses waktu.
“Keinginan” dalam Ajaran Plato
Dari mana datangnya “keinginan”? Menurut filsuf Arthur Schopenhauer, “Keinginan selalu menguasai rasio manusia.” Plato membagi manusia ke dalam tiga kategori. Yang paling bawah disebut orang rendah, yaitu orang yang hidupnya dikontrol oleh kemauannya. Hidup orang seperti ini bagai kereta yang ditarik oleh kuda yang kuat, suatu kemauan yang tidak sanggup dihentikannya. Menurut Plato, orang seperti ini adalah budak dari volition (kemauan kuat), yang mengakibatkan hidupnya merasa tidak berarti, tidak puas, dan tidak pernah bersukacita.
Dari mana datangnya “keinginan”? Menurut filsuf Arthur Schopenhauer, “Keinginan selalu menguasai rasio manusia.” Plato membagi manusia ke dalam tiga kategori. Yang paling bawah disebut orang rendah, yaitu orang yang hidupnya dikontrol oleh kemauannya. Hidup orang seperti ini bagai kereta yang ditarik oleh kuda yang kuat, suatu kemauan yang tidak sanggup dihentikannya. Menurut Plato, orang seperti ini adalah budak dari volition (kemauan kuat), yang mengakibatkan hidupnya merasa tidak berarti, tidak puas, dan tidak pernah bersukacita.
Surat kabar belakangan ini banyak
mengungkapkan adanya ayah yang memerkosa anak perempuannya sendiri, ada
orang yang tega memerkosa nenek berusia 80 tahun, bahkan ada yang
meniduri mayat wanita di kamar jenazah. Ini menyatakan betapa bobroknya
dunia ini. Manusia bisa menjadi begitu biadab. Menurut ajaran Buddha,
hal ini terjadi karena manusia dikuasai oleh kemauannya. Maka manusia
harus terus-menerus melakukan pemurnian diri (self-purification)
sampai sempurna sehingga ia bisa masuk ke nirwana, tempat di mana tidak
ada lagi nafsu yang merupakan sumber dari semua kesusahan dan
penderitaan manusia. Orang menjadi sangat susah dan menderita ketika
keinginannya tidak terpenuhi. Itu sebabnya ajaran Buddha memiliki daya
tarik yang kuat, sampai ada raja di Tiongkok dari Dinasti Qing yang rela
turun takhta dan hidup menyendiri di gunung untuk meniadakan nafsunya.
Saat orang-orang Mongolia Utara di bawah
pimpinan Genghis Khan menyerbu ke Selatan, Beijing saat itu merupakan
kota kecil dan tidak berarti. Beijing berada di dekat Gurun Gobi,
sehingga jika terjadi badai gurun, Beijing akan mengalami hujan pasir.
Tetapi di akhir abad ke-12, Kublai Khan, cucu Genghis Khan, memindahkan
ibukota Mongolia ke Beijing. Sejak itu Beijing menjadi kota penting,
baik di dalam bidang politik maupun ekonomi.
Sebenarnya, perang antara para
penunggang kuda (gembala) dan penunggang sapi (petani) di Tiongkok sudah
berlangsung lebih dari 2.500 tahun. Daerah Mongolia, Xinjiang, Siberia
memiliki padang rumput yang luasnya ribuan kilometer. Gunung Tian (Tian
Shan) merupakan gunung barisan yang panjangnya lebih dari 1.500 km dan
puncaknya diselimuti salju. Para penunggang kuda lebih liar karena
tempat tinggal mereka tidak menetap. Mereka tinggal di tenda-tenda yang
bentuknya seperti payung besar, disebut Meng Gu Bao (bakpao
Mongolia). Mereka makan dengan satu piring besar berdiameter sekitar 50
cm, dan memasak daging, sayur semua dicampur di situ, lalu mereka makan
bersama dengan memakai sumpit dari satu piring itu. Oleh karena itu,
orang Tionghoa menganggap mereka barbar karena orang Tionghoa makan
dengan mangkok kecil. Piring Mongolia yang istimewa berwarna Islamic blue (Mohammedan blue)
yang dibuat dari kobalt Turki atau Irak (ada tiga buah di Museum Gajah,
Jakarta; masing-masing satu buah di museum di Beijing dan Taipei).
Sebaliknya, orang Mongolia menghina
orang Tionghoa, penunggang sapi dari Selatan. Sapi tidak bisa berlari
dengan cepat. Tetapi para penunggang sapi ini memperkembangkan
agrikultur dan kaligrafi karena mereka menetap. Mereka memiliki tempat
tinggal yang besar, memiliki istana, dan kebudayaan. Maka, kebudayaan di
Selatan berkembang pesat, tetapi kekuatan Utara sering kali datang
dengan tiba-tiba dan cepat, bagai badai yang tidak terduga, lalu
membunuh, merampas, memerkosa, dan menghilang, menyisakan puing-puing
rumah yang mereka bakar. Oleh karena itu, orang-orang Selatan takut
sekali kepada para penunggang kuda. Mereka menemukan bahwa kuda tidak
bisa melompat lebih dari 3 m, maka 3.000 tahun yang lalu, mereka
membangun tembok besar, yaitu Great Wall of China, yang tingginya lebih
dari 3 meter. Tetapi baru pada tahun 228 SM, kaisar pertama Tiongkok
memerintahkan untuk menyatukan kepingan-kepingan tembok itu menjadi satu
kesatuan dengan panjang lebih dari 6.000 km, menjadi satu-satunya
bangunan yang bisa dilihat dengan mata telanjang dari bulan.
Kuda memiliki kekuatan yang besar,
bagaikan orang liar yang tidak dapat dikendalikan. Itu sebabnya manusia
perlu mengendalikan kemauannya dengan rasio. Tetapi menurut
Schopenhauer, rasio adalah budak dari keinginan. Orang yang menginginkan
sesuatu dengan kuat, cenderung tidak memikirkan hal itu dengan cermat
dan mencari alasan yang tepat sebelum melakukan. Ia cenderung melakukan
dulu, baru mencari alasan kemudian. Menurut Schopenhauer, kemauan adalah
bos kita. Martin Luther lebih tajam lagi melukiskan: Rasio adalah
pelacur. Saat pelacur bersetubuh dengan pria, ia menunjukkan seolah-olah
begitu mencintai pria itu, padahal semua itu hanya pura-pura untuk
mendapatkan uang. Jadi, pria yang tidur dengan pelacur merasa seperti ia
mendapatkan cinta dan kepuasan seksual, padahal ia hanya menggunakan
uangnya untuk membeli cinta yang palsu. Begitu juga dengan rasio
manusia, yang mau menyetujui semua ajaran bahkan ajaran yang menyeleweng
dari Kitab Suci. Oleh karena itu, rasio tidak dapat diandalkan. Bahkan
sekalipun ia sudah menyatakan komitmen kepada Tuhan, ia tetap masih bisa
menyeleweng. Dan ketika ditegur, ia akan mengeluarkan berbagai alasan.
Akibatnya, manusia sering menyesal. Maka Plato mengatakan bahwa orang
yang dikuasai oleh nafsu adalah orang rendahan.
Tingkat kedua bagi Plato adalah orang
yang lebih tinggi moralnya, yang dikendalikan oleh perasaannya. Orang
Yunani mengatakan bahwa alam telah membuat hati manusia di atas alat
kelaminnya, maka seharusnya manusia mengontrol nafsu seks dengan cinta
yang murni, tidak boleh sebaliknya, yang membuat ia bagaikan binatang.
Maka nafsu manusia harus dikuasai oleh emosi yang murni.
Tetapi tingkat ketiga, orang yang paling
tinggi moralnya dalam ajaran Plato adalah orang yang meletakkan
emosinya di bawah kontrol akal sehat. Jadi, orang yang dapat menggunakan
rasionya untuk mengontrol emosinya, dan menggunakan emosinya untuk
mengontrol kemauannya, adalah orang yang paling agung. Ini adalah sesuai
dengan aturan alam, di mana otak terletak di paling atas, jantung (heart)
di tengah, dan alat kelamin di bawah. Itu sebabnya, filsafat (philo +
sophia = cinta kebijaksanaan) ingin agar kita menggunakan otak untuk
menguasai emosi dan emosi untuk menguasai keinginan. Dengan demikian
keinginan kita tidak menguasai hidup kita.
Keinginan Menurut Hukum Kesepuluh
Di dalam hukum kesepuluh, Tuhan ingin kita mengontrol keinginan. Maka kita tidak bisa menganggap sepi hukum ini, karena di dalamnya tersimpan makna yang sangat mendalam. Sekalipun ada bagian-bagian yang juga diajarkan oleh agama lain, tetapi hukum ini disampaikan oleh Tuhan Allah, Pencipta alam semesta, untuk mengatur manusia.
Di dalam hukum kesepuluh, Tuhan ingin kita mengontrol keinginan. Maka kita tidak bisa menganggap sepi hukum ini, karena di dalamnya tersimpan makna yang sangat mendalam. Sekalipun ada bagian-bagian yang juga diajarkan oleh agama lain, tetapi hukum ini disampaikan oleh Tuhan Allah, Pencipta alam semesta, untuk mengatur manusia.
Tuhan memerintahkan kita untuk
mengontrol keinginan dan nafsu kita. Tetapi bagaimana mengontrolnya?
Jawabannya tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama, melainkan di dalam
Perjanjian Baru. Elemen buah Roh Kudus yang terakhir adalah penguasaan
diri. Pikiran manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa selalu dikontrol
oleh kemauannya. Maka manusia yang ingin meniadakan keinginannya, karena ingin masuk ke nirwana, tetap akan memiliki keinginan.
Di sini keinginan tidak mungkin bisa ditiadakan. Tidak bisa dibayangkan
jika manusia tidak memiliki keinginan. Keinginan adalah elemen dasar
pembentuk suatu pribadi. Seseorang boleh dan harus memiliki keinginan.
Ia boleh memiliki keinginan untuk maju, keinginan untuk menjadi
pemimpin, keinginan untuk melayani Tuhan. Allah yang meletakkan
keinginan di dalam hati manusia, sehingga itu tidak boleh ditiadakan.
Tuhan Yesus mengajarkan, “Jika engkau ingin menjadi besar, jadilah hamba
semua orang.” Tuhan bukan meniadakan keinginan, tetapi mengarahkan
keinginan ke jalur yang benar. Orang yang ingin menerima mahkota
sorgawi, dia harus memikul salib dahulu; orang yang ingin dibangkitkan,
harus mau mati dahulu, karena tidak ada kebangkitan tanpa melalui
kematian. Prinsip-prinsip Alkitab menegaskan bahwa orang boleh saja
memiliki keinginan. Itu tidak salah. Ajaran ini berbeda dari ajaran
agama lain yang mengharuskan manusia meniadakan keinginan. Maka,
intinya, kita harus memiliki keinginan yang dikuduskan.
Ada banyak orang Kristen, termasuk
Reformed, yang mencampuradukkan visi dan mimpi. Visi bukanlah mimpi dan
mimpi bukan visi. Namun, di balik itu, para motivator, sekolah, partai,
gembar-gembor tentang visi dan misi, yang membuat bulu kuduk saya
berdiri. Bagi saya, orang yang tidak mengenal Allah, tidak berhak
menggunakan istilah ini. Visi hanya dari Tuhan, yang membukakan isi
hati-Nya kepada orang-orang tertentu untuk menjalankan kehendak-Nya.
Maka orang dunia yang memakai kata ini telah menghujat istilah yang
penting ini. Ia menggunakan istilah yang agung, yaitu visi, untuk
menggantikan istilah yang buruk, yaitu nafsunya, ambisi pribadinya,
keinginannya, dan mimpinya.
Orang seperti Yonggi Cho menawarkan doa
yang divisualisasikan. Kita bisa memvisualisasikan (membayangkan
keinginan kita sampai terbayang jelas di pikiran kita) apa yang kita
inginkan dan memintakannya kepada Tuhan, maka Tuhan akan mengabulkan
permintaan kita. Ini adalah hujatan melawan kehendak Tuhan. Dia tidak
mengajarkan bagaimana berdoa untuk taat kepada Tuhan, tetapi memaksa
Tuhan untuk taat pada keinginannya dengan bersembunyi di balik istilah
yang begitu suci, yaitu berdoa. Ini adalah tindakan yang sangat kurang
ajar terhadap Tuhan. Mereka melandaskan kepastian pengabulan doa dengan
dua dasar. 1) Allah Maha Kuasa, sehingga Dia bisa melakukan apa
saja. Tetapi di sini kita melihat Allah yang begitu maha kuasa berhasil
dikuasai dan didikte oleh keinginan manusia dengan doanya. Doa yang
benar, yang didasarkan pada kemahakuasaan Allah, harusnya seperti Doa
Bapa Kami, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Yonggi Cho
dan para penganutnya lebih suka, “Jadilah kehendakku, di sorga seperti
di bumi.” Oleh karena itu, gereja yang mengutamakan kehendak Tuhan tidak
diminati banyak orang, sementara gereja yang mengutamakan keinginan
diri, jemaatnya bertambah dengan cepat.
Tetapi saya tidak akan berkompromi dalam
memberitakan firman Tuhan, meninggikan salib Kristus, menantang
orang-orang yang mengasihi Tuhan untuk memikul salib menggenapkan
rencana dan keinginan Tuhan. 2) Janji Tuhan. Di Alkitab, Tuhan
Yesus pernah berjanji, “Apa pun yang kamu minta kepada Bapa di dalam
nama-Ku akan diberikan kepadamu.” Allah pasti akan menggenapkan
janji-Nya. Ayat ini tidak bermaksud demikian. Ayat di dalam Yohanes
15:16 b ini adalah sebagian dan merupakan suatu janji di balik penugasan
yang Tuhan Yesus berikan. Ayat itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang
dipilih dan ditetapkan Allah untuk pergi dan menghasilkan buah yang
tetap, orang yang hidupnya sungguh-sungguh menjalankan keinginan Tuhan,
bukan keinginan dirinya.
Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan
batasan bahwa doa yang dikabulkan harus di dalam perkenanan Tuhan Yesus
sehingga di dalam nama-Nya doa itu dikabulkan. Kalau Tuhan tidak setuju
dan doa itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebenaran-Nya, maka Ia
berhak untuk menolak doa itu, bagaikan tanda tangan persetujuan
permintaan barang. Jika penanggung jawab tidak mau menandatangani bon
pembelian, tidak ada dana yang akan dikeluarkan untuk itu. Iman bukanlah
sarana pemaksa Tuhan, iman adalah dasar ketaatan kita kepada Tuhan. Ini
yang membuat kebaktian doa gereja yang sejati sepi pengunjung (bukan
berarti gereja yang kebaktian doanya sepi pengunjung pasti gereja
sejati) dan gereja yang tidak beres kebaktian doanya ramai sekali,
karena semua sibuk menuntut keinginannya dikabulkan. Lalu orang luar
mengira gereja yang terlihat begitu serius berdoa adalah gereja yang
rohani dan beriman.
Hukum kesepuluh menekankan masalah
keinginan manusia. Bagaimana kita menggunakan keinginan kita? Adakah
yang membatasi keinginan tersebut? Ya, batasan itu adalah relasi antara
pribadi dengan pribadi lainnya. Caranya adalah kita tidak boleh menginginkan milik orang lain.
Hukum ini selain membahas batasan keinginan kita, juga membahas hak
milik orang lain. Inilah inti dari hukum kesepuluh yang akan dibahas
kemudian. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber : http://www.nusahati.com/2013/03/sepuluh-hukum-hukum-kesepuluh-bagian-1/
Sumber : http://www.nusahati.com/2013/03/sepuluh-hukum-hukum-kesepuluh-bagian-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar