Terjemahan yang paling tepat untuk hukum kesembilan adalah: Jangan bersaksi dusta
untuk mencelakakan orang lain. Tuhan telah memberikan kapasitas
berbicara kepada kita, dan menempatkan manusia di atas segala makhluk.
Tidak ada satu pun makhluk seperti manusia, yang dapat mengaitkan
kata-kata dengan rencana Allah yang kekal. Semua binatang hanya dapat
menyuarakan kebutuhan nalurinya. Oleh karena itu, kita harus bersyukur
kepada Tuhan atas kemampuan berbicara yang Ia berikan, sebagai bukti
bahwa kita dicipta menurut peta teladan-Nya. Hanya kepada manusia Allah
mewahyukan rencana-Nya yang kekal, lewat para nabi di Perjanjian Lama
dan para rasul di Perjanjian Baru. Sungguh ini adalah suatu hak istimewa
yang manusia boleh miliki di hadapan Allah.
Hukum kesembilan adalah satu-satunya
hukum yang memiliki hubungan dengan bagaimana kita berbicara. Jangan
berbicara hal yang salah, jangan memberikan kesaksian palsu, apalagi itu
terhadap orang lain. Jadi, penekanan di dalam hukum kesembilan bukan
sekadar masalah berbohong atau tidak, melainkan apakah mulut kita sudah
mengatakan hal yang benar atau tidak. Apakah ketika kita mengatakan
sesuatu, karena perkataan itu tidak benar, akhirnya berakibat
mencelakakan orang lain? Kita harus menyadari bahwa “takut akan Tuhan” dan “cinta terhadap sesama” adalah dua dasar utama dari Sepuluh Hukum.
Kita harus bersaksi hanya untuk kebenaran, tidak untuk yang lain. Mulut
kita haruslah menjadi alat (instrumen) kebenaran, karena kita dicipta
menurut peta teladan Allah. Dengan demikian, mulut kita tidak menjadi
batu sandungan atau pisau yang tidak nampak, yang menusuk dan
mencelakakan orang. Setiap kata yang jahat, seperti mencaci maki,
fitnah, dan lain-lain sekalipun diucapkan hanya beberapa detik, mampu
melukai hati orang, bahkan melumpuhkan niat perjuangannya. Ibu-ibu yang
merendahkan anaknya sedemikian rupa, mengatakan anaknya bodoh, seperti
babi, dan lain-lain, akan mematahkan semangat juang anak itu seumur
hidupnya. Oleh karena itu, kata-kata sekalipun pendek yang
mengekspresikan ketidakpuasan diri, bisa menjadi batu sandungan dan
hambatan bagi anaknya. Kita perlu meminta pertolongan Tuhan agar setiap
kata yang kita ucapkan adalah benar dan membangun.
Pada saat kita mengetahui bahwa anak
kita berbohong kepada kita, kita akan marah. Kita tidak suka dikelabui
atau ditipu. Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa jika kita ingin
diperlakukan dengan benar, kita juga harus terlebih dahulu memperlakukan
orang lain dengan benar. Kalau engkau ingin orang lain tersenyum
kepadamu, tersenyumlah terlebih dahulu kepada orang lain. Etika orang
Kristen adalah etika inisiatif, etika aktif dan bukan pasif. Maka orang
Kristen yang selalu merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang
diperhatikan, kurang dikasihi, menunjukkan bahwa dia belum mengerti
etika Kristen. Konfusius berakata, “Gentleman (orang agung)
selalu menuntut diri, orang kerdil selalu menuntut orang.” Orang yang
selalu menuntut diri dan merasa diri kurang, harus segera disertai
dengan semangat dan tindakan meninggalkan kekurangan itu. Jadi, sambil
merasa diri kurang, sambil bersandar pada anugerah Tuhan untuk berubah.
Orang yang selalu memperbaiki diri akan menjadi dewasa.
Mengapa seorang anak berbohong? Selain
karena dia kreatif, nakal, dan jahat, kemungkinan juga karena orang
tuanya terlalu keras, sehingga membuat dia takut dihukum. Oleh karena
itu, sebagai pendidik, jangan perlakukan anakmu, muridmu, bawahanmu
terlalu keras, sehingga membuat mereka berpura-pura baik di hadapanmu
untuk menutupi ketidakmampuannya mencapai tuntutanmu dan melepaskan diri
dari hukumanmu.
Seorang
anak 13 tahun mengatakan kepada ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada
seorang gadis yang berusia 18 tahun. Sebenarnya ibunya ingin marah,
tetapi ia menahan diri. Lalu di buku harian anak itu tertulis: “Saya
bersyukur bisa bertumbuh dengan jiwa yang sehat. Sekalipun aku tidak
menikah dengan wanita yang aku taksir itu, tetapi ketika aku
mengutarakan cintaku itu kepada ibuku, ia tidak memarahi aku. Di mataku,
dia adalah ibu yang bijak.” Kalau orang tua berlaku begitu keras
terhadap anaknya, memotong setiap perkataan anaknya, maka tidak ada
jalan lain bagi anak itu kecuali berbohong, sehingga semakin lama akan
semakin ahli berbohong.
Prof. Peter Whitlock dari Vancouver
pernah menceritakan pengalamannya di Perang Dunia II. Ia pernah
memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan dua pesawat untuk terbang
dalam waktu dua jam. Tetapi anak buahnya mengatakan bahwa satu pesawat
dalam kondisi rusak dan butuh waktu enam jam untuk memperbaiki. Dia
minta lebih cepat, dan akhirnya diperkirakan bisa selesai dalam empat
jam. Setelah hampir empat jam, perbaikan itu hampir selesai, tiba-tiba
ada satu baut yang melejit dan masuk ke lubang busi. Pada mulanya, anak
buahnya tidak mau melaporkan. Tetapi akhirnya dia melaporkan bahwa dia
butuh empat jam lagi untuk memperbaiki, karena ada baut yang masuk ke
lubang busi. Memang kalau dijalankan, mesin itu akan jalan, tetapi dalam
waktu kurang dari dua jam, pesawat itu akan meledak. Prof. Whitlock
berterima kasih atas kejujuran anak buahnya itu. Seandainya dia berlaku
keras kepada anak buahnya, dan anak buahnya mendiamkan kejadian itu,
tentu ia akan mati. Ada orang yang sebenarnya tidak suka berbohong,
tetapi di saat terdesak ia mungkin akan berbohong dan mencelakakan
orang. Tentu hal ini sangat disayangkan.
Hukum kesembilan juga mengatakan tentang
motivasi. Kita harus memiliki motivasi membangun dan menjadi berkat
bagi sesama. Jangan punya niat mencelakakan orang, karena hal itu akan
menyeret engkau menjadi alat Iblis dan dibenci oleh Tuhan. Apakah dengan
demikian kita bisa berbohong demi menolong orang? Saya tidak mengatakan
bahwa hal ini benar, tetapi terkadang demi menolong orang, kita tidak
memiliki pilihan lain kecuali berbohong. Maka persoalannya bukan boleh
atau tidak boleh berbohong; tetapi bisa atau tidak bisa tidak berbohong. Ada seseorang yang suka pergi menginjili
ke tempat-tempat yang sangat miskin di mana tidak ada toilet yang
memadai. Istrinya tidak bisa dengan toilet seperti itu, sehingga kalau
pergi ke tempat demikian, istrinya tidak mau ikut. Satu kali dia harus
pergi meninjau tempat penginjilan yang berbahaya di Kalimantan. Ia tidak
ingin istrinya ikut, maka ia katakan di sana toiletnya kotor sekali. Ia
bertanya kepada saya, apakah berdosa berbohong seperti itu. Saya
katakan, sebenarnya engkau bisa berkata jujur. Terkadang kita ingin
jujur, tetapi khawatir kejujuran kita akan mengundang kesulitan besar.
Ada orang-orang yang sangat berpikir negatif. Maka, kita
perlu kebijaksanaan dari Tuhan untuk memberikan pengertian kepada
seseorang secara jujur, dengan kasih, dan dengan motivasi yang baik.
Terkadang ketika kita tidak bisa meyakinkan seseorang, Tuhan membiarkan
kita berbohong dahulu. Bukan berarti Tuhan senang dan setuju kita
berbohong. Salah satu contoh dalam Alkitab yang paling jelas adalah
kasus Rahab, pelacur di Yerikho. Rahab menyembunyikan Yosua dan Kaleb.
Rahab beriman kepada Allah Israel. Rahab seorang pelacur, tetapi beriman
besar. Sungguh satu sindiran Tuhan bagi manusia. Mungkinkah orang
Kristen yang terbaik saat ini masih menjadi perampok atau pelacur? Kita
tidak boleh menganggap semua pelacur jahat. Mungkin mereka seperti itu
karena terdesak keadaan. Kita perlu memiliki hati yang rendah hati.
Kalimat pernyataan wanita yang paling
penting dan berbobot adalah pernyataan Maria, ibu Yesus; tetapi
perkataan yang terpanjang yang diwahyukan di dalam Alkitab adalah
perkataan Rahab. Ia menyimpulkan bahwa “Allahmu adalah Allah yang
sejati, sementara allahku adalah allah palsu.” Dua pengintai itu masuk
ke rumah Rahab bukan ingin tidur dengan Rahab, tetapi karena Tuhan mau
memilih dan menyelamatkan dia. Rahab berbohong ketika para tentara
menggeledah rumahnya. Apakah dia melanggar hukum kesembilan? Sebagai
seorang manusia, kita begitu lemah dan bisa takut untuk berkata jujur.
Maka Rahab, demi imannya kepada Allah Israel dan demi menyelamatkan dua
orang yang tidak bersalah itu, dia berbohong. Dengan demikian ia
berhasil menyelamatkan kedua orang itu. Maka, Rahab berdusta dalam
kondisi yang berbeda dengan tuntutan hukum kesembilan. Dia tidak
mencelakakan orang.
Sejak kecil saya memerhatikan bahwa di
dalam hukum keenam hingga kedelapan, hanya berisi larangan, tetapi hukum
kesembilan ditambah dengan motivasinya: “untuk mencelakakan orang
lain”. Ini mirip dengan hukum kedua tentang membuat patung. Bukan
masalah pembuatannya, tetapi motivasinya. Buktinya, Allah menyuruh orang
Israel membuat dua patung kerub dan meletakkannya di atas Tabut
Perjanjian. Maka, motivasi menentukan pembuatan patung ini. Demikian
juga, Allah mencatat kasus Rahab yang berdusta demi menolong orang yang
Tuhan pilih. Maka sekali lagi, di sini bukan masalah boleh atau tidak,
tetapi apakah ada kemungkinan tidak berbohong atau tidak. Jika Rahab
tidak berbohong, apakah Allah sanggup menyelamatkan kedua orang itu?
Pasti sanggup. Bukan demi menyelamatkan orang maka saya boleh berbohong.
Hal itu Allah izinkan terjadi karena kita tidak punya pilihan dan kita
tidak berani untuk tidak berbohong. Bahkan dalam keadaan seperti itu,
itu tetap merupakan dosa, tetapi karena motivasimu untuk menolong, maka
Tuhan mengerti. Dan setelah itu, engkau harus tetap minta pengampunan
dari-Nya. Tuhan Yesus sangat mengerti kesulitan kita. Itu sebabnya,
ketika Ia di dunia, Ia mau menjadi kawan bagi pelacur, pemungut cukai,
dan orang-orang yang berseberangan dengan orang Farisi. Mari kita
mengerti isi hati Tuhan lebih dari sekadar mengerti Alkitab secara
harfiah.
Jika demikian, bolehkah kita menyamakan
bohong demi menolong orang dan bukan demi menolong orang? Prinsip
penting dalam hukum kesembilan adalah saling menghormati dan tidak mau
merugikan atau mencelakakan sesama. Sering kali orang berbohong karena
takut mengatakan hal yang benar. Mungkin dengan mengatakan hal yang
benar, ia akan mencelakakan dan merugikan dirinya sendiri. Jadi pada
saat orang dalam bahaya, ia mungkin tidak berani mengambil risiko untuk
berkata jujur.
Di dalam abad 20, ada dua kali Perang
Dunia (PD I: 1914-1918; PD II: 1939-1945). Perang Dunia I menelan 7 juta
korban jiwa. Oleh karena itu, setelah PD I, pada tahun 1919
negara-negara di dunia mengadakan konferensi di Paris dan berpawai untuk
menyatakan tidak mau berperang lagi dan menginginkan kedamaian. Tetapi
20 tahun kemudian, Hitler merasa sebagai bangsa yang paling superior,
paling benar, maka Jerman pantas memerintah dunia. Hitler mengawalinya
dengan buku kecilnya yang berjudul: Perjuanganku (Mein Kampf).
Buku kecil ini telah menelan 30 juta lebih korban. Sebenarnya Hitler
adalah orang Austria, tetapi ia merasa lebih Jerman dan pantas
memerintah dunia. Pidatonya sangat berkharisma dan berhasil menaklukkan
parlemen Jerman. Ketika tahun 1933 ia memerintah, ia mulai menjadi
diktator yang memulai Perang Dunia II.
Hitler, bersekutu dengan Mussolini di
Italia dan Hirohito di Jepang telah mendatangkan korban sekitar 30-50
juta. Tetapi angka ini kemudian diveto oleh Gorbachev pada tahun 1989
dengan menyatakan bahwa ada 30 juta lagi di Rusia yang tidak pernah
diumumkan. Itu berarti seluruh korban Perang Dunia II lebih dari 60 juta
jiwa. Itu dikarenakan saat Perang Dunia I, alat-alat perang mutakhir
belum ada. Perang Dunia II sudah dilengkapi dengan tank dan bom yang
berkekuatan tinggi, pesawat tempur, dan terakhir bom atom. Hal yang
paling tragis dalam PD II adalah pembantaian orang Yahudi oleh
orang-orang Jerman. Pada saat itu, ada seorang wanita Reformed yang
cinta Tuhan, Corrie ten Boom, yang berani berbohong untuk menyelamatkan
orang-orang Yahudi. Juga Schindler, seorang pedagang kaya yang suka main
perempuan, melakukan hal yang sama, yaitu menyembunyikan orang-orang
Yahudi agar tidak dibunuh oleh orang Jerman. Rezim Hitler menganiaya
orang Yahudi, rezim Mao Zedong menganiaya orang Kristen dengan sangat
kejam dan brutal. Tetapi di masa-masa seperti itu, Tuhan membangkitkan
orang-orang, baik Kristen atau non-Kristen yang berhati mulia untuk
menolong orang-orang yang terancam bahaya.
Mengapa manusia yang dicipta menurut
peta teladan Allah tidak mencerminkan kesucian, keadilan, kasih, dan
kemurahan Allah; sebaliknya malah dilanda benci, egois, balas dendam,
bahkan tega melakukan hal-hal yang sangat sadis? Theologi Reformed
menjawab, karena anugerah umum telah disingkirkan. Manusia bisa
melakukan tindakan-tindakan yang lebih brutal, tetapi hal itu tidak
dilakukan karena masih ditahan oleh anugerah umum. Di surat Tesalonika
dinyatakan bahwa orang berdosa besar itu belum muncul karena masih ada
yang menahannya. Theologi Reformed menyebut penahan itu sebagai anugerah umum (common grace).
Maka menurut John Calvin, anugerah umum itu mencakup: 1) Pemerintah;
karena pemerintah yang paling buruk masih lebih baik daripada tidak ada
pemerintah; 2) Hukum negara; 3) Semua peraturan dalam masyarakat; 4)
Hati nurani; 5) Opini masyarakat; 6) Kebudayaan; 7) Tradisi; 8) Agama.
Unsur-unsur ini menyebabkan manusia takut mendapatkan celaka, balasan,
dan hukuman, sehingga membendung manusia untuk melakukan dosa dan
tindakan yang lebih mengerikan. Di sini kedaulatan Allah nyata, bahkan
berlaku kepada orang yang bukan Kristen sekalipun.
Adanya anugerah umum memungkinkan suatu
daerah yang bukan Kristen bisa lebih damai dan lebih baik dibanding
dengan daerah Kristen. Oleh karena itu, orang Kristen tidak boleh
sombong. Bahkan mungkin saja orang yang beragama bisa lebih berani
berbuat jahat ketimbang orang yang tidak beragama. Semua ini bisa
terjadi karena adanya anugerah umum. Maka, orang atheis, orang sekuler bisa melakukan kebajikan berdasarkan anugerah umum. Maka, kembalikan semua kemuliaan kepada Allah, kita tidak memiliki jasa apa pun.
Kita telah menyinggung Rahab, Schindler,
dan Corrie ten Boom. Mereka telah berbohong demi menyelamatkan nyawa
orang lain. Tindakan ini mirip seperti yang menjadi landasan dari Etika
Situasi. Ajaran Etika Situasi mengatakan bahwa seseorang boleh berdusta
jika dengan alasan dan motivasi kasih. Sebelum makan, orang Yahudi biasa
cuci tangan terlebih dahulu. Ketika suatu kali orang Yahudi menemukan
bahwa murid-murid Tuhan Yesus makan tanpa mencuci tangan, mereka
bertanya kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menjawab, “Makanan yang masuk
tidak menajiskan jiwa; tetapi perkataan yang diucapkan mulut, yang
keluar dari hati yang jahat; itulah yang mendatangkan malapetaka bagi
orang lain.” Yesus menegur mereka karena mereka hanya memikirkan hal
yang remeh, tentang cuci tangan, tetapi melupakan hal yang terpenting,
yaitu makanan rohani. Pada zaman ini, orang kalau kurang makan sedikit
saja, langsung marah-marah; sementara ketika mendengarkan khotbah yang
salah, tidak bereaksi apa-apa. Maka, tidak heran Tuhan Yesus menegur
orang Yahudi, “Kamu mencari Aku bukan karena telah melihat tanda, tetapi
karena sudah makan dan menjadi kenyang.” Dia memisahkan orang yang
telah melihat tanda dan orang yang ingin makan. Kita perlu mengerti
siapa Tuhan dari apa yang Ia lakukan. Tetapi orang lebih suka pada hasil
apa yang Tuhan lakukan. Di sini kita melihat bahwa Tuhan Yesus
mengetahui isi hati manusia lebih dari siapapun. Ketika Tuhan Yesus
memberikan firman, mereka tidak menghiraukan. Ini berbeda dari Rahab
yang mengutamakan perkara yang kekal. Dari apa yang terjadi di dalam
sejarah, ia mengerti siapa Allah orang Israel. Ketika Rahab atau Corrie
berbohong, itu bukan karena Tuhan yang menggerakkan atau mengizinkan dia
berbohong, tetapi karena ia merasa tidak ada cara lain. Manusia memang
terbatas, sehingga sekalipun ia seorang rohani, di saat tertentu ia
menjadi takut ketika diperhadapkan pada satu situasi yang menakutkan.
Orang tua, guru, dosen, bahkan pendeta atau penginjil adalah manusia
yang memiliki kelemahan. Itu sebab, kita sangat menghargai orang Kristen
yang imannya sejalan dengan kelakuannya. Berkata mudah, menjalankan
sulit. Saya rasa Tuhan mengerti ketika Rahab, Schindler, Corrie ten Boom
berbohong, karena mereka merasa tidak ada jalan lain. Dia akan
mengampuni kita. Tetapi tidak boleh dibalik, karena aku berniat menolong
orang, maka bohong itu bisa dibenarkan. Itu tetap dosa. Salah tetap
salah, benar adalah benar. Tetapi saat engkau ingin menolong orang lain
dan tidak mempunyai cara lain, tidak mempunyai keberanian untuk berkata
jujur, maka mungkin engkau berbohong. Maka, kembali ke hukum kesembilan,
jangan merugikan atau mencelakakan orang lain, apalagi dengan menjadi
saksi dusta.
Ada orang-orang yang dalam keadaan yang
sulit diberi kekuatan untuk berani berkata jujur. Ada seorang ibu yang
menyuruh anaknya yang baru berusia sebelas tahun untuk mengantar uang ke
rumah kakeknya yang sedang sakit. Tetapi karena perjalanan berbahaya,
ibu itu memasukkan uang itu ke kaos kaki anaknya. Ketika anaknya di
tengah jalan, ia dihadang perampok. Perampok itu bertanya, “Mau ke
mana?” Dia menjawab dengan sangat tenang, “Mau ke rumah kakek.” Perampok
itu bertanya lagi, “Apakah engkau membawa uang?” Dia mulai sedikit
gelisah, kalau dia berkata jujur, pasti uang itu diambil dan kakeknya
yang sakit mungkin akan mati; tapi kalau ia berbohong, lalu digeledah
dan ditemukan, ia pasti dipukuli sampai mati. Maka ia menjawab jujur.
Dia berkata, “Ya, saya membawa uang.” Ditanya, “Di mana?” Ia menjawab,
“Uang yang saya bawa bukan uang biasa.” Perampok itu heran, “Apa
maksudmu?” Lalu anak itu bercerita, bahwa uang itu dibawa untuk
pengobatan kakeknya yang sakit keras. Lalu ia mengeluarkan uang itu dari
kaos kakinya, dan berkata, “Inilah uang yang mama berikan untuk
pengobatan kakekku.” Perampok itu bertanya, “Kakekmu sakit apa?” Dengan
nada yang sudah melunak, si anak menceritakan sakit kakeknya dengan
sedih. Akhirnya, perampok itu berkata, “Ok, bawalah uang itu untuk
kakekmu, saya minta sedikit saja.”
Ada kisah lain yang dicatat dalam buku
Prof. Sorokin dari Harvard University, mantan Sekretaris Umum Partai
Komunis di zaman Stalin. Ia membenci komunisme dan mencari suaka politik
di Amerika Serikat. Di dalam buku itu ada kisah yang menceritakan
kekuatan besar yang terkandung dalam kata-kata yang jujur dan penuh
cinta kasih, yang sanggup menyentuh hati orang jahat dan mengubahnya.
Suatu kali, ada seorang perempuan tua, bendahara dari satu yayasan orang
tua yang baru saja mengumpulkan dana lebih dari lima belas ribu dolar.
Ia membawa uang itu ke apartemennya di Manhattan, menaruhnya di laci dan
tidur. Pada tengah malam itu, seorang maling berperawakan tinggi besar
masuk ke apartemennya, menodong dia dengan pistol sambil membangunkan
dia. Nenek itu bangun terkejut, tetapi dia masih dapat berkata dengan
tenang, “Mengapa engkau datang di rumahku?” Ia menjawab, “Aku butuh
uang, serahkan uangmu kepadaku.” “Seharusnya engkau tidak menjadi orang
jahat seperti ini,” kata nenek itu dengan lembut, “ayo duduk. Kalau
hidupmu susah, carilah pekerjaan.” Penjahat itu membentak, “Jangan
banyak bicara, serahkan uangmu!” Nenek berkata, “Kamu masuk ke tempatku
tanpa permisi, jangan galak-galak seperti itu. Di tempatku memang ada
uang. Tetapi uang itu bukan milikku.” Perampok itu menyanggah, “Tidak
peduli, serahkan kepadaku!” Nenek itu melanjutkan, “Uang itu adalah uang
perhimpunan sosial yang akan dipakai untuk menolong orang-orang lanjut
usia, khususnya mereka yang terbaring di rumah sakit karena kena kanker.
Kemarin kami berhasil mengumpulkan lima belas ribu dolar lebih. Besok
akan kubagikan pada orang-orang yang membutuhkan.” Nenek itu berbicara
dengan jiwa yang sangat stabil dan jujur. Perampok itu terharu, tetapi
ia pikir apakah aku akan keluar dari sini tanpa membawa hasil? “Tetapi
kalau aku ambil uang itu, aku berdosa.” Di sini common grace bekerja.
Wanita tua itu mengeluarkan uang dari laci dan berkata, “Ini uangnya,
tetapi kalau engkau mengambil uang yang sedianya dipakai untuk menolong
orang miskin yang sakit ini, engkau berdosa.” Perampok itu berkata,
“Tetapi aku butuh uang.” Nenek menyanggah, “Orang lain lebih
membutuhkannya darimu.” Lalu perampok itu melunak, “Apa yang harus aku
perbuat, Bu?” Dijawab, “Pergilah dari sini, aku ingin tidur.” Perampok
itu setuju, lalu berjalan ke arah pintu. Tetapi ia kemudian berbalik dan
berkata, “Aku rasa kata-katamu betul. Ada banyak orang tua yang miskin
dan susah. Aku juga mau ikut berbagian.” Ia mengeluarkan sepuluh dolar
dari sakunya dan memberikannya kepada wanita tua itu dengan pesan,
“Tidak usah tulis namaku. Aku percaya. Engkau adalah orang yang jujur.
Aku ingin berbagian supaya aku diberkati Tuhan.” Prof. Sorokin
mengomentari bahwa manusia tidak seburuk apa yang kita pikirkan. Orang
jahat pun masih memiliki hati nurani. Kalau kata-kata kita jujur, jiwa
kita stabil, mungkin kita bisa menggerakkan dia menjadi lebih baik.
Mahatma Gandhi, yang hidup di abad ke-20, sanggup menaklukkan hati
Kerajaan Inggris Raya, yang waktu itu merupakan kerajaan terbesar di
dunia, tanpa menggunakan senapan atau peluru, karena kekuatan batin
tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan mesin perang. Jadi, orang yang
lemah, kurang rohani, memang bisa berbohong, maka mintalah agar Tuhan
memberi engkau kekuatan, memiliki batin yang stabil, dan lebih berani
daripada orang jahat. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber : http://www.nusahati.com/2013/02/sepuluh-hukum-hukum-kesembilan-bagian-4/
..
Terjemahan
yang paling tepat untuk hukum kesembilan adalah: Jangan bersaksi dusta
untuk mencelakakan orang lain. Tuhan telah memberikan kapasitas
berbicara kepada kita, dan menempatkan manusia di atas segala makhluk.
Tidak ada satu pun makhluk seperti manusia, yang dapat mengaitkan
kata-kata dengan rencana Allah yang kekal. Semua binatang hanya dapat
menyuarakan kebutuhan nalurinya. Oleh karena itu, kita harus bersyukur
kepada Tuhan atas kemampuan berbicara yang Ia berikan, sebagai bukti
bahwa kita dicipta menurut peta teladan-Nya. Hanya kepada manusia Allah
mewahyukan rencana-Nya yang kekal, lewat para nabi di Perjanjian Lama
dan para rasul di Perjanjian Baru. Sungguh ini adalah suatu hak istimewa
yang manusia boleh miliki di hadapan Allah.
Hukum kesembilan adalah satu-satunya
hukum yang memiliki hubungan dengan bagaimana kita berbicara. Jangan
berbicara hal yang salah, jangan memberikan kesaksian palsu, apalagi itu
terhadap orang lain. Jadi, penekanan di dalam hukum kesembilan bukan
sekadar masalah berbohong atau tidak, melainkan apakah mulut kita sudah
mengatakan hal yang benar atau tidak. Apakah ketika kita mengatakan
sesuatu, karena perkataan itu tidak benar, akhirnya berakibat
mencelakakan orang lain? Kita harus menyadari bahwa “takut akan Tuhan” dan “cinta terhadap sesama” adalah dua dasar utama dari Sepuluh Hukum.
Kita harus bersaksi hanya untuk kebenaran, tidak untuk yang lain. Mulut
kita haruslah menjadi alat (instrumen) kebenaran, karena kita dicipta
menurut peta teladan Allah. Dengan demikian, mulut kita tidak menjadi
batu sandungan atau pisau yang tidak nampak, yang menusuk dan
mencelakakan orang. Setiap kata yang jahat, seperti mencaci maki,
fitnah, dan lain-lain sekalipun diucapkan hanya beberapa detik, mampu
melukai hati orang, bahkan melumpuhkan niat perjuangannya. Ibu-ibu yang
merendahkan anaknya sedemikian rupa, mengatakan anaknya bodoh, seperti
babi, dan lain-lain, akan mematahkan semangat juang anak itu seumur
hidupnya. Oleh karena itu, kata-kata sekalipun pendek yang
mengekspresikan ketidakpuasan diri, bisa menjadi batu sandungan dan
hambatan bagi anaknya. Kita perlu meminta pertolongan Tuhan agar setiap
kata yang kita ucapkan adalah benar dan membangun.
Pada saat kita mengetahui bahwa anak
kita berbohong kepada kita, kita akan marah. Kita tidak suka dikelabui
atau ditipu. Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa jika kita ingin
diperlakukan dengan benar, kita juga harus terlebih dahulu memperlakukan
orang lain dengan benar. Kalau engkau ingin orang lain tersenyum
kepadamu, tersenyumlah terlebih dahulu kepada orang lain. Etika orang
Kristen adalah etika inisiatif, etika aktif dan bukan pasif. Maka orang
Kristen yang selalu merasa kurang dihormati, kurang dihargai, kurang
diperhatikan, kurang dikasihi, menunjukkan bahwa dia belum mengerti
etika Kristen. Konfusius berakata, “Gentleman (orang agung)
selalu menuntut diri, orang kerdil selalu menuntut orang.” Orang yang
selalu menuntut diri dan merasa diri kurang, harus segera disertai
dengan semangat dan tindakan meninggalkan kekurangan itu. Jadi, sambil
merasa diri kurang, sambil bersandar pada anugerah Tuhan untuk berubah.
Orang yang selalu memperbaiki diri akan menjadi dewasa.
Mengapa seorang anak berbohong? Selain
karena dia kreatif, nakal, dan jahat, kemungkinan juga karena orang
tuanya terlalu keras, sehingga membuat dia takut dihukum. Oleh karena
itu, sebagai pendidik, jangan perlakukan anakmu, muridmu, bawahanmu
terlalu keras, sehingga membuat mereka berpura-pura baik di hadapanmu
untuk menutupi ketidakmampuannya mencapai tuntutanmu dan melepaskan diri
dari hukumanmu.
Seorang
anak 13 tahun mengatakan kepada ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada
seorang gadis yang berusia 18 tahun. Sebenarnya ibunya ingin marah,
tetapi ia menahan diri. Lalu di buku harian anak itu tertulis: “Saya
bersyukur bisa bertumbuh dengan jiwa yang sehat. Sekalipun aku tidak
menikah dengan wanita yang aku taksir itu, tetapi ketika aku
mengutarakan cintaku itu kepada ibuku, ia tidak memarahi aku. Di mataku,
dia adalah ibu yang bijak.” Kalau orang tua berlaku begitu keras
terhadap anaknya, memotong setiap perkataan anaknya, maka tidak ada
jalan lain bagi anak itu kecuali berbohong, sehingga semakin lama akan
semakin ahli berbohong.
Prof. Peter Whitlock dari Vancouver
pernah menceritakan pengalamannya di Perang Dunia II. Ia pernah
memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan dua pesawat untuk terbang
dalam waktu dua jam. Tetapi anak buahnya mengatakan bahwa satu pesawat
dalam kondisi rusak dan butuh waktu enam jam untuk memperbaiki. Dia
minta lebih cepat, dan akhirnya diperkirakan bisa selesai dalam empat
jam. Setelah hampir empat jam, perbaikan itu hampir selesai, tiba-tiba
ada satu baut yang melejit dan masuk ke lubang busi. Pada mulanya, anak
buahnya tidak mau melaporkan. Tetapi akhirnya dia melaporkan bahwa dia
butuh empat jam lagi untuk memperbaiki, karena ada baut yang masuk ke
lubang busi. Memang kalau dijalankan, mesin itu akan jalan, tetapi dalam
waktu kurang dari dua jam, pesawat itu akan meledak. Prof. Whitlock
berterima kasih atas kejujuran anak buahnya itu. Seandainya dia berlaku
keras kepada anak buahnya, dan anak buahnya mendiamkan kejadian itu,
tentu ia akan mati. Ada orang yang sebenarnya tidak suka berbohong,
tetapi di saat terdesak ia mungkin akan berbohong dan mencelakakan
orang. Tentu hal ini sangat disayangkan.
Hukum kesembilan juga mengatakan tentang
motivasi. Kita harus memiliki motivasi membangun dan menjadi berkat
bagi sesama. Jangan punya niat mencelakakan orang, karena hal itu akan
menyeret engkau menjadi alat Iblis dan dibenci oleh Tuhan. Apakah dengan
demikian kita bisa berbohong demi menolong orang? Saya tidak mengatakan
bahwa hal ini benar, tetapi terkadang demi menolong orang, kita tidak
memiliki pilihan lain kecuali berbohong. Maka persoalannya bukan boleh
atau tidak boleh berbohong; tetapi bisa atau tidak bisa tidak berbohong.
Ada seseorang yang suka pergi menginjili
ke tempat-tempat yang sangat miskin di mana tidak ada toilet yang
memadai. Istrinya tidak bisa dengan toilet seperti itu, sehingga kalau
pergi ke tempat demikian, istrinya tidak mau ikut. Satu kali dia harus
pergi meninjau tempat penginjilan yang berbahaya di Kalimantan. Ia tidak
ingin istrinya ikut, maka ia katakan di sana toiletnya kotor sekali. Ia
bertanya kepada saya, apakah berdosa berbohong seperti itu. Saya
katakan, sebenarnya engkau bisa berkata jujur. Terkadang kita ingin
jujur, tetapi khawatir kejujuran kita akan mengundang kesulitan besar.
Ada orang-orang yang sangat berpikir negatif. Maka, kita
perlu kebijaksanaan dari Tuhan untuk memberikan pengertian kepada
seseorang secara jujur, dengan kasih, dan dengan motivasi yang baik.
Terkadang ketika kita tidak bisa meyakinkan seseorang, Tuhan membiarkan
kita berbohong dahulu. Bukan berarti Tuhan senang dan setuju kita
berbohong. Salah satu contoh dalam Alkitab yang paling jelas adalah
kasus Rahab, pelacur di Yerikho. Rahab menyembunyikan Yosua dan Kaleb.
Rahab beriman kepada Allah Israel. Rahab seorang pelacur, tetapi beriman
besar. Sungguh satu sindiran Tuhan bagi manusia. Mungkinkah orang
Kristen yang terbaik saat ini masih menjadi perampok atau pelacur? Kita
tidak boleh menganggap semua pelacur jahat. Mungkin mereka seperti itu
karena terdesak keadaan. Kita perlu memiliki hati yang rendah hati.
Kalimat pernyataan wanita yang paling
penting dan berbobot adalah pernyataan Maria, ibu Yesus; tetapi
perkataan yang terpanjang yang diwahyukan di dalam Alkitab adalah
perkataan Rahab. Ia menyimpulkan bahwa “Allahmu adalah Allah yang
sejati, sementara allahku adalah allah palsu.” Dua pengintai itu masuk
ke rumah Rahab bukan ingin tidur dengan Rahab, tetapi karena Tuhan mau
memilih dan menyelamatkan dia. Rahab berbohong ketika para tentara
menggeledah rumahnya. Apakah dia melanggar hukum kesembilan? Sebagai
seorang manusia, kita begitu lemah dan bisa takut untuk berkata jujur.
Maka Rahab, demi imannya kepada Allah Israel dan demi menyelamatkan dua
orang yang tidak bersalah itu, dia berbohong. Dengan demikian ia
berhasil menyelamatkan kedua orang itu. Maka, Rahab berdusta dalam
kondisi yang berbeda dengan tuntutan hukum kesembilan. Dia tidak
mencelakakan orang.
Sejak kecil saya memerhatikan bahwa di
dalam hukum keenam hingga kedelapan, hanya berisi larangan, tetapi hukum
kesembilan ditambah dengan motivasinya: “untuk mencelakakan orang
lain”. Ini mirip dengan hukum kedua tentang membuat patung. Bukan
masalah pembuatannya, tetapi motivasinya. Buktinya, Allah menyuruh orang
Israel membuat dua patung kerub dan meletakkannya di atas Tabut
Perjanjian. Maka, motivasi menentukan pembuatan patung ini. Demikian
juga, Allah mencatat kasus Rahab yang berdusta demi menolong orang yang
Tuhan pilih. Maka sekali lagi, di sini bukan masalah boleh atau tidak,
tetapi apakah ada kemungkinan tidak berbohong atau tidak. Jika Rahab
tidak berbohong, apakah Allah sanggup menyelamatkan kedua orang itu?
Pasti sanggup. Bukan demi menyelamatkan orang maka saya boleh berbohong.
Hal itu Allah izinkan terjadi karena kita tidak punya pilihan dan kita
tidak berani untuk tidak berbohong. Bahkan dalam keadaan seperti itu,
itu tetap merupakan dosa, tetapi karena motivasimu untuk menolong, maka
Tuhan mengerti. Dan setelah itu, engkau harus tetap minta pengampunan
dari-Nya. Tuhan Yesus sangat mengerti kesulitan kita. Itu sebabnya,
ketika Ia di dunia, Ia mau menjadi kawan bagi pelacur, pemungut cukai,
dan orang-orang yang berseberangan dengan orang Farisi. Mari kita
mengerti isi hati Tuhan lebih dari sekadar mengerti Alkitab secara
harfiah.
Jika demikian, bolehkah kita menyamakan
bohong demi menolong orang dan bukan demi menolong orang? Prinsip
penting dalam hukum kesembilan adalah saling menghormati dan tidak mau
merugikan atau mencelakakan sesama. Sering kali orang berbohong karena
takut mengatakan hal yang benar. Mungkin dengan mengatakan hal yang
benar, ia akan mencelakakan dan merugikan dirinya sendiri. Jadi pada
saat orang dalam bahaya, ia mungkin tidak berani mengambil risiko untuk
berkata jujur.
Di dalam abad 20, ada dua kali Perang
Dunia (PD I: 1914-1918; PD II: 1939-1945). Perang Dunia I menelan 7 juta
korban jiwa. Oleh karena itu, setelah PD I, pada tahun 1919
negara-negara di dunia mengadakan konferensi di Paris dan berpawai untuk
menyatakan tidak mau berperang lagi dan menginginkan kedamaian. Tetapi
20 tahun kemudian, Hitler merasa sebagai bangsa yang paling superior,
paling benar, maka Jerman pantas memerintah dunia. Hitler mengawalinya
dengan buku kecilnya yang berjudul: Perjuanganku (Mein Kampf).
Buku kecil ini telah menelan 30 juta lebih korban. Sebenarnya Hitler
adalah orang Austria, tetapi ia merasa lebih Jerman dan pantas
memerintah dunia. Pidatonya sangat berkharisma dan berhasil menaklukkan
parlemen Jerman. Ketika tahun 1933 ia memerintah, ia mulai menjadi
diktator yang memulai Perang Dunia II.
Hitler, bersekutu dengan Mussolini di
Italia dan Hirohito di Jepang telah mendatangkan korban sekitar 30-50
juta. Tetapi angka ini kemudian diveto oleh Gorbachev pada tahun 1989
dengan menyatakan bahwa ada 30 juta lagi di Rusia yang tidak pernah
diumumkan. Itu berarti seluruh korban Perang Dunia II lebih dari 60 juta
jiwa. Itu dikarenakan saat Perang Dunia I, alat-alat perang mutakhir
belum ada. Perang Dunia II sudah dilengkapi dengan tank dan bom yang
berkekuatan tinggi, pesawat tempur, dan terakhir bom atom. Hal yang
paling tragis dalam PD II adalah pembantaian orang Yahudi oleh
orang-orang Jerman. Pada saat itu, ada seorang wanita Reformed yang
cinta Tuhan, Corrie ten Boom, yang berani berbohong untuk menyelamatkan
orang-orang Yahudi. Juga Schindler, seorang pedagang kaya yang suka main
perempuan, melakukan hal yang sama, yaitu menyembunyikan orang-orang
Yahudi agar tidak dibunuh oleh orang Jerman. Rezim Hitler menganiaya
orang Yahudi, rezim Mao Zedong menganiaya orang Kristen dengan sangat
kejam dan brutal. Tetapi di masa-masa seperti itu, Tuhan membangkitkan
orang-orang, baik Kristen atau non-Kristen yang berhati mulia untuk
menolong orang-orang yang terancam bahaya.
Mengapa manusia yang dicipta menurut
peta teladan Allah tidak mencerminkan kesucian, keadilan, kasih, dan
kemurahan Allah; sebaliknya malah dilanda benci, egois, balas dendam,
bahkan tega melakukan hal-hal yang sangat sadis? Theologi Reformed
menjawab, karena anugerah umum telah disingkirkan. Manusia bisa
melakukan tindakan-tindakan yang lebih brutal, tetapi hal itu tidak
dilakukan karena masih ditahan oleh anugerah umum. Di surat Tesalonika
dinyatakan bahwa orang berdosa besar itu belum muncul karena masih ada
yang menahannya. Theologi Reformed menyebut penahan itu sebagai anugerah umum (common grace).
Maka menurut John Calvin, anugerah umum itu mencakup: 1) Pemerintah;
karena pemerintah yang paling buruk masih lebih baik daripada tidak ada
pemerintah; 2) Hukum negara; 3) Semua peraturan dalam masyarakat; 4)
Hati nurani; 5) Opini masyarakat; 6) Kebudayaan; 7) Tradisi; 8) Agama.
Unsur-unsur ini menyebabkan manusia takut mendapatkan celaka, balasan,
dan hukuman, sehingga membendung manusia untuk melakukan dosa dan
tindakan yang lebih mengerikan. Di sini kedaulatan Allah nyata, bahkan
berlaku kepada orang yang bukan Kristen sekalipun.
Adanya anugerah umum memungkinkan suatu
daerah yang bukan Kristen bisa lebih damai dan lebih baik dibanding
dengan daerah Kristen. Oleh karena itu, orang Kristen tidak boleh
sombong. Bahkan mungkin saja orang yang beragama bisa lebih berani
berbuat jahat ketimbang orang yang tidak beragama. Semua ini bisa
terjadi karena adanya anugerah umum. Maka, orang atheis, orang sekuler bisa melakukan kebajikan berdasarkan anugerah umum. Maka, kembalikan semua kemuliaan kepada Allah, kita tidak memiliki jasa apa pun.
Kita telah menyinggung Rahab, Schindler,
dan Corrie ten Boom. Mereka telah berbohong demi menyelamatkan nyawa
orang lain. Tindakan ini mirip seperti yang menjadi landasan dari Etika
Situasi. Ajaran Etika Situasi mengatakan bahwa seseorang boleh berdusta
jika dengan alasan dan motivasi kasih. Sebelum makan, orang Yahudi biasa
cuci tangan terlebih dahulu. Ketika suatu kali orang Yahudi menemukan
bahwa murid-murid Tuhan Yesus makan tanpa mencuci tangan, mereka
bertanya kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menjawab, “Makanan yang masuk
tidak menajiskan jiwa; tetapi perkataan yang diucapkan mulut, yang
keluar dari hati yang jahat; itulah yang mendatangkan malapetaka bagi
orang lain.” Yesus menegur mereka karena mereka hanya memikirkan hal
yang remeh, tentang cuci tangan, tetapi melupakan hal yang terpenting,
yaitu makanan rohani. Pada zaman ini, orang kalau kurang makan sedikit
saja, langsung marah-marah; sementara ketika mendengarkan khotbah yang
salah, tidak bereaksi apa-apa. Maka, tidak heran Tuhan Yesus menegur
orang Yahudi, “Kamu mencari Aku bukan karena telah melihat tanda, tetapi
karena sudah makan dan menjadi kenyang.” Dia memisahkan orang yang
telah melihat tanda dan orang yang ingin makan. Kita perlu mengerti
siapa Tuhan dari apa yang Ia lakukan. Tetapi orang lebih suka pada hasil
apa yang Tuhan lakukan. Di sini kita melihat bahwa Tuhan Yesus
mengetahui isi hati manusia lebih dari siapapun. Ketika Tuhan Yesus
memberikan firman, mereka tidak menghiraukan. Ini berbeda dari Rahab
yang mengutamakan perkara yang kekal. Dari apa yang terjadi di dalam
sejarah, ia mengerti siapa Allah orang Israel. Ketika Rahab atau Corrie
berbohong, itu bukan karena Tuhan yang menggerakkan atau mengizinkan dia
berbohong, tetapi karena ia merasa tidak ada cara lain. Manusia memang
terbatas, sehingga sekalipun ia seorang rohani, di saat tertentu ia
menjadi takut ketika diperhadapkan pada satu situasi yang menakutkan.
Orang tua, guru, dosen, bahkan pendeta atau penginjil adalah manusia
yang memiliki kelemahan. Itu sebab, kita sangat menghargai orang Kristen
yang imannya sejalan dengan kelakuannya. Berkata mudah, menjalankan
sulit. Saya rasa Tuhan mengerti ketika Rahab, Schindler, Corrie ten Boom
berbohong, karena mereka merasa tidak ada jalan lain. Dia akan
mengampuni kita. Tetapi tidak boleh dibalik, karena aku berniat menolong
orang, maka bohong itu bisa dibenarkan. Itu tetap dosa. Salah tetap
salah, benar adalah benar. Tetapi saat engkau ingin menolong orang lain
dan tidak mempunyai cara lain, tidak mempunyai keberanian untuk berkata
jujur, maka mungkin engkau berbohong. Maka, kembali ke hukum kesembilan,
jangan merugikan atau mencelakakan orang lain, apalagi dengan menjadi
saksi dusta.
Ada orang-orang yang dalam keadaan yang
sulit diberi kekuatan untuk berani berkata jujur. Ada seorang ibu yang
menyuruh anaknya yang baru berusia sebelas tahun untuk mengantar uang ke
rumah kakeknya yang sedang sakit. Tetapi karena perjalanan berbahaya,
ibu itu memasukkan uang itu ke kaos kaki anaknya. Ketika anaknya di
tengah jalan, ia dihadang perampok. Perampok itu bertanya, “Mau ke
mana?” Dia menjawab dengan sangat tenang, “Mau ke rumah kakek.” Perampok
itu bertanya lagi, “Apakah engkau membawa uang?” Dia mulai sedikit
gelisah, kalau dia berkata jujur, pasti uang itu diambil dan kakeknya
yang sakit mungkin akan mati; tapi kalau ia berbohong, lalu digeledah
dan ditemukan, ia pasti dipukuli sampai mati. Maka ia menjawab jujur.
Dia berkata, “Ya, saya membawa uang.” Ditanya, “Di mana?” Ia menjawab,
“Uang yang saya bawa bukan uang biasa.” Perampok itu heran, “Apa
maksudmu?” Lalu anak itu bercerita, bahwa uang itu dibawa untuk
pengobatan kakeknya yang sakit keras. Lalu ia mengeluarkan uang itu dari
kaos kakinya, dan berkata, “Inilah uang yang mama berikan untuk
pengobatan kakekku.” Perampok itu bertanya, “Kakekmu sakit apa?” Dengan
nada yang sudah melunak, si anak menceritakan sakit kakeknya dengan
sedih. Akhirnya, perampok itu berkata, “Ok, bawalah uang itu untuk
kakekmu, saya minta sedikit saja.”
Ada kisah lain yang dicatat dalam buku
Prof. Sorokin dari Harvard University, mantan Sekretaris Umum Partai
Komunis di zaman Stalin. Ia membenci komunisme dan mencari suaka politik
di Amerika Serikat. Di dalam buku itu ada kisah yang menceritakan
kekuatan besar yang terkandung dalam kata-kata yang jujur dan penuh
cinta kasih, yang sanggup menyentuh hati orang jahat dan mengubahnya.
Suatu kali, ada seorang perempuan tua, bendahara dari satu yayasan orang
tua yang baru saja mengumpulkan dana lebih dari lima belas ribu dolar.
Ia membawa uang itu ke apartemennya di Manhattan, menaruhnya di laci dan
tidur. Pada tengah malam itu, seorang maling berperawakan tinggi besar
masuk ke apartemennya, menodong dia dengan pistol sambil membangunkan
dia. Nenek itu bangun terkejut, tetapi dia masih dapat berkata dengan
tenang, “Mengapa engkau datang di rumahku?” Ia menjawab, “Aku butuh
uang, serahkan uangmu kepadaku.” “Seharusnya engkau tidak menjadi orang
jahat seperti ini,” kata nenek itu dengan lembut, “ayo duduk. Kalau
hidupmu susah, carilah pekerjaan.” Penjahat itu membentak, “Jangan
banyak bicara, serahkan uangmu!” Nenek berkata, “Kamu masuk ke tempatku
tanpa permisi, jangan galak-galak seperti itu. Di tempatku memang ada
uang. Tetapi uang itu bukan milikku.” Perampok itu menyanggah, “Tidak
peduli, serahkan kepadaku!” Nenek itu melanjutkan, “Uang itu adalah uang
perhimpunan sosial yang akan dipakai untuk menolong orang-orang lanjut
usia, khususnya mereka yang terbaring di rumah sakit karena kena kanker.
Kemarin kami berhasil mengumpulkan lima belas ribu dolar lebih. Besok
akan kubagikan pada orang-orang yang membutuhkan.” Nenek itu berbicara
dengan jiwa yang sangat stabil dan jujur. Perampok itu terharu, tetapi
ia pikir apakah aku akan keluar dari sini tanpa membawa hasil? “Tetapi
kalau aku ambil uang itu, aku berdosa.” Di sini common grace bekerja.
Wanita tua itu mengeluarkan uang dari laci dan berkata, “Ini uangnya,
tetapi kalau engkau mengambil uang yang sedianya dipakai untuk menolong
orang miskin yang sakit ini, engkau berdosa.” Perampok itu berkata,
“Tetapi aku butuh uang.” Nenek menyanggah, “Orang lain lebih
membutuhkannya darimu.” Lalu perampok itu melunak, “Apa yang harus aku
perbuat, Bu?” Dijawab, “Pergilah dari sini, aku ingin tidur.” Perampok
itu setuju, lalu berjalan ke arah pintu. Tetapi ia kemudian berbalik dan
berkata, “Aku rasa kata-katamu betul. Ada banyak orang tua yang miskin
dan susah. Aku juga mau ikut berbagian.” Ia mengeluarkan sepuluh dolar
dari sakunya dan memberikannya kepada wanita tua itu dengan pesan,
“Tidak usah tulis namaku. Aku percaya. Engkau adalah orang yang jujur.
Aku ingin berbagian supaya aku diberkati Tuhan.” Prof. Sorokin
mengomentari bahwa manusia tidak seburuk apa yang kita pikirkan. Orang
jahat pun masih memiliki hati nurani. Kalau kata-kata kita jujur, jiwa
kita stabil, mungkin kita bisa menggerakkan dia menjadi lebih baik.
Mahatma Gandhi, yang hidup di abad ke-20, sanggup menaklukkan hati
Kerajaan Inggris Raya, yang waktu itu merupakan kerajaan terbesar di
dunia, tanpa menggunakan senapan atau peluru, karena kekuatan batin
tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan mesin perang. Jadi, orang yang
lemah, kurang rohani, memang bisa berbohong, maka mintalah agar Tuhan
memberi engkau kekuatan, memiliki batin yang stabil, dan lebih berani
daripada orang jahat. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.
Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong