Terjemahan lain: hendaklah kita
bersandar pada Kristus, selalu menaikkan pujian sebagai korban pada
Allah, itulah buah yang dihasilkan dari mulut bibir orang yang mengaku
Kristus sebagai Tuhannya.
Tiga minggu lalu, kita sudah membahas
tentang hak istimewa yang orang Kristen miliki : berbagian di dalam
sengsara Ilahi. Apa maksudnya? Tuhan mempercayai kita, memperbolehkan
kita berbagian dalam penderitaan, penghinaan yang diterimaNya. Tentu
bukan maksud saya mengatakan penderitaan kita bisa menyelamatkan diri
sendiri orang lain, tapi the more we suffer because of Jesus Christ, the more we understand the deep love of God.
Di dunia ini, kita tidak mempunyai
tempat tinggal yang kekal. Ingat: ketika Abraham dipanggil keluar dari
Mesopotamia, umurnya 75 tahun, saat dia dipanggil pulang ke sorga
usianya 175 tahun, artinya, dia mentaati panggilan Tuhan, meninggalkan
rumahnya yang besar di Ur beserta istrinya—salah seorang wanita
tercantik, bukan hanya di zamannya, bahkan di sepanjang sejarah, karena
waktu dia sudah berusia 90th. Masih ada raja yang menaksirnya—selama 100
tahun, tidak lagi tinggal dirumahnya. Banyak kali, waktu suami-suami
dipanggil menjadi hamba Tuhan, si istri justru menjadi setan; Tuhan
menyuruhnya menjalani jalan sorga, setan menyuruhnya menjalani jalan
dunia. Namun nyonya Abraham luar biasa, Tuhan memanggil suaminya keluar,
diapun ikut, meski sampai mati tidak lagi pernah tinggal di rumah
barang satu haripun, melainkan tinggal di tenda. Mengapa mereka tinggal
di tenda? Karena mereka tahu, rumah mereka bukan di dunia (ayat 14).
Kita perlu selalu mengingat, hidup kita di dunia hanyalah sementara,
hanya sebagai tamu, karena dunia bukanlah tempat kita, tempat kita di
sorga yang kekal. Sebab itu, jangan menambatkan hati kita di dunia yang
fana, karena suatu hari nanti, kita harus melepaskan semua yang ada di
dunia.
Ayat 15, hendaklah kita bersandar pada
Kristus untuk mempersembahkan korban syukur kepada Allah, artinya, kita
yang sudah melibatkan diri dalam penderitaan Kristus, baru bisa mengerti
dunia ini sementara adanya. Bagaimanakah kita bisa menang atas
kesusahan? Kalau kita tahu apa itu kesusahan, dari mana datangnya
kesusahan, apa`tujuannya seorang menderita susah, kesusahan membawa kita
kemana? Hanya orang yang mengenali kesusahan berkemungkinan melepaskan
diri dari ikatan-ikatan kesusahan, tapi orang yang tidak mengenalinya
akan tenggelam dalam kesusahan.
Karenanya ada orang yang menderita
sepuluh kali lipat dari kesusahan orang tetap bisa bertahan, sementara
yang lain baru mengalami sedikit kesusahan sudah bunuh diri. Saya kira ,
salah satu agama yang paling banyak membahas kesusahan adalah agama
Budha. Agama Budha dimulai dari rasa tercengang, surprise yang dialami oleh Sakyamuni,
seorang Putra Mahkota yang masih muda, saat berjalan-jalan di luar
istana, dia menemukan ada ibu yang melahirkan anak dalam kesakitan, ada
orang tua yang terus menerus mengerang di tempat tidur, ada orang yang
menangis karena ditinggal mati oleh salah seorang anggota keluarganya,
ada juga orang yang menderita sakit menahun. Baginya , keempat hal itu:
lahir, tua, sakit, mati, membuat hidup manusia sengsara, mari kita
mencari jalan untuk keluarnya. Mengapa ada penderitaan? Jawaban mereka
sangat sempit: penderitaan datang dari keinginan, maka jalan untuk
terlepas dari penderitaan hanya satu: meniadakan keinginan, mencapai
nirwana (tempat dimana tidak ada keinginan). Masalahnya, kalau manusia
tidak mempunyai keinginan, apa bedanya dengan binatang? Bagaimana
kekristenan memandang kesulitan? Apakah keinginan merupakan satu-satunya
sumber penderitaan? Tidak. Paulus memisahkan antara nafsu jahat, yang
harus dipakukan diatas kayu salib dengan keinginan yang baik, seperti
menuntut kebajikan, keadilan …..Kitab Suci mengajarkan, penyebab
penderitaan bukan hanya keinginan saja, melainkan ada empat:
- Bumi yang terkutuk; Setelah Adam berdosa, bumi ini terkutuk,
tumbuhlah semak duri, juga menjadi tidak stabil ;harmonis, terjadilah
bencana alam yang membuat manusia menderita, seperti gempa bumi, letusan
gunung berapi, tsunami…
- Dosa; Dosa mengundang hukuman, hukuman Allah, hukuman alam, hukuman sosial. Jika kau suka menipu, orang tidak akan perjaya padamu lagi, kalau seluruh masyarakat tidak lagi percaya padamu, mana mungkin kau bisa menjalani hidup dengan baik, kau tentu akan menderita. Selain dosa sendiri, dosa orang lain juga bias mendatangkan penderitaan atas diri kita
- Ujian dari Allah yang membuatmu terus menerus bertumbuh. Bagaikan yang dialami oleh Abraham, Ayub….
- Setan yang berusaha menghancurkan iman orang Kristen, merusak kehendak Tuhan di dalam diri anak-anakNya.
Lewat Kitab Suci kita melihat dengan
jelas, dari mana datangnya penderitaan, penderitaan macam apa yang
sedang kita alami. Salah satu penderitaan yang paling berharga adalah
memperoleh kepercayaan dari Tuhan untuk berbagian di dalam penderitaan
Kristus. Untuk itu, kita perlu belajar menaikkan syukur kepada Tuhan.
Mulut kita jahat, sering mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya
kita ucapkan, tapi syukurmu pada Tuhan justru sedikit sekali. Apa yang
dikatakan ayat ini? Mari kita berinisiatif menaikkan syukur; mengucapkan
terima kasih pada Tuhan. Mungkin kau berkata, aku juga pernah berterima
kasih pada Tuhan. Kapan? Kalau aku mendapat lotre, hadiah besar.
Permisi tanya, waktu kau sakit, adakah kau mengomel? Ya. Waktu kau
sehat, adakah kau bersyukur? Tidak bukan?
Jadi waktu sehat tidak memuji Tuhan,
tapi waktu sakit kau mengomel padaNya, dan saat kau sembuh, kau tidak
menyadari kapan kau sembuh. Mengapa? Karena kita tidak terbiasa memuji
Tuhan saat kita lancar, hanya tahu mengomel saat kita tidak lancar—suatu
kebiasaan rohani yang jelek sekali. Mari kita bersyukur kepada Tuhan,
itulah ajakan, tantangan dan anjuran dari penulis Ibrani. Ayat ini
ditulis setelah penulis berbicara tentang menderita bersama Kristus,
pertanyaannya: bagaimana bisa bersyukur saat kita menderita?
Sesungguhnya, memuji Tuhan pada saat
menderita barulah berarti, barulah menandakan kemahiran hidup kita yang
baru. Jika orang hanya bisa memuji Tuhan pada saat dia mendapat lotre,
sehat, semuanya indah, itu tandanya kerohaniannya masih dangkal. Ketika
saya berbicara sampai di sini, saya ingat kisah yang disampaikan Dr.
Andrew Gih; dulu, di Tiongkok ada seorang tua yang selalu berseru
“haleluya” saat mendengar khotbah. Majelis memintanya tidak melakukan
hal itu, tapi katanya “tidak bisa, waktu hati saya senang, kata haleluya
secara otomatis keluar dari mulut saya” majelis menemukan satu akal;
kalau bapak bisa mendengar khotbah dengan tenang, waktu Natal nanti,
kami akan menghadiahkan sebuah selimut berwarna merah untukmu, “OK”,
maka setiap kali dia ingin berseru haleluya, dia tahan. Sampai suatu
hari, dia mendengar sebuah khotbah yang penting, dengan spontan dia
berseru haleluya, seorang majelis memandang dia dengan mata melotot.
Lalu kata orang itu sambil menoleh ke majelis gereja: “saya tidak mau
selimut, saya mau memuji Tuhan”.
Saya juga ingat akan dua orang, yang
seorang di Bali, waktu dia mendengar kalimat-kalimat penting dalam
khotbah saya, dia berseru: “ya”, orang yang duduk di sebelahnya sering
dibuatnya terkejut. Yang seorang lagi di Surabaya, setiap kali dia
mendengar kalimat yang penting, dia berseru :Haleluya! Mengejutkan
banyak orang. Waktu mereka masih hidup, saya rasa sedikit terlalu ribut,
tapi sejujurnya, setelah mereka meninggal, saya merasa sepi. Tentu
bukan maksud saya menyuruh anda ikut-ikutan berseru haleluya saat
mendengar khotbah.
Selalu bersyukur pada Tuhan itu mudah
atau tidak? Tidak mudah. Di atas sebuah bukit di Inggeris terdapat
sebuah gereja kecil, pendetanya selalu menaikkan doa syukur di dalam
kebaktian. Suatu kali, turun salju yang lebat, tak ada orang yang bisa
ke gereja, seorang pemuda ingin sekali menyaksikan apakah pendetanya
masih bisa bersyukur, maka meski harus berjalan dengan sulit, dia tetap
pergi ke gereja. Kebaktian dimulai, hari itu yang datang berbakti hanya
dia seorang. Saat bersyukur, dia memasang telinga. Dan tahukah anda,
bagaimana pendeta itu bersyukur? “Tuhan, kami bersyukur, kepadaMu,
karena biasanya bukan seperti ini, amin.” Pemuda itu salut, karena di
waktu susah, pendeta itu sanggup memikirkan hari-hari yang sudah lewat
dan tetap bersyukur kepada Tuhan. Mengapa
kita membiarkan kesulitan yang sehari menghanyutkan kita melupakan
anugerah yang pernah Tuhan curahkan selama puluhan tahun? Kalau
hari ini, orang yang paling kita kasihi mati, kita harus menjadi janda
atau duda, kita tetap bisa bersyukur, karena hari-hari yang lampau bukan
seperti ini. Dia pernah memberi kita pasangan hidup yang baik. Inilah
caranya bersyukur:berterima kasih untuk anugerah yang Tuhan sudah beri.
Dengan cara seperti ini, kita mampu melihat, walau hari-hari susah dalam
hidup kita banyak, tapi hari yang penuh dengan anugerah juga tidak
kalah banyaknya.
Di Surabaya, ada sepasang suami isteri,
selama empat puluh lima tahun, tak pernah berpisah barang satu haripun.
Tapi setelah si suaminya mati, si isteri bagaikan tak bisa hidup lagi,
dia susah setengah mati. Saya membesuk dia, dia tak henti-hentinya
mengomel, saya bertanya “apakah kau mengharapkan hidup bersama dan mati
bersama suamimu” “ya, saya tidak mau ditinggal seorang diri” saya
menghibur dia, tapi tak berhasil. Katanya, pak Tong, saya tahu semua
yang anda katakan, tapi saya tetap tidak bisa menerima, mengapa Tuhan
memanggilnya. Saya mendoakan dia dan pulang. Di perjalanan pulang, saya
memikirkan satu perkara, jadi Tuhan itu susah. Dia memberi mereka hidup
begitu rukun, salah juga.
Konon, Lord Rally, di Inggris, sering bertengkar dengan istrinya, setelah istrinya mati, di batu nisan istrinya dia menuliskan, here rest my beloved wife, she is now at peace, kemudian ditambah sebuah kalimat and so am I.
Kau tak mau bersyukur pada Tuhan, apakah kau juga ingin Tuhan
membiarkanmu setiap hari bertengkar dengan pasangan hidupmu, sampai
salah satu dari kalian dipanggil pulang Tuhan baru bersyukur kepadanya?
Sejak usia dua puluh tahun saya sudah
berpikir; kalau dokter memvonis saya, usiamu sisa dua bulan lagi, apa
yang akan saya lakukan? Tenang dan bersyukur pada Tuhan, karena dulu
saya tidak sakit, baru sekarang menderita sakit dan masih diberi waktu
dua bulan, saya akan membeli sebanyak mungkin traktat, setiap hari
membagi-bagikannya pada orang, menginjili orang dan mengajak orang
menerima Yesus. Meski akhirnya harus mati, tapi sebelum mati, saya mau
cepat-cepat mengerjakan apa yang tak bisa saya kerjakan setelah saya
mati. Karena kesempatan-kesempatan yang ada di dalam kurun waktu ini
begitu berharga. What can I do, Lord, teach me to do it, strengthen me to do it, give me power to do it, give me wisdom to do it .
Bersyukur, selalu bersyukur dan
bersyukur…inilah buah dari mulut bibir orang yang menyebut diri anak
Tuhan. Pada saat itu, orang yang berani menyebut Allah sebagai Tuhannya
adalah orang yang siap untuk mati. Karena kerajaan Romawi sudah
menetapkan: tak seorangpun boleh menyebut siapapun di luar Kaisar
sebagai Tuhan. Namun setelah Yesus bangkit dari kematian, orang Kriten
menyebut Yesus sebagai Tuhan, bahkan menyebut Sunday is a day of the Lord, Jesus is our Lord, our Savior.
Saat orang Romawi menemukan, ada sekelompok orang yang berani menyebut
hari Minggu sebagai hari Tuhan, menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka
memutuskan, orang-orang itu harus dipenggal kepala. Maka ayat ini
menjadi penting sekali: mari kita bersyukur kepada Tuhan, sebagai buah
dari mulut bibir setiap orang yang menyebut Yesus sebagai Tuhannya.
Orang yang menyebut Yesus sebagai Tuhan adalah orang yang bersedia
dibunuh; mati syahid, juga orang yang memakai mulut bibirnya untuk
memuji Tuhan. Kalau kita memakai mulut bibir kita menyebut Yesus sebagai
Tuhan, sementara kita juga terus menerus mengomel, mana mungkin kita
mencerminkan hidup yang serasi, saksi Kristus yang konsisten?
If you truly call Jesus Lord, let your lip give offering of praise to Him.
Meski menderita, bairlah kita tetap stabil, meski harus menerima
sengsara karena Kristus biarlah kita menjalaninya dengan rela, sebab
kita tahu, dunia ini sementara, kita sedang mengharapkan kota yang kekal
di sorga. Perhatikan: orang yang selalu bersyukur, selalu optimis,
selalu lebih berpikir positif, selalu berterima kasih kepada Tuhan,
hidupnya lebih kuat. Tapi orang yang selalu mengomel, hidupnya justru
semakin suram. Marilah kita belajar menjadi orang yang berkata, Tuhan,
aku bersyukur, bersyukur dan bersyukur.
Selama tiga belas bulan terakhir ini,
saya terus menerus batuk, tapi tak satu kalimat omelan yang saya
lontarkan kepada Tuhan, karena toh saya masih bisa berkhotbah, puji
Tuhan. Meski begitu sulit, saya masih tetap bisa berkhotbah, setiap
minggu masih bisa menghampiri ribuan orang, puji Tuhan. Karena
bersyukur, bersyukur, berterima kasih, berterima kasih….setan tidak
punya kemungkinan mengganggu kita, membuat lemah rohani kita, membuat
kita marah pada Tuhan atau mengomel pada orang lain. Karena selalu
bersyukur, lembah bayang-bayang maut, kesusahan akan berlalu, suatu hari
nanti kita akan beroleh kemenangan, terbukti bahwa diri kita tahan uji.
Terakhir: di tengah penderitaan, setan menunggu kau memaki Tuhan dan
dia merasa senang, tapi Tuhan menunggu kau memuji Dia, agar namaNya
dipermuliakan. Kau mau dipakai oleh tangan yang mana: dipakai oleh Tuhan
untuk mempermalukan setan atau kau dipakai oleh setan untuk
mempermalukan Tuhan, kau mau bersyukur untuk memuliakan Tuhan atau
bersungut-sungut untuk mempermalukan Tuhan? Hari ini, mari kita belajar
menjadi orang yang bersyukur kepada Tuhan, maukah saudara?
(ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah–EL)
Ringkasan khotbah : Pdt. Dr. Stephen Tong
Sumber : http://www.nusahati.com/2012/05/senantiasa-bersyukur-pada-tuhan/