Kamis, 28 Juli 2011

Niat dan Kuasa Pelayanan (Bagian 3)

Ketika Yohanes Pembaptis akan dikaruniakan bagi dunia ini, malaikat diutus dengan membawa satu kalimat penting, “Dia akan mempunyai niat dan kuasa dari Elia.”[1] Di dalam Kitab Suci, Elia dan Yohanes Pembaptis dikategorikan sama-sama mengembalikan hati umat kepada Bapa dan mengembalikan hati Bapa kepada anak-anak-Nya. Kedua orang ini sama-sama memiliki kesuksesan yang luar biasa, seorang di dalam Perjanjian Lama dan seorang di dalam Perjanjian Baru untuk membangkitkan kebangunan rohani seluruh bangsa agar kembali kepada Tuhan.

Tema kita adalah “Niat (Semangat) dan Kuasa”. Saya melihat dua hal ini hilang dari pelayanan kekristenan di abad ke-20. Niat berada dalam lingkup keinginan. Keinginan, perasaan, dan pikiran adalah tiga unsur pembentuk sesuatu yang disebut pribadi. Unsur pertama adalah pikiran (rasio) lalu kedua, emosi, dan ketiga, kemauan/keinginan. Rasio menyebabkan kita bisa menganalisis, berpikir, mengingat, menyelidiki, merenung, dan berimajinasi. Rasio berkaitan erat dengan pengertian. Emosi mengakibatkan kita bisa senang, susah, marah, benci, dan bisa memiliki api perjuangan, karena ada suatu dorongan kuat untuk menuju kepada apa yang kita benci atau kita cintai. Kemauan menentukan arah hidup kita dari apa yang kita pikirkan, kita cintai, kita senangi.

Jika kita memiliki ketiga unsur tersebut dengan stabil dan seimbang maka hidup kita akan sehat. Jika kita mempunyai rasio kuat tetapi emosi lemah; atau emosi kuat tetapi kemauan lemah; atau emosi kuat tetapi rasio lemah, dan seterusnya, akan membuat orang tidak bisa hidup dengan baik. Theologi Reformed ingin kita memikirkan firman Tuhan dengan baik dan seimbang. Iman Reformed ingin kita menjadi orang intelektual yang rasional, tetapi tidak jatuh ke Rasionalisme. Kita tidak menyembah rasio. Rasio harus ditaklukkan ke bawah Firman yang diwahyukan oleh Tuhan, barulah rasio itu berarah benar. Di Regent College, Vancouver, saya berkhotbah, “Kamu theolog-theolog Barat selalu menaruh theologi di dalam kulkas. Sekarang demi nama Tuhan, saya harap kalian mengeluarkan theologi yang dingin itu dan membuatnya panas.” Kita dipanggil menjadi orang yang mengubah dunia, kita harus mempunyai api. Oleh karena itu, otak, emosi, kemauan, ketiga hal ini harus menjadi satu garis, disinkronkan, diimbangkan agar kita mempunyai kekuatan untuk menampilkan sesuatu, untuk menarik perhatian orang lain. Jika kebaktian kita dingin, orang tidak ingin datang. Orang tertarik pertama-tama karena ada kehangatan, ada api. Banyak orang Protestan setelah lulus sekolah theologi semakin dingin dan mati. Saya sudah berkhotbah tentang “Pengudusan Emosi” tetapi belum berbicara tentang Pengudusan Rasio dan Pengudusan Kehendak. Niat, api, dan perjuangan perlu dikuduskan. Di seluruh dunia saya belum menemukan buku dan tema ini dibahas dengan tuntas.

Alkitab mengatakan, “Anak yang dilahirkan, yaitu Yohanes, akan seperti Elia, mempunyai niat dari Elia, mempunyai kuasa seperti Elia.” Doktrin sangat penting, tetapi Yohanes Pembaptis bukan hanya memiliki doktrin, melainkan juga mempunyai niat dan kuasa. Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang yang dipakai Tuhan dan memiliki massa yang besar memiliki unsur niat dan kuasa ini.

Niat itu ada di mana? Apakah niat itu ada di dalam hatimu? Ketika saya baru bertobat di usia 17 tahun, belum banyak mengerti theologi dan belum tahu bagaimana berkhotbah, tetapi karena kerinduan memberitakan Injil pada anak-anak, maka saya kumpulkan anak-anak untuk mendengar saya berkhotbah. Di situ saya belajar bagaimana membuat mereka agar tidak pergi meninggalkan saya. Saya harus membuat mereka terus tertarik. Ketika saya berkhotbah, saya tidak mengizinkan satu detik pun setan masuk dan ambil bagian, saya tidak mengizinkan satu detik pun pikiran lain masuk dan mengganggu. Akibatnya, pendengar terus dipimpin untuk mendengar firman Tuhan sampai pada waktu panggilan untuk menerima Tuhan. Niat ingin orang mendengar firman tanpa diganggu itu begitu kuat. Ketika muda, saya berkhotbah tanpa gelar, tanpa pengalaman, yang ada adalah niat yang kuat untuk mau dipakai Tuhan. Ketika orang memuji, saya merasa senang, tetapi saya langsung ditegur oleh Roh Kudus. Saya minta ampun karena mau mencuri kemuliaan Tuhan. Maka, saya harus mati terhadap semua pujian.

Di dalam Perjanjian Lama ada seorang bernama Elia, di dalam Perjanjian Baru ada Yohanes Pembaptis. Elia berbeda dari Yesaya. Yesaya berasal dari keluarga bangsawan, kaya, dan berkedudukan tinggi. Elia berasal dari desa kecil bernama Tisbe (1Raj. 17:1), tidak ada reputasi orang tua, posisi keluarga, maupun kebanggaan pribadi. Tetapi Tuhan bisa memakainya begitu luar biasa. Elia begitu berani dalam pelayanannya karena dia begitu dekat dengan Tuhan. Kini di Indonesia perlu orang-orang yang memiliki niat seperti Elia. Elia begitu melihat takhta Tuhan sehingga ia sama sekali tidak peduli dengan takhta politik atau takhta lainnya. Yohanes Pembaptis juga demikian. Banyak orang berpikir bahwa jadi pendeta adalah hal yang hina dan berjuang untuk takhta Tuhan adalah hal yang sia-sia. Tetapi bagi saya tidak. Elia dan Yohanes Pembaptis menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang memiliki niat begitu kuat, berjuang demi takhta Tuhan. Dahulu ada seorang profesor musik berkata kepada saya, “Kemarilah, saya akan jadikan kamu penyanyi terkenal. Dulu saya pernah ingin jadi pengkhotbah, tapi sekarang saya jadi musisi terkenal.” Saya menjawab, “Saya dulu ingin jadi musisi terkenal, tetapi sekarang saya pengkhotbah.” Yang berniat jadi orang kaya banyak, yang berniat jadi presiden banyak, yang berniat cari kedudukan banyak. Yang berniat untuk Kerajaan Tuhan, yang berniat untuk sungguh-sungguh memuliakan Tuhan sedikit sekali. Tapi malaikat berkata, “Yang akan engkau lahirkan akan memiliki roh (keinginan) dan kuasa seperti Elia.” Di dalam Perjanjian Lama, Elia adalah orang yang paling tersendiri, yang paling tidak dimengerti, dan mempunyai begitu banyak musuh. Tetapi dia telah mengakibatkan kebangunan suatu bangsa. Itu terjadi karena dia bersandar penuh kepada Tuhan. Dia hidup bersandar kepada Tuhan bukan kepada orang, dia hidup beriman kepada Tuhan. Saya boleh pakai pakaian yang paling sederhana, makan makanan yang paling murah, tetapi saya tidak boleh berkompromi dan tidak taat kepada Tuhan. Tuhan perintahkan ke mana, saya ke sana. Di sana bagaimana susah pun, saya tetap taat.

Setelah selesai pengujian, Tuhan berkata, “Pergi ke seorang janda.” Jika saya diberi perintah seperti ini, saya enggan sekali karena khawatir nanti disangka saya berbuat yang tidak baik dengan janda tersebut. Terkadang Tuhan memberi perintah yang tidak lazim dan engkau tetap harus menjalankannya. Elia berkata, “Saya mau menginap di sini.” Kalau sekarang ada pendeta mau menginap di rumah saya, saya harus menguji dia apakah benar dia pendeta atau pendusta. Bukan saja Elia tinggal di rumah janda itu, tetapi ia juga minta diberi makan. Janda itu berkata kepada Elia, “Aku dan anakku dalam bahaya kelaparan. Aku tidak punya uang dan suamiku sudah mati, sisa satu anak dan anak ini perlu sekali makanan.” Janda ini hanya memiliki sedikit minyak dan sedikit tepung. Jika itu dijadikan roti maka itulah makanan terakhir bagi janda dan anaknya setelah itu mereka akan mati kelaparan. Sekarang roti terakhir ini diminta oleh hamba Tuhan. Janda ini adalah seorang yang mengutamakan Tuhan dan mengutamakan orang lain. Hari ini orang Kristen semacam ini sangat sedikit. Ia berpikir bahwa dia dan anaknya tidak apa tidak makan, asal hamba Tuhan itu bisa makan dan hidup. Ia lebih mengutamakan pekerjaan Tuhan. Namun, hal ini tidak berarti memberikan hak kepada para pendeta untuk minta diutamakan. Elia diperlakukan seperti ini karena sebuah perintah khusus, bukan karena keinginan dirinya sendiri. Namun setelah itu, ternyata minyak dan tepung itu tidak habis. Tuhan Allah memelihara janda dan anaknya melalui Elia. Ini membuktikan bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup. Ia senantiasa bekerja dan Ia tidak meninggalkan anak-anak-Nya.

Gerakan Reformed di Indonesia memerlukan mujizat. Mujizat apa? Mujizat orang berniat, berniat membangkitkan Gerakan Reformed, dan yang berniat harus rela berkorban. Ketika saya pertama kali memulai gerakan yang Tuhan berikan, saya harus pergi meninggalkan kota Malang walaupun di sana saya telah memiliki jaminan hidup, rumah, dan lain-lain. Saya pergi ke Jakarta, memulai Gerakan Reformed Injili ini dengan 730 hari sama sekali tidak menerima honor dan tidak mempunyai rumah. Inilah pelayanan. Ketika Tuhan memberikan perintah, tidak ada bantahan, tidak ada penolakan, yang ada hanyalah ketaatan dan kerelaan berkorban. Inilah niat untuk mau mengerjakan pekerjaan Tuhan. Niat itu disertai dengan mau sengsara, mau menderita, mau berkorban, mau menyangkal diri, mau pikul salib, mau taat pimpinan Tuhan, mau dilatih, mau diuji, mau miskin, mau berada di dalam segala situasi yang lain dari pengharapan dan yang Saudara pikirkan.

Demikian pula ketika niat untuk membawa satu zaman dari sebuah trend yang membawa gereja ke musik sampah untuk kembali mengerti musik yang agung dan bernilai tinggi. Saya melayani musik gerejawi selama 52 tahun. Sejak pertama hingga sekarang saya belum pernah menerima honor untuk itu dan saya belum pernah meminta kepada orang kaya untuk dibiayai. Saya membeli skor musik dengan uang saya sendiri. Ketika pertama kali mendirikan Jakarta Oratorio Society (JOS), banyak orang menertawakan mengapa ada orang yang mau menyanyikan lagu-lagu tua. Saya sangat menghargai orang-orang yang dari pertama mencurahkan keringat, berkorban untuk menggarap musik bermutu sampai sekarang. Kita telah mementaskan lagu-lagu dari oratorio Messiah yang dihadiri oleh 9.100 orang dalam dua kali pagelaran. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah musik Indonesia. Inilah hadirin terbesar dalam sebuah performance musik klasik di sepanjang sejarah Indonesia. Kita berjuang agar ribuan orang mengerti dan menikmati theologi yang terbaik. Kita berjuang agar ribuan orang mengerti dan menikmati musik yang terbaik. Mengapa Symphony no. 9 dari Beethoven hanya dihadiri oleh 400 orang kalau bisa dihadiri oleh 1.000 orang? Kita harus berusaha agar ribuan orang bisa mengerti theologi yang benar, etika yang benar, pendidikan yang benar, dan untuk itu perlu niat yang kuat.

Saya tidak tahu bagaimana Elia berdoa, tetapi yang saya tahu adalah Elia naik ke atas bukit dan kepalanya ditaruh di kedua pahanya (1Raj. 18:42). Elia begitu merendahkan diri dan hanya minta kehendak Tuhan yang jadi. Di hadapan Ahab, dia berdiri tegak; di hadapan Tuhan Allah, Elia berlutut. Di hadapan manusia, tidak berkompromi; di hadapan Allah, tidak berani membangkang. Itulah niat pelayanan! Itulah orang yang mau dipakai oleh Tuhan! Setelah selesai berdoa, Elia menghadap Ahab, keberaniannya sama sekali tidak di-korting. Ketika Elia menegur Ahab, isteri Ahab yang jahat ikut mendengarkan dan mengajar Ahab untuk tidak melakukan keadilan, melainkan agar memakai kuasa dengan sewenang-wenang untuk merebut tanah warisan milik orang yang tidak mau menjualnya. Ketika Ahab masuk ke dalam tanah itu dan melewati sebuah taman, ia bertemu dengan Elia. Dua orang musuh berhadapan muka. Ini adalah momen eksistensial; saya sadar ada kamu, dan kamu sadar ada saya. Engkau nabi, saya raja. Ahab menuduh Elia sebagai penyebab Israel tidak mendapat hujan. Sebaliknya Elia menyatakan bahwa itu adalah akibat tindakan raja dan seluruh keluarganya. Elia sama sekali tidak takut menghadapi Ahab. Bagi Elia, Tuhan itulah Penguasa sejati dan aku melayani Dia. Niat pelayanan seperti ini yang membuat raja pun tidak berani berbuat apa-apa. Elia hanya takut dan taat kepada Tuhan. Semua perintah dan perkataan Tuhan yang harus ia sampaikan, ia segera menyampaikannya dengan setia. Elia punya niat kuat, niat untuk membawa seluruh umat Israel kembali kepada Tuhan. Sekarang umat Israel sedang dibawa menjadi penyembah Baal karena mengikuti raja yang salah. Pemimpin yang serong akan membawa rakyatnya serong, pemimpin bidat akan membawa pengikutnya menjadi bidat. Pemimpin yang tidak takut kepada Tuhan akan membawa seluruh rakyatnya untuk membabi-buta mengikutinya. Elia ingin seluruh rakyat bertobat dan berbalik kepada Allah. Mereka harus beribadah dan hanya menyembah kepada Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub. Elia ingin agar niat kuat ini menjadi fakta, untuk itu dia mau dikuduskan dan hidupnya dipakai sepenuhnya oleh Tuhan.

Saat itu ada 400 nabi Baal yang didukung oleh Raja Ahab. Di pihak lawan hanya ada Elia seorang diri. Nabi-nabi Baal mendapat backing politik dan militer yang kuat. Elia tidak mendapatkan dukungan politik dan militer. Ahab membayar mereka dengan honor yang tinggi sehingga hidup mereka terjamin. Akibatnya, mereka menjadi budak Ahab dan mengikuti apa yang Ahab inginkan. Rakyat diarahkan oleh nabi-nabi palsu ini untuk menyembah Baal, satu persatu pindah dari menyembah Allah kepada kuil-kuil Baal yang semakin banyak dibangun. Elia harus melawan mereka semua seorang diri. Sungguh suatu perjuangan yang sangat berat. Apa gunanya berjuang, kalau akhirnya hanya akan berkorban dan tidak mendapat apa-apa? Bukankah lebih enak jika berkompromi saja? Tidak! Elia tidak berkompromi, Elia tidak menghitung untung-rugi bagi dirinya sendiri. Dia dengan berani menantang dan menunjukkan bahwa Baal bukan Allah yang sejati. Untuk itu ia berani naik ke Bukit Karmel. Elia dan Yohanes Pembaptis sama-sama memiliki hati yang ingin mengembalikan hati rakyat kepada Tuhan dan mengembalikan cinta kasih Tuhan kepada rakyat, sehingga anak-anak kembali kepada Bapa dan hati Bapa kepada anak-anak-Nya.

Elia membuktikan bahwa Tuhan itu begitu riil. Ia berdoa, “Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak, dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1Raj. 18:36-37). Kalimat yang penting “nyatakanlah (biarlah orang tahu) bahwa Engkaulah Allah yang sejati.”

Ketika saya muda, saya datang ke Jakarta dan berkhotbah. Waktu itu saya berkhotbah begitu keras dan tegas, banyak orang menghina saya dan menganggap saya terlalu sombong karena menyatakan bahwa merokok itu berdosa, hidup itu harus suci, tidak boleh mabuk, dan harus kembali kepada firman Tuhan. Yang dari kubu Liberal menghina, yang dari Karismatik juga menghina. Tetapi pada saat itu ada seorang hamba Tuhan senior, yaitu Pdt. H.F. Tan, yang selalu menyediakan mimbar untuk saya berteriak suara yang berbeda dari banyak gereja lain. Saat itu banyak orang belum mengenal apa itu Theologi Reformed, bahkan mendengar istilah itu pun tidak pernah. Dan saat saya mengkhotbahkan dan meneriakkannya, banyak pendeta yang tidak setuju dan menghina. Tetapi ada sekelompok orang yang oleh Tuhan dipersiapkan untuk mau mendengar apa yang saya teriakkan. Mereka mulai belajar dan mau mencoba mengerti. Ketika engkau setia kepada firman dan memberitakan firman, lalu ada orang-orang yang melawan atau menghina engkau, janganlah engkau takut, karena selalu ada umat Tuhan di kota itu (Kis. 18:10). Pdt. Rudie Gunawan pernah memberitahu saya bahwa ada 33 kota yang membutuhkan dan menanti Theologi Reformed, tetapi ketika saya muda, kondisinya berbeda. Saat itu ratusan undangan khotbah saya terima dan saya harus memilih ke mana saya mengisi. Kalau saya salah pilih, saya pasti akan dipukul oleh Tuhan. Karena itu saya harus ketat dan tahu bagaimana memilih dengan benar. Saya tidak boleh memilih karena gereja itu kaya, bisa memberi honor besar, atau mempunyai banyak fasilitas. Di situ perlu bergumul untuk tahu cara memilih yang benar. Saya harus memilih berdasarkan potensi hari depan, memilih gereja yang sedang berada dalam pergumulan doktrin dan membutuhkan penguatan. Akhirnya begitu banyak pelayanan yang harus saya kerjakan. Seumur hidup hampir tidak ada waktu libur bagi diri saya sendiri. Baru menikah 3 hari, saya sudah harus pergi selama 60 hari untuk pelayanan sebanyak 220 kali khotbah. Di antaranya ada seri 10 hari dengan 6 khotbah setiap hari. Selesai khotbah di hari terakhir, saya sudah tidak bisa bangun lagi. Setelah 45 menit saya letakkan kepala di mimbar, baru isteri saya menuntun saya pulang. Kami pergi tanpa tahu apakah nanti ada uang untuk pulang. Kami hanya berpikir untuk melayani. Kami membawa sedikit emas tukar cincin perkawinan, sehingga jika tidak ada uang kami masih bisa jual emas untuk membeli tiket pulang. Inilah niat pelayanan, niat ingin membawa bangsa ini kembali kepada Tuhan. Saya tidak pernah minta tiket dari gereja terlebih dahulu atau bicara dengan orang kaya. Saya pernah mau naik kereta dan sudah punya karcis, tetapi kereta penuh. Akhirnya saya harus meletakkan koper di tangga kereta lalu kaki saya menginjak koper, berdiri berpegangan di pintu kereta selama 8 jam dengan tertiup angin. Saya bukan pendeta besar yang enak-enak naik pesawat kelas bisnis atau kelas utama. Ketika saya sekolah theologi, saya diberi beasiswa karena saya miskin sekali. Setelah lulus saya diundang menjadi dosen di sekolah saya. Karena saya diberi beasiswa maka semua honor dari sekolah selama 4 tahun saya kembalikan ke dalam kotak persembahan. Saya hidup dari pelayanan di Surabaya setiap 3 hari dalam satu minggu. Saya diberi uang pelayanan dengan sangat minim. Dari uang itu, sebesar 60% saya berikan ke ibu saya karena saya makan gratis di rumah. Ibu juga adalah manusia yang butuh uang untuk membeli beras, membeli makanan. Sisanya 40%, sebesar 10% saya berikan untuk persembahan dan sisanya untuk kebutuhan pribadi. Setiap kali ke Surabaya saya harus naik kendaraan tetapi saya tidak punya uang lagi untuk naik bis. Maka, saya harus mencegat truk yang lewat karena hanya membayar sepertiga dari tiket bis. Akibatnya terkadang bau ikan asin, bau sayur. Begitu sampai saya harus segera mandi baru melayani. Orang tidak ada yang tahu bagaimana saya hidup dan melayani. Saya tidak pernah sekolah di luar negeri karena tidak mungkin. Sekarang setelah menjadi gembala gereja besar, saya bisa mendukung orang lain untuk sekolah ke luar negeri. Tetapi setelah didukung, sama sekali tidak mau kembali bahkan menelepon pun tidak. Saya seumur hidup melihat begitu banyak sandiwara. Saya kira-kira bisa menilai manusia maunya apa, jiwanya sampai di mana, dan kerohaniannya sampai di mana. Saya tidak ingin anak-anak saya terlalu manja. Pendeta lain mau memakai uang gereja untuk biaya sekolah anaknya. Anak saya tidak saya perkenankan pakai satu rupiah pun uang gereja untuk sekolah. Kalau niat tidak kuat, percuma ada gelar. Ada seseorang dengan gelar Ph.D. lulusan Calvin Seminary yang akhirnya tidak di dalam Gerakan ini. Saya merasa Tuhan tidak mengizinkan karena dia hanya memiliki pengetahuan saja tanpa niat yang kuat. Percuma ada gelar tinggi jika tidak ada niat dan kuasa yang kuat dari Tuhan. Perlu niat dan kuasa seperti Elia, bukan hanya gelar dan pengetahuan. “Carilah wajah-Ku dan kuasa-Ku”, kata Tuhan. Banyak orang bergelar tinggi, tetapi niatnya bukan untuk Tuhan melainkan untuk dirinya sendiri, akhirnya Tuhan tidak memakai dia. Banyak orang mempunyai pengertian tinggi, tetapi bukan mengandalkan kuasa Tuhan melainkan bersandar pada orang kaya, akhirnya Tuhan juga tidak mau memakai dia dengan besar. Kalau seorang majelis di GRII, sekalipun dia kaya tetapi tidak mau ikut kebaktian doa, tidak bisa sehati dan sinkron di dalam Gerakan, saya menganjurkan untuk lepas. Banyak gereja takut kalau orang kaya dilepaskan nanti akan kekurangan uang. Uang bukan datang dari orang kaya, tetapi dari Tuhan. Niat, kemauan, ketaatan, sinkronisasi, pengertian akan pimpinan Roh Kudus adalah hal-hal yang sangat penting dan harus diutamakan. Ketika gereja berada di dalam kesulitan, siapa yang mau terjun turut bekerja; ketika gereja membangun, siapa yang sungguh-sungguh mau berbagian dengan keras; ketika ada pelayanan yang penting, siapa yang sungguh-sungguh menyerahkan diri dan turut berkorban di dalamnya?

Kita bukan siapa-siapa, Allah adalah segala sesuatu. Elia, sekalipun memiliki niat pelayanan yang sedemikian kuat dan iman yang begitu besar, tetap adalah seorang manusia yang lemah. Ketika menunggu hujan pertama kali setelah seribu hari, tiga setengah tahun tidak hujan dan tanah sudah sangat kering, Elia menyuruh bujangnya ke pinggir laut untuk melihat apakah sudah ada awan. Sampai tujuh kali bujangnya harus pergi dan kembali sebelum ia melihat ada awan yang kecil sekali naik di horizon. Maka Elia menyuruh bujangnya memberitahu Ahab agar segera turun dari gunung dan keretanya diberi tenda, karena akan turun hujan lebat dalam waktu singkat. Mengapa Elia begitu yakin akan ada hujan yang lebat setelah melihat awan yang begitu kecil? Ini karena Elia tahu bahwa Tuhan sudah menjawab doanya. Inilah niat pelayanan. Banyak pemimpin Kristen begitu tidak beriman, begitu ketakutan dengan segala ancaman dunia. Iman harus nyata dalam niat perjuangan pelayanan. Elia membuktikan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang setia. Elia memang berbeda dari banyak nabi yang lain. Elia tidak menulis buku. Tidak ada satu pun bagian dari Alkitab yang dia tulis, namun ia memiliki niat untuk melayani Allah, keinginan dan niat keras untuk mau sepenuhnya taat mengikuti kehendak Tuhan.

Elia memiliki kuasa yang sangat besar, sampai ketika ada orang-orang yang dengan sengaja memanggil dia dengan tidak hormat, ia berkata, “Kalau benar aku abdi Allah, biarlah turun api dari langit memakan engkau habis dengan kelima puluh anak buahmu." Maka turunlah api dari langit memakan dia habis dengan kelima puluh anak buahnya. Itu terjadi hingga dua kali dan barulah ketika datang perwira yang ketiga, yang menghadap dia dengan begitu hormat, hal itu tidak terjadi (2Raj. 1:1-18). Saat ini banyak konglomerat yang sambil menyebut hamba Tuhan sambil menghina Tuhan. Kalian para hamba Tuhan ingat jangan karena ada orang memberi engkau amplop yang besar maka engkau menjadi begitu bersahabat dan tunduk kepadanya. Tuhan ingin hamba Tuhan seperti singa bukan seperti anjing yang mudah goyang ekor kepada orang yang memberinya makan. Elia hanya takut kepada Tuhan Allah sehingga kuasa Tuhan terus berada bersama Elia, sampai akhirnya Elia dibawa kembali ke surga dengan kereta kuda berapi. Elia membawa umat kembali kepada Bapa. Jika Yehovah adalah Allah, mari kita melayani Dia; jika Baal adalah Allah, layanilah dia. Jangan bercabang hati. Elia tidak mau berkompromi. Inilah niat pelayanan Elia yang penuh kuasa.

Demikian pula dengan Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis melihat Herodes mengambil isteri kakaknya karena tamak pada perempuan yang cantik. Ini melanggar hukum Tuhan. Tuhan tidak menghendaki orang merampas isteri orang lain. Maka Yohanes Pembaptis menegur Herodes, “Engkau berdosa!” Semua orang setuju akan teguran itu, kecuali Herodes. Ia tahu ia berdosa, tetapi ia tidak terima ditegur di depan umum. Maka, ia memerintahkan tentara untuk menangkap Yohanes Pembaptis dan memenjarakannya. Tuhan mengizinkan Yohanes Pembaptis dipenjarakan. Mengapa demikian? Bukankah Tuhan yang mengutus Yohanes Pembaptis untuk berkhotbah dengan begitu berani? Mengapa Tuhan membiarkan orang yang berkhotbah setia dimasukkan ke dalam penjara dan tidak keluar lagi? Terkadang kita heran dan tidak mengerti cara Tuhan. Tuhan akan berkata, “Kehendak-Ku engkau tidak akan mengerti, tetapi engkau harus tetap taat.” Niat untuk taat, niat untuk sungguh-sungguh berani, telah mengakibatkan Yohanes Pembaptis seperti Elia, membawa bangsanya kembali kepada Tuhan. Kita melihat inilah orang-orang yang dipakai Tuhan. Saya sangat menekankan akan niat dan kuasa pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh Gerakan ini untuk bisa menjadi berkat bagi seluruh dunia. Biarlah kita memiliki niat yang kuat dan berkata kepada Tuhan, “Pakailah saya!” Amin.

[1] Lukas 1:17 – “Ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh (spirit/semangat/niat) dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”


Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong (Mei 2010)
Sumber : http://www.buletinpillar.org/transkrip/niat-dan-kuasa-pelayanan-bagian-3

Tidak ada komentar: