Sabtu, 01 Oktober 2011

Sekilas Tentang : Contract Manufacturing


Sebagai praktisi dibidang perpajakan dan akuntansi dapat dipastikan bahwa istilah jasa maklon (Contract Manufacturing/Toll Manufacturing) adalah hal yang tidak asing, yaitu suatu kegiatan bertujuan untuk memanfaatkan utilitas pabrik yang masih belum maksimal dengan memproduksi pesanan dari merek perusahaan lain. Agar lebih jelas maka berikut ini coba saya uraikan keterkaitan dari ciri-ciri bahwa suatu kegiatan yang dapat dikategorikan jasa maklon harus meliputi hal-hal dibawah ini dan jikalau tidak memenuhi salah satu kriteria maka kegiatan tersebut adalah merupakan transaksi pembelian berdasarkan pesanan (job order), keterkaitan ciri-ciri itu adalah :
  1. Pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan).
  2. Spesifikasi produk yang diolah ditentukan oleh pengguna jasa.
  3. Sebagian atau seluruh bahan disediakan oleh pihak pengguna jasa, bahan baku dapat merupakan bahan baku, barang setengah jadi, bahan penolong/pembantu.
  4. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa
Mekanisme

Dapat disimpulkan bahwa dalam jasa maklon ini terdapat Pengguna Jasa serta Pemberi Jasa, dimana mereka memiliki suatu perjanjian/kesepakatan dalam bentuk kontrak perjanjan yang berisi jenis pekerjaan yang dilaksanakan, jangka waktu pekerjaan, serta imbalan (fee) yang diterima Pemberi Jasa.

Maka permasalahan akan timbul apabila suatu perusahaan salah dalam melakukan penerapan dalam perlakuan akuntansi terhadap jasa ini, yang juga akan terjadi pada penerapan perpajakannya sejak mulai penghitugan, penyetoran dan pelaporannya.

Ditinjau dari sudut Akuntansi
  1. Pihak pengguna jasa adalah pihak yang berotoritas atas bahan baku dan barang jadi
  2. Pihak Pemberi Jasa harus membedakan/memisahkan biaya pemakaian bahan-bahan yang dibeli sendiri dengan yang disediakan oleh Pengguna Jasa yang terurai dalam kontrak perjanjian.
  3. Pada saat menerima bahan baku/penolong tidak pihak penerima jasa tidak melakukan jurnal.
  4. Jika dapat dipisahkan atas biaya-biaya yang dikeluarkan sendiri oleh penerima jasa atas biaya yang timbul dari pemakaian bahan penolong lainnya dapat dibebankan oleh penerima jasa namun tidak oleh pengguna jasa (Suniarto, 2005).
  5. Biaya yang boleh dibebankan oleh penerima jasa adalah biaya yang berhubungan langsung/produksi tidk langsung dengan maklon seperti, tenaga kerja, asuransi mesin, reparasi mesin dll.
  6. Saat Jasa Maklon selesai dan memberikan tagihan kepada pengguna jasa, dengan memberikan Faktur pajak serta dengan jurnal Piutang Jasa Maklon pada Pendapatan Maklon + PPN 10%.
  7. Saat imbalan (fee) diterima dengan jurnal Kas/Bank + PPh 23/26 pada Piutang Jasa Maklon.
Ditinjau dari sudut Perpajakan
  1. PPN, Penerimaan bahan baku dari pihak pengguna jasa dikenakan PPN namun tidak dipungut. Pemberi Jasa menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak atas JKP.
  2. PPh 23/26, terutang PPh pasl 23/26 dan tidak bersifat final. Dikenakan atas jasanya saja kecuali tidak dapat dipisahkan,, yang melkukn pemotongan adalah pihak pengguna jasa.

Dari uraian tersebut di atas nampak tidak terdapat suatu kendala yang berarti, artinya apabila terjadi kesalahan pengenaan pajak masih dapat diperbaiki. Namun bagaimana jika Perjanjian kontrak (Contract Manufacturing) ini terjadi antar negara dalam hal ini Penerima Jasa adalah WP DN sementara Pengguna Jasa adalah WP LN/DN dan dalam hal ini bisa memiliki hubungan istimewa (Related Party) atau tidak memiliki hubungan istimewa. Untuk itu mari kita simak contoh kasus sebagai berikut :

Contoh Kasus : SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 325/PJ.312/2000

Surat dari Wajib Pajak dengan penjelasan sbb :

Surat Nomor : XXX tanggal 14 Maret 2000 dan lampiri antara lain Laporan atas Perjanjian Contract Manufacturing (Maklon) antara PT. XYZ Indonesia dengan XYZ Eropa, B.V (EMTC) yang berkedudukan di Belanda dan Laporan Analisa Perbandingan atas Pabrikan-pabrikan Maklon di Timur Jauh oleh Ernst & Young LPP, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
  1. PT. XYZ merupakan perusahaan penanaman modal asing yang berorientasi ekspor dan telah mandapatkan status "Kawasan Berikat" (KB). Dalam menjalankan usahanya, PT XYZ menerapkan contract manufacturing agreement (perjanjian maklon) dengan satu-satunya pelanggan diluar negeri dan merupakan milik saham mayoritas PT XYZ yaitu Mattel Eropa, B.V (ETMC). Atas jasa pengolahan produk untuk kepentingan EMTC, PT XYZ mendapat imbalan maklon sebesar 5% dari local value added (LVA) yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan overhead. Adapun bahan baku yang diolah merupakan milik EMTC sehingga dalam pembukuannya dicatat sebagai consigned material (CM).
  2. Seluruh produk yang dihasilkan PT XYZ adalah untuk diekspor dan atas kegiatan ini, peraturan kepabeanan mewajibkan PT XYZ mempergunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) seperti juga eksportir lainnya yang bukan pabrikan maklon, yang nilainya meliputi seluruh komponen biaya (bahan baku, tenaga dan overhead. Sebagai akibat dari ketentuan ini, nilai ekspor yang tercantum dalam PEB berbeda dengan penghasilan usaha yang diakui oleh PT XYZ.
  3. Pengadaan bahan dan komponen diperoleh dari pemesan yaitu EMTC atau EMTC meminta kepada PT XYZ selaku agen pembeliannya, untuk membeli bahan dan komponen tersebut dari pemasok-pemasok yang telah disetujui oleh dan atas tanggungan EMTC sepenuhnya. Sesuai perjanjian maklon, hak kepemilikan dan resiko atas bahan dan komponen-komponen tersebut tetap berada pada EMTC. EMTC juga menanggung seluruh biaya yang diperlukan untuk perolehan bahan dan komponen yang antara lain meliputi harga beli barang, pengangkutan, asuransi, dan resiko barang rusak atau hilang.
  4. Penetapan harga yang diterapkan oleh Mattel adalah metode cost-plus pricing untuk semua pabrikan di seluruh dunia termasuk PT XYZ Untuk keperluan tersebut, atas permintaan Mattel, Ernst & Young LLP telah melaksanakan studi perbandingan atas laba operasi dari maklon di negara-negara Timur Jauh. Hasil studi perbandingan menunjukan bahwa marjin yang diterima oleh pabrikan-pabrikan maklon tersebut berkisar antara 0,97% sampai 7,33% dari biaya yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut, Mattel berkesimpulan bahwa marjin 5% merupakan harga pasar yang wajar.
Permohonan Penegasan Wajib Pajak sbb :
  1. Bahwa perjanjian maklon (contact manufacturing agreement) baik antara dua Wajib Pajak dalam negeri maupun antara Wajib Pajak dalam negeri dengan Wajib Pajak luar negeri merupakan pengaturan bisnis yang dapat diterima (acceptable business arangement).
  2. Bahwa nilai ekspor yang tercantum dalam PEB tidak sama dengan pendapatan untuk penghitungan Pajak Penghasilan badan (PPH Pasal 25/29).
  3. Bentuk pencatatan dan penagihan (invoicing) tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dari pihak-pihak instansi terkait.
  4. Bahwa atas jasa imbalan maklon yang seluruh produknya diekspor dikenakan tarif 0%.
Kesimpulan Jawaban dari DJP

A. Pajak Penghasilan
  1. Kepemilikan saham mayoritas PT XYZ oleh EMTC berakibat pada terjadinya hubungan istimewa.
  2. Sebagai pabrikan maklon yang hanya membuat produk atas dasar pesanan dan dengan bahan-bahan serta spesifikasi dari EMTC (termasuk mempunyai kebiasaan untuk mengurus persediaan bahan baku atau barang jadi dan secara teratur menyerahkan barang jadi tersebut atas nama EMTC kepada pelanggan, PT XYZ merupakan dependent agent dari EMTC. Dengan demikian EMTC memiliki BUT Indonesia.
  3. Sebagai entitas yang terpisah dari EMTC, PT XYZ merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan juga BUT yang berkewajiban perpajakannya disamakan dengan Wajib Pajak dalam negeri. Dalam kaitannya sebagai Wajib Pajak dalam negeri, yang menjadi Objek Pajak Penghasilan PT XYZ adalah penghasilan yang diperoleh sebagai imbalan atas jasa maklon yaitu sebesar 5% (lima persen) dari local added value (LAV) yang terdiri dari biaya overhead dan biaya tenaga kerja. Sedangkan yang menjadi Objek Pajak BUT adalah jumlah peredaran usaha seperti yang tercantum dalam PEB dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
  4. Atas imbalan jasa maklon sepanjang telah mencerminkan harga yang wajar (arm's length price) dapat diterima sebagai penghasilan PT XYZ sebagai WP dalam negeri, sehingga perbedaan antara nilai ekspor dalam PEB dan pendapatan yang didasarkan pada kontrak manufacturing agreement tidak dapat dijadikan dasar untuk mengoreksi pendapatan dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri.
  5. Reimbursement yang diterima PT XYZ atas pembelian bahan baku bukan merupakan penghasilan sehingga atas biaya-biaya yang dikeluarkan juga bukan merupakan pengurang penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri. Namun demikian, biaya-biaya tersebut merupakan biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai BUT EMTC. Apabila reimbursement penghasilan kena pajak lebih besar dari pada nilai pembelian bahan baku dimaksud maka selisih lebih tersebut merupakan penghasilan bagi PT XYZ.
  6. Gaji tenaga ahli yang dikirim oleh EMTC tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak PT XYZ sebagai WP dalam negeri namun merupakan beban dari PT XYZ sebagai BUT EMTC, sehingga BUT berkewajiban memotong PPh Pasal 21 apabila keberadaan tenaga ahli tersebut lebih dari 183 hari dalam satu tahun pajak atau PPh Pasal 26 apabila berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam satu tahun pajak.
  7. Perlu ditegaskan bahwa sehubungan dengan telah dihentikannya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001, maka terhitung mulai tanggal tersebut perlakuan mengenai gaji tenaga ahli dimaksud tunduk sepenuhnya kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
B. PPN/PPnBM

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa dengan ditetapkannya PT XYZ sebagai BUT EMTC, maka terjadi penyerahan dengan perlakuan PPN dan PPnBM sebagai berikut :
  1. atas impor oleh dan/atau penyerahan barang dan/atau bahan kepada PT XYZ sebagai BUT EMTC maupun PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk diolah di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  2. atas penyerahan barang dan/atau bahan dari PT XYZ sebagai BUT EMTC ke PT XYZ sebagai Wajib pajak dalam negeri dalam rangka subkontrak di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  3. atas penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh PT XYZ sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri ke PT XYZ sebagai BUT EMTC di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  4. atas penyerahan Jasa Maklon merupakan Penyerahan Jasa Kena Pajak dalam Kawasan Berikat dari PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri kepada PT XYZ sebagai BUT EMTC terutang PPN 10% dari imbalan maklon yang diterima (5% dari local value adde);
  5. ekspor BKP oleh PT XYZ sebagai BUT EMTC kepada Mattel Eropa, B.V dikenakan PPN dengan tarif 0%.
  6. Dalam hal terjadi penyerahan BKP tersebut di dalam daerah pabean (penyerahan lokal) maka atas penyerahan tersebut terutang PPN dengan tarif 10% dan PPn BM sesuai ketentuan yang berlaku.

Oh iya, saya belum memastikan apakah surat tahun 2000 ini, segala ketentuan2 peraturan di atas mengalami perubahan atau tidak, sehingga belum dapat dijadikan acuan untuk memberikan penagasan yang sama di masa sekarang ini, :) kecuali pembaca mau memberikan masukan dan komentar untuk dapat saya pelajari kembali.


(Ditulis sehubungan dengan case yang sedang ogut alami)

Tidak ada komentar: